Hold Me Tight ( boyslove)

Memberi peringatan dini



Memberi peringatan dini

0"Menjadi semacam penjelas jika kau memang hanya menerima kehadiran ku untuk mengatasi milik mu ini, kan?"     
0

"Jika memikirkan sikap romantis, aku pasti akan menyangkalnya. Menepis kenyataan itu dengan ungkapan cinta terbesar ku. Tapi bukankah artinya aku telah berbohong? Karenanya nyatanya tak hanya cinta ku yang sangat besar untuk mu, gairah untuk selalu memberikan mu kenikmatan juga tak bisa di pandang sepele."     

Balas Max sembari menegakkan posisi tubuh. Pandangannya tertunduk, lengannya terangkat untuk mengusap wajah lembut milik Nathan yang bersimpuh di bawahnya.     

Di saat sang pria yang berwajah oriental itu menampilkan sorot mata yang sudah nampak sangat mengidamkan, maka lain halnya dengan Nathan yang seolah menarik mundur dengan cara yang melepas sentuhan lengan Max padanya.     

Nathan mengangkat satu alis saat melihat raut Max yang sudah jelas memprotes tindakan abai.     

Nyatanya Nathan memang mendadak sangat gemar untuk menggoda pria yang penuh napsu itu. Bibirnya yang mengulas seringai, kepalanya yang menggeleng perlahan seolah makin menunjukkan peringainya yang main-main.     

Jelas saja Max yang berusaha untuk bersabar malah terpancing untuk menjadi sosok identiknya sendiri. Nathan yang kali ini tak ragu untuk menertawakannya, satu titik objek yang menjadi sasaran, kejantanan Max yang sudah berdiri tegap siap untuk menggempur kenikmatan lagi.     

"Aku masih ada sisa waktu satu menit untuk bersabar Nath. Lekas tutup mulut mu atau kau mencari alternatif lain dengan cara menyumpalkan milik ku ini," peringat Max dengan suaranya yang penuh penekanan. Seolah mengabaikan larangan, bahkan pria itu sudah kembali menakup rahang kecil milik kecintaannya itu.     

Nathan yang di paksakan untuk mendongak, jelas saja merasa tak suka. Hingga dengan tarikan pembicaraannya lah yang mampu memukul telak.     

"Satu menit, bolehkah aku menggunakan kesempatan membuka mulut ku untuk berbicara?"     

Max menghela napas besar, tubuhnya kembali di sandarkan saat niatan Nathan sudah sangat jelas. Memberi pengharapan dengan posisinya yang sama sekali tak teralih, akan di sangka hal bertele-tele hanya untuk akhirannya yang menolak.     

Max pun memejamkan mata, di saat yang sama coba untuk menenangkan miliknya yang memberontak.     

"Ah, tidak-tidak... Bukan begitu, Max... Mulut ku yang akan berbicara, namun sedikit meminta bantuan pada kedua lengan ku, rasanya tak masalah."     

Max tersentak, Nathan mengejutkannya dengan suara indahnya yang melantun. Di sisi yang bersamaan pula, pekerjaan pria jangkun itu terusir dengan milik Nathan yang mengambil alih.     

"Eunghh... Nath..."     

"Rasanya sudah lewat satu menit, apakah aku masih boleh untuk mengatakan sesuatu kepada mu?"     

"Brengsek! Katakan saja!"     

Max yang memang sudah sangat frustasi efek sentuhan milik seseorang yang di cintainya itu benar-benar membawanya pada titik ambang batas, tak tertahankan.     

Sorot mata Max sudah mengalih intens pada Nathan. Mendesak pria di bawahnya itu supaya tak berani main-main. Ya, memang Nathan hanya menyentuh kejantanannya dengan sangat ringan tak melakukan pergerakan barang sedikit pun.     

"Haahh... Kau menjadi sangat kejam saat gairah mu tak lekas menemukan gairah," ucap Nathan, dengan gemas meremas milik Max dengan sangat erat, menjadi tak sesuai harapan jika pria jangkun itu malah nampak keenakan dan meminta lebih.     

.... Aku memang bisa di katakan juga mengagumi milik mu. Namun sangat berbeda dari mu, aku tak memiliki cinta yang kau tunjukkan pada ku, apakah aku buruk?"     

Pertanyaan Nathan dengan yang memang hanya sekedar basa-basi, saat di satu sisi seriusnya yang berniat memberikan pelajaran pada Max yang cabul.     

Memutus begitu saja bantuan, Nathan yang kemudian bangkit berdiri dan duduk di seberang jauh dengan Max.     

"Apa maksud mu seperti ini?"     

Geram Max yang di tinggalkan begitu saja, harusnya memang untuk menghadapi Nathan lewat jalan alternatif paksaan.     

Saat kejantanannya yang sudah tak teratasi dengan baik, Max pun mengembalikkan ke sangkar dan menutup resleting, mengabaikan rasa ngilu. Menjadi pantang untuknya memuaskan diri sendiri.     

"Apakah tak apa jika milik mu kau abaikan seperti itu? Sungguh, jangan malu untuk menyentuh diri sendiri di depan ku, Max..."     

Memang jelas jika Nathan sudah mempunyai pemikiran untuk usil. Max pun di paksa kembali pada perbincangan yang nampaknya masih ingin di lanjutkan dengan serius oleh pria di hadapannya itu.     

"Tak ingin basa-basi, katakan saja tentang apa yang mengganjal pikiran mu."     

"Aku tak ingin kau bertindak layaknya kekasih atau hubungan emosional semacam itu," balasan Devan membuat Max menjadi tak habis pikir.     

Pria jangkun itu pun membungkukkan tubuh, siku lengannya tertopang pada paha. Netra  hijau keabuannya pun menyipit tajam, dengan rahang mengetat sebagai wujud penolakan atas perintah Nathan itu.     

"Apakah kau anak kecil? Hingga seperti tak mengetahui apa pun tentang cara kerja sebuah perasaan. Kau pikir hati ku yang sudah memilih mu, bisa begitu saja di perintahkan pada yang lain?"     

Max mengucapkannya dengan suara yang bersungut-sungut. Kali ini lengannya terangkat, menyunggar surainya dengan tarikan erat setelahnya.     

Nathan yang terlihat sedikit pun tak merasa gentar, niatannya untuk memberi batasan memang di rasa perlu sebelum semuanya semakin jauh dan di anggap wajar untuk keduanya.     

"Walau begitu aku tak ingin kau perlakukan secara posesif. Kau bukan kekasih ku, tak punya hak juga untuk memerintah karena tak ada kontrak perjanjian apa pun. Kita hanya ada di batas yang saling menguntungkan. Kau memberi ku biaya hidup, dan kau sesekali bisa memakai ku."     

Nathan bangkit setelahnya. Melangkahkan kaki untuk menjauh, tak mempedulikan Max yang sudah sangat kebingungan dengan suasana hati pria itu yang berubah-ubah. Bukankah sesaat tadi mereka sudah memberikan tatapan penuh napsu?     

"Hei! Di luaran sana, menjadi gigolo di hargai mahal. Aku yang hanya menempati sebagian kecil apartemen mu, tak bisakah mendapatkan ponsel ku kembali?"     

Nathan menghentikan langkahnya di ambang pintu, menoleh pandang pada Max yang sudah sesuai harapannya. Ya, pria jangkun itu nampak sangat frustasi.     

"Untung apa? Kau coba untuk menghubungi kekasih mu itu?"     

"Belum habis aku memberikan peringatan, kau sudah melakukannya lagi. Sungguh, aku tak suka di tuduh, kembali pada Rian belum ku pikirkan sama sekali," balas Nathan dengan posisi tubuhnya yang di sandarkan pada bilah pembatas bening itu.     

Max yang baru kali ini merasa tak bisa berkutik, bahkan Nathan yang sudah begitu menyebalkan tak kunjung di beri pelajaran.     

"Untuk apa ponselnya? Menghubungi papa ku tentu saja, aku sangat merindukannya."     

"Kau tak ingin menemuinya saja? Bukankan Paman Bagas sudah kembali dari luar negeri?"     

Nathan yang sontak saja langsung mematung, hatinya sontak saja bersorak gembira atas pemberitahuan Max itu.     

"Aku akan menemuinya, aku sangat merindukan papa ku," ucap Nathan layaknya anak kecilnya yang bersuara membujuk.     

"Aku akan mengantarkan mu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.