Hold Me Tight ( boyslove)

Sebatas



Sebatas

0Di sebuah ruangan dengan dua orang yang nampak sedang bersitegang. Pria yang jauh lebih mungil nampak tak bisa menahan tangisnya yang menderu. Sedangkan ekspresi berbeda jelas tampil dari pria yang sedang berdiri mematung di tempat, wajahnya yang memerah dengan tarikan napas yang terdengar memburu.     
0

Mereka seperti tak ingin berbalas tatap lagi, pembahasan yang sangat sensitif baru saja menjadi sebuah pertengkaran dingin yang harus mereka hadapi.     

Saat mencengkram surai rambutnya tak bisa meredakan, pria yang memiliki kriteria wajah lugunya pun sontak memutar arah tubuhnya. Yang di cintainya lagi-lagi hanya bisa menangis, ia merasa tak berguna sampai saat ini.     

"Menurut mu perpisahan kita adalah jalan terbaik?" ucap pria berperawakan jangkun itu. Pelipisnya di pijat keras, ia berusaha menenangkan diri dengan menatap area taman samping dari atas tempatnya berdiri, bilah pembatas kaca besar yang memang mempermudah.     

Namun tentu saja masih tak bisa membuat pria itu mengalih sepenuhnya. Hatinya sangat perih saat seseorang yang di perjuangkan sejak dulu masih saja tak bisa tergapai oleh. Penantian waktu yang sangat panjang, usahanya yang jelas melelahkan, tak ada pengaruh sedikit pun.     

"Aku tak bisa terus di posisi sulit ini, Ai… Aku harus terfokus pada seseorang yang harus ku gapai," balasan yang terdengar sangat lirih namun pria yang akrab di panggil Ilham itu cukup bisa mendengar dengan jelas.     

Ilham pun sontak mengetatkan rahangnya, masih saja harus di kuatkan meski ia tau kesakitan ini masih sama, bahkan terus menumpuk di dalam dirinya.     

Mencoba tak meluapkan emosi yang berlebih, ia tak mungkin keluar dari kepribadiannya dan menakuti pria mungil itu. Mencoba menenangkan diri, Ilham pun membalik badan, tatapannya sontak tertuju pada Rian yang duduk di ranjangnya.     

"Jadi, kau ingin mengatakan jika kehadiran ku membuat posisi mu sulit? Apakah begitu, Ri?" ucap Ilham dengan suaranya yang sarat akan ketidak percayaan.     

"Aku tak ingin mengatakan hal itu salah, karena kenyataannya memang aku butuh sendiri tanpa diri mu di sisi ku," balas Rian yang nampak sangat ringan saat berbicara, tanpa keraguan.     

"Lalu, maksud mu dengan memberi waktu kita rehat sementara itu untuk apa, kalau kau akhirnya dengan kejam meninggalkan ku? jawab aku, Ri!"     

Sudah tak bisa di kontrol, Ilham sudah tak bisa lagi memikirkan perasaan Rian saat dirinya sendiri yang tak tertolong. Lengannya terkepal erat, gurat ototnya sampai timbul. Pijakannya seperti mengakar, tak bisa membuatnya melangkah sedikit pun.     

Pria mungil itu pun sontak bangkit dari tempatnnya, berjalan perlahan dan berganti menghampiri Ilham di tempatnya.     

Sorot matanya masih tak berubah, Rian masih menampilkan raut sendu yang nampak sangat menggoda sekali pun ia tengah menangis. Lengan kecilnya terangkat, wajah Ilham yang di sapu perlahan.     

Senyum Rian muncul sangat tipis, sedangkan Ilham masih saja dengan protesnya. "Aii… Maafkan aku yang masih tak bisa untuk mencintai mu. Sungguh, aku bukannya menolak mu tanpa pertimbangan, aku melakukan segala yang ku bisa untuk membuat mu bahagia. Kita memang sama-sama berada di pada tujuan yang searah, Aii… Namun setelah semakin lama kita menjalani hubungan ini, semakin aku meninggalkan kekasih ku yang saat ini sedang hilang entah kemana, aku juga sakit saat cinta ku tak mempedulikan ku lagi. Hikss…."     

Sungguh, bukankah sangat menyakitkan saat mendengar kalimat panjang itu? Bukankah Ilham yang saat ini rapuh lekas membenci dan memberi jarak segera? Namun kenapa pria itu malah memeluk Rian dengan erat? Kenapa pria bodoh itu malah mengusap perlahan belakang tubuh pria itu?     

Memang cinta Ilham sangat gila. Keteguhan hati untuk mempertahankan perasaannya masih saja menggebu untuk memberi perlindungan pada sosok mungil itu. Seperti tak ada alasan untuk mengurangi sedikit pun, bagi Ilham mereka memang masih seperti dulu, tak bisa jauh atau pun dekat sepenuhnya, hanya seperti ini saja.     

Di balik beratnya keputusan yang harus di ambil, langkah mencabang pun tengah menjadi ujian berat untuk seorang pria lain. Sebuah pesan yang masih sempat terlihat di ponselnya sebelum berpindah kepemilikan. Kekasih Nathan meminta bertemu, pria mungil yang rasanya sudah sangat lama tak di peluknya itu.     

Namun memang sebuah pilihan yang tak bisa begitu saja di ambil, saat rasa rindunya yang memang mengumpul banyak, Nathan juga tak bisa mengelak kekecewaan yang terlancur tumbuh bersamaan untuk Rian. Pria mungil yang menganggap diri Nathan saat mudah untuk di permainkan, menarik ulur perasaannya yang di akui masih kurang begitu kuat. Rian selalu datang dan pergi sesuka hatinya, membuat Nathan yang kekanakan melakukan hal yang sama.     

"Kenapa kau diam saja? Apakah kau mengesal karena menjual ponsel mu?"     

Pertanyaan wanita di sampingnya itu membuat Nathan tersentak. Sentuhan ringan yang mengarah pada punggung tangannya menjadi perhatian.     

Nathan yang mengangkat satu alisnya pun di membuat wanita bernama Lisa itu gelagapan. Kepalanya yang menoleh dekat pada pria itu pun di jauhkan, lenganya sontak mengikuti untuk terlepas.     

"Hahah… Kenapa aku melihat wajah mu merah? Kau kenapa, Lis?" goda Nathan yang sampai mencelingukkan wajahnya untuk memaksa balas intens wanita itu. Senyumnya merekah, sedangkan kali ini sentuhan telapak tangan di puncak kepala wanita itu menjadi kedekatan lanjutan mereka.     

Lisa yang merasa di goda ku sontak mengerutkan bibir, alisnya menyatu, tubuhnya pun di jauhnya. "Cuacanya sangat panas, apakah mati rasa?" balasan Lisa membuat Nathan sontak lanjut terbahak.     

"Benarkah?"     

"Kenapa kau harus memastikan jawaban ku, memangnya itu penting?"     

Nathan pun menggidikkan kedua bahunya untuk merespon. Tubuh pria itu kemudian bersandar, lengannya bersendekap di depan dada, pandangannya menatap kendaraan yang terus hilir mudik, mustahil membuat jalanan aspal itu sepi.     

Setelah mendapatkan uang hasil menjual ponsel, Lisa mengajak Nathan untuk melanjutkan saja perjalanan tanpa harus pulang terlebih dahulu untuk mengambil mobil, selain karena waktunya yang kurang efisien, nampaknya wanita itu tak ingin kembali mendapat raut yang penuh penghinaan dan juga makian kasar seperti tadi.     

Namun tak sesuai perkiraan Lisa yang ingin cepat-cepat di hantarkan Nathan pada kenalannya yang bisa membantu mencarikan kerja, nyatanya saat mendengar sebuah kafe tanpa nama yang di sebut membuat wanita itu sontak menolak.     

Bukan tak tau diri untuk meminta pekerjaan yang lebih baik atau apa pun, wanita itu hanya merasa sedikit trauma dengan kejadian yang memaksanya menjadi tak berharga seperti ini. Sekali pun bukan tempat yang sama atau bahkan pemiliknya sekali pun, Lisa sudah tak ingin mengambil resiko yang terkadang menjadi permainan takdir.     

Sudah lebih dari satu jam mereka duduk terdiam di halte bus, tak ada satu pun arah tujuan yang dengan pasti di tuju. Beginilah mereka sekarang, membuat orang lain kesal karena tak sekali pun ingin bergantian tempat duduk.     

"Jadi, kita kemana setelah ini?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.