Bullying And Bloody Letters

Mengiklaskan



Mengiklaskan

0Rasty pulang ke sekolah lagi, dengan perasaan kecewanya.     
0

Dia tidak berhasil mendapatkan maaf, dari Rima, meskipun sudah memohon dan berlutut di kakinya sekalipun.     

"Maaf, Tante, saya tidak bisa membantu, Tante Rasty, Mama saya memang sudah berubah derastis saat ini," ujar Raisa.     

"Iya, tidak apa-apa, Rai. Ini memang salah kami. Dia berubah seperti itu karna salahku dan kakaku," tukas Rasty.     

"Dulu, Mama saya adalah wanita yang sangat sabar dan tidak pernah mengeluh, serta dia adalah wanita yang sangat pemaaf. Tapi sekarang dia sudah berubah seperti orang lain. Bahkan saya sebagai putri kandungnya pun seperti tak mengenal beliau lagi." Tutur Raisa.     

"Iya, terima kasih, sebelumnya. Kamu masih sudi membantu saya. Ya walaupun hasilnya sangat nihil.     

Saya tidak berhasil membujuk ibu kamu. Dan kemungkinan hidupku juga sudah tidak lama lagi," tukas Rasty dengan ekspresi yang sepertinya sudah kehilangan akal sehat dan putus asa.     

"Jangan berbicara seperti itu, Tante Rasty, saya jadi takut. Melihat kematian Ninna dan kejadian yang menimpa Jarwo saja, saya benar-benar sangat ketakutan dan tidak tenang. Apa lagi kalau, Tante Rasty, juga sampai mati. Saya bingung harus bagaimana?"     

"Harusnya kamu bahagia melihat kami akan mati, karna itu artinya kamu akan kembali mendapatkan hakmu!" ujar Rasty.     

"Ya, awalnya saya memang ingin menjatuhkan kalian dan merebut kembali apa yang seharusnya menjadi hak kami. Tapi menjatuhkan, bukan membunuh. Kalau sekarang melihat kalian yang hidup ketakutan begini. Membuat saya menjadi tak tenang. Bahkan saya kasihan melihat kalian,"     

Dan Rasty pun kembali menangis, bahkan meskipun perbuatan mereka sudah keterlaluan terhadap Raisa dan keluarganya, tapi Raisa tak pernah dendam sama sekali.     

Justru dia masih merasa iba dan kasihan terhadap dirinya dan kakanya.     

Tapi sayangnya semua itu sudah tidak berarti lagi sekarang. Raisa tidak bisa membantunya, maaf dari mulutnya sudah tidak berarti.     

Sekarang hidup Rasty di hantui dengan kematian.     

Dan sama sekali dia tidak pernah merasa tenang, apalagi bahagia.     

Hanya rasa rakut dan sesal. Kalau saja waktu dapat ia putar, maka Rasty akan memperbaiki semuanya.     

Termasuk sifat rakus dan tamaknya.     

"Aku menyesal! Aku menyesal!" teriak Rasty sambil memukul-mukul bagian pahanya sendiri.     

"Sudah, Tante! Sudah!" tukas Raisa.     

"Saya antarkan, Tante, pulang ke rumah saja ya, agar, Tante Rasty, bisa istirahat," ujar Raisa.     

"Aku mau ke sekolah, Rai!"     

"Tante, istirahat di rumah saja. Dan tunggu sampai keadaan membaik, baru berangkat ke sekolah esok hari." ujar Raisa.     

"Tapi, Rai—"     

"Raisa, putar balik ke rumah Tante Rasty, saja ya,"     

"Yasudah kalau begitu," ujar Rasty.     

Dan Raisa pun mengantarkan Rasty pulang. Dan selanjutnya dia kembali ke sekolah.     

Dengan langkah tergesa-gesa Raisa memasuki ruangannya.     

Dia mengambil barang-barangnya yang masih tertinggal, dan selanjutnya dia juga akan pulang. Karna memang saat ini sudah waktunya jam pulang sekolah.     

Ceklek!     

Tuk tuk tuk tuk!     

Suara sepatu Raisa menggema mengiringi langkah kakinya yang berjalan sangat cepat.     

"Bu Raisa!" teriak Aldo.     

Raisa pun menengok ke arah Aldo.     

"Iya, ada apa, Do?" tanya Raisa.     

"Tadi, Bu Raisa dari mana?" tanya Aldo.     

"Saya, baru saja pulang, mengantarkan, Bu Rasty," jawab Raisa.     

"Mengantarkan, Bu Rasty?"     

"Iya, kenapa? Pasti kamu bingung ya, Do?"     

Dan Aldo pun mengangguk, "Iya, benar, Bu Raisa. Saya bingung. Tumben sekali kalian pergi bersama, karna hubungan kalian itu, 'kan kurang baik?"     

"Iya, tapi sekarang sudah berubah,"     

"Berubah, bagiamana, Bu?"     

"Ah, pokoknya berubah, ayo kita pergi ke kafe depan sekolah, nanti saya ceritakan," ujar Raisa.     

"Di kafe depan? Apa tidak sebaiknya ke kafenya, Kak Sherly saja, karna lebih aman?"     

"Ah, di depan saja. Sekarang kita sudah aman, tidak perlu seperti dulu. Bu Rasty, juga tidak akan memata-matai kita lagi" tukas Raisa.     

"Ah, baiklah kalau begitu, kak. Ayo pergi sekarang," ajak Aldo.     

Dan mereka berdua pun pergi menuju kafe yang Raisa maksud.     

"Sekarang, kamu mau pesan apa, biar Kaka, traktir," ujar Raisa.     

"Ah, sekarang sudah di luar sekolah ya? Jadi boleh panggil, Kaka," kelakar Aldo.     

"Iya, dong!" jawab Raisa sambil tersenyum.     

"Baik. Aku pesan Espresso ya, Kak. Kaka yang bayarin, karna Aldo, kan belum kerja,"     

"Iya, 'kan tadi, Kaka udah bilang, Kaka yang bayarin,"     

"Hehe! Thanks, Kak. Tapi nanti kalau, aku udah kerja aku yang bakalan gantian traktir, Kak Raisa."     

"Ah, kamu ini, bisa aja sih, Do."     

"Oh, iya. Kak Raisa, 'kan mau cerita, soal Bu Rasty?"     

"Oh iya benar, sampai lupa,"     

Lalu Raisa pun menceritakan kepada Aldo, tentang kejadian yang dia alami tadi. Di mana Rasty meminta maaf dan sampai bersujud di kakinya, bahkan. Kepada sang ibu juga, namun sayangnya Rasty tetap tidak bisa merubah segalanya.     

Karna ibunya Raisa tidak memaafkan Rasty.     

"Gila! Bu Rasty, sampai bersujud segala?!" tanya Aldo yang keheranan.     

"Iya! Tampaknya beliau benar-benar sudah menyesali semuanya!" jawab Raisa.     

"Terus kenapa, Kak Raisa, masih saja mau memaafkannya? Dia kan sudah jahat, dia sudah membunuh, Eliza!"     

"Yah, Kaka juga bersedih karna kehilangan Eliza, tapi Bu Rasty, kan sudah meminta maaf, jadi Kaka wajib memaafkannya. Selama niatnya tulus, Tuhan saja maha pemaaf masa Kaka enggak," jelas Raisa.     

"Tapi, kalau aku jadi, Kak Raisa, aku tidak akan memaafkan orang seperti mereka. Mereka itu sudah kelewat jahat! Eliza itu gadis yang baik dan aku tidak rela mereka membunuhnya begitu saja!"     

"Jangan, begitu, Aldo, karna menyimpan dendam itu hanya akan membuat hati kita terus tersakiti, jadi ada baiknya kita iklas untuk memaafkan seseorang yang benar-benar ingin berubah," tutur Raisa menasehati Aldo.     

"Wah, Kak Raisa, ini benar-benar baik hati ya. Padahal aku pikir, Kak Raisa itu adalah wanita yang kuat penuh ambisi dan juga tidak akan ada ampun untuk orang yang sudah melukai Kaka,"     

"Masa?! Memangnya aku terlihat seperti itu?!"     

"Haha, iya!"     

"Yasudah ayo di nikmati pesannya, keburu dingin nih karna kebanyakan mengobrol!" ujar Raisa.     

"Oh, iya lupa. Anggap saja ini lagi ngutang. Nanti kalau aku sudah sukses, Kak Raisa bakalan aku traktir sampai makan di kafe puas!" ujar Aldo.     

"Ah, terserah kamu ajalah, Do!" jawab Raisa sambil tersenyum.     

Semakin hari hubungan Raisa dan Aldo kian dekat, tak jarang mereka menghabiskan waktu senggang mereka untuk pergi berdua.     

Raisa sudah menganggap Aldo sebagai adiknya sendiri.     

Sedangkan para sahabat Aldo yaitu, Derry dan Nino, mengira jika kedekatan Aldo dan Raisa itu karna ada hubungan istimewa.     

Mereka mengira Aldo dan Raisa itu berpacaran.     

"Ciye si Aldo, menatang-mentang pacaran sama, Bu Raisa, sekarang jadi lupa sama kita!" sindir Derry.     

"Iya, sekarang jadi jarang nongkrong sama kita, karna sering pergi sama, Bu Raisa!" imbuh Nino.     

"Ih, kalian ini jangan suka, tebar hoak ya?!" ujar Aldo.     

"Udah ngaku aja deh, sama kita!" ujar Derry.     

"Iya, bener kata, Derry, kita, 'kan sahabat!"     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.