Hold Me Tight ( boyslove)

Keputusan yang tak bisa di ganggu gugat



Keputusan yang tak bisa di ganggu gugat

0"Brengsek! Dasar wanita jalang!"     
0

Umpat seorang pria setelah tak mendapati seorang pun ada di sana. Sudah nyaris satu jam dari waktu perjanjian, rupanya wanita bernama Lisa itu mencoba untuk jual mahal?     

Bangkit dari tempat duduknya, pria yang sudah berdandan sangat rapi dengan menunjukkan segala kemewahan layaknya pria hidung belang, hanya mendapatkan balasan penghinaan besar dengan tingkah abai yang di tunjukan.     

Wajahnya sudah sangat memerah, rahangnya mengetat dengan jemarinya yang menyunggar surainya menjadi berantakan.     

"Kau sudah berani-beraninya menyepelekan kebaikan ku, mengabaikan penawaran baik ku untuk mencari solusi jalan tengah. Lihat saja, tak akan ada lagi kesempatan yang bagus ini untuk mu."     

Pria itu pun melangkah meninggalkan ruangan yang tak berfungi apa pun. Niatannya untuk bercinta dan menggempur wanita itu sampai siang berikutnya, hanya. menemui kegagalan.     

Takdir memang belum ingin mempertemukan. Ilham dan Lisa baik keduanya masih menyimpan benang garis kehidupan.     

Lebih mementingkan ego yang kali ini di tunjukkan oleh Ilham, pria itu nampak sudah sangat tak sudi untuk merepotkan diri menghampiri gubuk reot tersembunyi yang ada di kampung padat penduduk itu. Menjemputnya bak seorang putri terhormat. Ilham sangat kejam saat mengibaratkan wanita itu dengan sebutan sikap terburuk.     

Sedangkan Lisa di lain pihak, wanita yang sesaat terpintas tentang harapan. Wanita itu terlaku naif saat mengira Ilham yang mungkin saja akan luluh saat menyadari perutnya yang membesar.     

Namun saat Nathan dan Max yang tiba-tiba saja datang menjemput, seperti membukakan mata wanita itu jika pria yang menuliskan berderet-deret kalimat panjang yang ada di kertas jauh berbeda dengan pria baik hati yang mengobati lukanya dengan telaten saat terkena serpihan. Keduanya jelas berbeda, Ilham sudah terlalu berubah hingga rasanya Lisa sudah sangat jengah dengan perasaan cintanya.     

Terus saja menangis, rasa kesal pada dirinya sendiri saat sempat terbujuk rayu, bagaimana jika kedua kawan prianya itu tak datang untuk menolong? Bagaimana jika Ilham lekas datang dan berbuat macam-macam dengan sentuhan. kasarnya? Jika kehamilannya bisa menarik simpati, bagaimana jika tidak, apakah hidupnya masih bisa di selamatkan?     

Menatap jalanan yang sangat padat, sedangkan di sisi lain, deret bangunan dengan sebagian besarnya tempat usaha atau bahkan perusahaan besar malah di abaikan. Lisa tak ingin menambah kesedihannya dengan beban keirian.     

Orang-orang yang mengenakan seragam, peluh membanjiri saat terkena sengatan matahari atau bahkan lelah tubuh karena tugas. Semangat kerja yang sangat tinggi, masih harus memacu sisa waktu dengan makan siang, minuman favorit pun menjadi pendamping.     

Lisa ingin seperti itu, keinginannya yang sangat kuat malah begitu saja di hancurkan dengan nasib hidupnya yang kurang beruntung. Ia hanya akan terkungkung pada kesendiriannya dan juga rumah reot dan menyeruakkan aroma lembab itu.     

Berganti cepat, ketiga orang yang sudah keluar dari kendaraan mewah itu pun lantas berjalan secepat mungkin untuk mencari perlindungan dari sengat matahari.     

Pintu yang terjerembap terbuka menjadi pemandangan awal, Lisa pun menolehkan pandang pada Max dan Nathan. Pria berwajah oriental yang merupakan pelaku utama malah mengangkat satu alis belagak tak bersalah, sedangkan Nathan hanya menunjukkan seringai konyolnya.     

"Kalian membuat rumah ku di tandai oleh maling. Bagaimana jika nanti malam ada yang menyusup masuk? Tak ada harta benda, bagaimana kalau aku yang di jadikan sandera?"     

"Kenapa kau berkata buruk seperti itu, bukankah ada aku dan Max yang menemani?"     

"Benarkah?"     

Mereka sudah mendudukkan diri di ruang tamu, Lisa yang penuh keputusasaan lantas berucap memelas. Tubuh letihnya bersandar pada punggung kursi kayu.     

Nathan yang membalasnya dengan jawaban yang hanya berupa penenang semata, tak membuat Lisa merasa perlu harus bersemangat.     

Nathan yang melihat kawan wanitanya yang bertambah murung, jelas saja merasa ada yang tak beres dengan Lisa. "Ada apa dengan mu, apakah kau kecewa karena kami menjemput mu untuk pulang? Ataukah kau ingin bersama dengan pria brengsek yang menganggap diri mu rendah?"     

Pertanyaan Nathan menyambung pada satu kecurigaan. Jelas saja pria itu tak menerima jika pilihan Lisa akan memperburuk hidupnya sendiri.     

"Bukankah kalian akan pergi sebentar lagi? Lalu bagaimana dengan pintu kayu ku yang lapuk itu? Bagaimana cara ku bisa menutupnya jika malam hari? Dari kalian adakah yang bisa di mintai pertanggung jawaban?"     

Lisa gagal menahan diri, wajahnya yang sudah sembab, kembali di perparah dengan air matanya yang sudah kembali turun, jauh lebih deras.     

Nathan yang ada di sisi terdekat, lantas memberikan dekapan erat. Meletakkan wanita itu untuk bersandar di dadanya.     

"Sudahlah, Lis... Memangnya siapa yang akan meninggalkan mu secepat itu? Aku masih ingin bersama dengan wanita cerewet seperti mu."     

Balas Nathan sebagai upaya penenangan. Ucapan halusnya untuk membujuk, jauh berbanding terbalik dengan sorot matanya yang sangat tajam pada sosok pria yang di tuduhnya. Max pasti sudah mengatakan rencana kepergian mereka pada sang tuan rumah.     

"Hikks... Aku bukan bermaksud untuk coba mengungkung kalian pada kesedihan ku. Hanya saja aku juga bingung jika harus sendirian lagi, aku ketakutan tanpa alasan..."     

"Tidak, aku akan tetap di sini dengan mu."     

"Nath."     

Nathan yang kali ini sudah teguh, lagi pula sekembaliannya nanti pada kehidupan asli, tak akan lebih tenang dengan perasaan saat berada di sini bersama dengan Lisa. Nathan sudah terlalu muak dengan drama wanita paruh baya itu yang selalu ingin di perhatikan, sedangkan ia juga yang masih di perlakukan seperti anak kecil yang tak penting untuk mengetahui apa pun.     

Max yang coba mengingatkan janji terikat mereka semalam, malah mendapatkan ingkar segampang itu, Nathan yang hanya menggelengkan kepala saja.     

Nathan melepaskan dekapannya, dengan penuh perhatian, pria itu pun mengusap lelehan air mata yang membasahi wajah Lisa.     

"Kau bisa kembali ke pulang, aku masih di sini."     

"Tak sesuai perjanjian yang kau katakan, apakah kau tak khawatir dengan mama mu?"     

"Sudah berapa kali ku katakan, dia tak akan sekhawatir itu!"     

"Tak percaya jika pria seperti mu tak memegang teguh pada janji."     

Ucapan akhir Nathan lekas di balaskan protes oleh Max yang sudah mengetatkan rahang. Pria itu jauh lebih sulit di percaya dengan kriterianya yang terlalu mudah untuk terbujuk.     

Lisa yang ada di posisi pertengahan, lantas menundukkan pandang. Secara langsung, ia menjadi sebab pertengkaran antara kedua pria yang berhubungan dekat itu.     

"Nath..."     

"Sudah, kau diam saja, Lis! Aku ingin mengatakan padanya, kali ini aku sudah keukeh dengan keputusan ku. Aku akan tetap di sisi dan menjadi kawan yang baik untuk Lisa, " cegah Nathan saat Lisa yang hendak menimbrung pada pembicaraan.     

"Heh, yang benar saja. Kau yang sama sekali tak memiliki uang, bukankah malah akan menambah beban hidup Lisa?" timpal Max dengan senyumnya yang meremehkan.     

Lisa yang terdiam dan membenarkan dalam hati, sedangkan Nathan sendiri malah memberenggut saat kenyataan yang di katakan Max coba untuk di tepis kesalahannya, malah menemui titik buntu. Nathan yang tak punya sepeser pun uang, memang itu mutlak dengan resikonya.     

Namun tak berapa lama, kepala Nathan yang menunduk lekas mendapatkan kekuatan sanggahan untuk membalas tepat pada pria jangkun itu.     

"Kau bisa membayar biaya sewa pada Lisa dengan segepok uang. Namun agaknya kau sudah tak menghargai ku dengan... Jasa ku itu. Berapa kali kita melakukannya, apakah kau tak ada inisiatif untuk coba memberi ku imbalan?"     

Nathan jelas saja mempermalukan dirinya sendiri di hadapan Max dan juga Lisa. Wajahnya sudah semerah tomat, hidungnya kembang kempis dengan seiring dengan senyum percaya diri yang masih coba untuk di pertahankan.     

Kali ini Max yang menyipitkan kelopak mata dengan kedua alisnya yang bertaut, masih tak menyangka atas tindakan Nathan yang sampai sejauh ini.     

"Kenapa kau diam? Mana uang ku?"     

"Coba memerankan diri sebagai seseorang yang perlu ku tanggungi? Apakah kau isteri ku?"     

Permintaan Nathan dengan lengannya yang menyodor, malah di balas Max dengan godaan dan juga kecupan yang menyasar punggung tangannya.     

Mendapatkan pukulan keras dengan lengan Nathan yang menepis milik Max. "Dasar kurang ajar! Apakah kau masih kurang begitu jelas dengan lubang intim ku yang hanya satu?"     

"Masih kurang jelas warna menggemaskannya, karena kita selalu saja melakukannya di tempat yang redup."     

"Meski pun begitu kau harus membayarkan sisa waktu yang ku luangkan untuk mu, kan?"     

Max mendesis lirih, lantas berkata, "Memangnya kau ada waktu lain yang lebih berguna?"     

Lisa yang ada di suasana yang tiba-tiba saja romantis, kembali gamang saat lanjutan kesedihannya masih mengambang.     

Nathan yang masih berupaya untuk mengupayakan biaya hidup sementara dari Max. Ia bahkan baru menyadari jika pria dengan netra hijau keabuannya itu sungguh sangat membodohinya, Max sudah memanfaatkannya hanya untuk kepuasan gairah. Bukankah akan adil untuknya jika meminta balasan setimpal yang di butuhkan?     

Max yang di desak jelas saja langsung menghindari pandang dengan lengannya yang memijat pelipis. Jika di katakan Nathan yang sebelumnya sangat sensitif, bahkan Max baru menyadari jika pria yang di cintainya itu amat sangat kekanakan.     

Max bukannya sulit untuk menarik salah satu kartu debitnya yang tanpa limit, dalam jika dalam konteks yang di maksudkan pria itu hanya untuk sebagai balas budi atas kenikmatan yang di dapat, bukankah hubungan mereka malah di bisa di jadikan alasan sebatas itu untuk seterusnya? Nathan yang menyerahkan jasa tubuh, sedangkan Max sebagai pembeli yang membayar semestinya, apakah begitu?     

Nathan sepertinya tak akan bisa berpikir sejauh itu.     

Max pun akhirnya menatap interaksi intens antara Nathan dan juga Lisa. Kedua yang terlalu dekat memang tak bisa di pungkiri jika menimbulkan sedikit bagian kecemburuan.     

Nathan yang nampak sangat perhatian pada Lisa, menjadi bahan tolak ukur tersendiri oleh Max kali ini.     

Kedua lengan Max tertangkup, matanya di secara singkat di pejamkan. Napasnya coba untuk du atur setenang mungkin.     

"Max, aku yakin kau tak akan miskin untuk memberi ku uang. Lupakan tentang kata-kata konyol ku tadi, jika kau memang nyatanya pria yang perhitungan, catat saja, aku akan membayarnya kembali."     

"Aku sudah membuat keputusan. Mau atau pun tidak, kalian harus menurut kepada ku."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.