Bullying And Bloody Letters

Berusaha Mengingatkan



Berusaha Mengingatkan

0Setelah selesai merapikan buku-buku milik Raisa yang terjatuh, akhirnya Rasty pergi meninggalkan sekolahan.     
0

Dia hendak menemui Nindi sang kaka.     

Rasty mengendarai mobilnya dengan kecepayan yang tinggi.     

"Semoga saja, Kak Nindi mau mendengarkan ucapanku ini," gumam Rasty.     

Setelah 15 menit berlalu, Rasty pun sampai tepat di depan rumah Nindi.     

Tok! Tok! Tok!     

Ceklek!     

Dan kebetulan sekali ternyata yang membukakan pintu adalah Nindi sendiri.     

"Ada apa?" tanya Nindi dengan ketus.     

Karna sejak kejadian yang menimpa Ninna waktu itu membuat Nindi menjadi kesal dengan Resty.     

Karna Rasty sudah tidak becus menjaga putrinya di sekolah.     

"Kak, tolong jangan membenciku, harus berapa kali aku bilang, kalau kejadian yang menimpa Nina itu di luar kendaliku," tukas Rasty.     

"Mau sampai kapan kamu berkata seperti itu, apa maksud dari kata 'di luar kendaliku' itu hah?!" cantas Nindi.     

"Ninna, meninggal karna Eliza," jelas Rasty.     

Brak!     

Seketika Nindi menggebrak meja yang ada di depannya.     

"Omong kosong macam apa ini?!" teriak Nindi.     

"Ini bukan omong kosong, Kak! Apa yang sudah ku katakan ini memang benar adanya!"     

"Aku memang sangat hingung dengan kejadian yang sudah menimpa, Jeninna putriku! Karna itu terasa aneh dan tak masuk akal. Tapi bukan karna itu juga aku harus mempercayai omong kosongmu itu!"     

"Tapi, Kak—"     

"Pergi kamu, Rasty!" teriak Nindi.     

"Kak, tolong dengarkan aku, karna hantu itu sekarang mengincar, Kak Nndi!"     

"Aih, bulshit! Aku tidak percaya!"     

"Kak, aku mohon dengarkan apa yang aku katakan ini, sebelum Ninna meninggal dia mengirimkan surat ancaman tentang kematian Ninna, bahkan dia juga mengirimkan kepada Ninna sendiri, dan sekarang dia kembali mengirimkan suratnya kepadaku, bahwa dia akan membunuh, Kaka!" jelas Rasty.     

"Pulang!" sergah Nindi.     

"Tapi, Kak—"     

"PULANG!" teriak Nindi kepada Rasty.     

"Kak! Tolong dengarkan aku! Tolong percaya kepadaku!" pinta Rasty.     

"AKU BILANG PULANG YA PULANG! TOLONG JANGAN MEMBUATKU HABIS KESABARAN!"     

Seketika Rasty pun menundukkan kepalanya, dan dengan sangat terpaksa dia pergi meninggalkan rumah kakaknya.     

"Aku harap, tidak terjadi hal buruk kepada, Kak Nindi," ujar Rasty sebelum pada akhirnya pergi meninggalkan Nindi.     

***     

"Ya Tuhan! Bagaimana nasib kakaku selanjutnya?!" gumam Rasty sambil mengendarai mobilnya dengan cepat.     

Lalu saat dia mengebut tiba-tiba di depan mobilnya terdapat seorang gadis berseragam sekolah Pratama Jaya sedang menyebrang.     

Lalu gadis itu pun menoleh ke arah Rasty, seketika Rasty pun terkejut dan menghentikan laju mobilnya secara mendadak.     

Ckiitt....     

Mobilnya sampai tergelincir dan nyaris mengalami kecelakaan.     

"Eliza?!" ujar Rasty dengan wajah syoknya.     

Dan gadis itu tiba-tiba lenyap dari hadapannya.     

Hosh hosh hosh!     

Huh! Hik... hik... hik....     

Nafasnya tersengal-sengal dan kedua netranya terus meneteskan air matanya, Rasty merasa sangat ketakutan.     

Otaknya serasa ingin meledak karna dihantui bayangan kakanya yang akan segera mati.     

Serta penampakan gadis berseragam sekolah tadi sudah berhasil membuat mentalnya menjadi semakin terpuruk.     

"Apa aku akan mati?! Dan apa mungkin aku malah akan berakhir di rumah sakit jiwa?!" ujarnya.     

"Hik hik! Eliza! Tolong hentikan semuanya! Aku mewakili, kak Nindi, meminta maaf kepadamu! Dengan penuh kerendahan hati ini!" teriak Rasty.     

Tin tin tin!     

Tin tin tin!     

Tin tin tin!     

Suara klakson mobil yang ada di belakangnya terus menggema dan bersahut-sahutan.     

"WOY BURUAN JALAN! BIKIN MACET SAJA!"     

"TIDUR YA?!"     

"INI LAMPU HIJAU! BUKAN LAMPU MERAH!"     

Tetiak para pengendara mobil yang ada di belakangnya.     

Dan Rasty pun segera memperbaiki posisi mobilnya yang melintang di bagian jalan, agar para pengemudi lainya bisa kembali melintas.     

***     

Esok harinya, Raisa kembali berangkat ke sekolah seperti biasanya.     

Dia kembali berpapasan dengan Vivi.     

"Selamat pagi, Bu Raisa!" sapa Vivi dengan penuh ceria.     

"Pagi juga, Bu Vivi," sahut Raisa.     

"Apa, Bu Raisa, mau ngopi bareng di kantin?" tanya Vivi.     

"Ngopo bareng?"     

"Iya!" Jawab Vivi penuh yakin.     

Raisa terdiam sesaat. Raisa tampak keheranan melihat Vivi, karna pagi ini Vivi merasa sangat, ramah dan ceria menyapanya, padahal biasanya dia hanya berbicara seperlunya dan segera pergi menghindari Raisa.     

"Loh, kenapa diam? Bu Raisa, gak mau ngopi bersama saya?" tanya Vivi.     

"Eh, enggak kok, saya mau, hanya saja ini agak terasa aneh,"     

"Aneh, bagaimananya ya?"     

"Ya aneh aja, memangnya, Bu Vivi gak takut ketahuan, bu Rasty?" tanya Raisa secara terang-terangan.     

"Soal itu ... sebelumnya saya ingin meminta maaf kepada, Bu Raisa, karna saya benar-benar takut di pecat oleh, Bu Rasty. Tapi sejujurnya saya sangat ingin sekali berteman akrab dengan, Bu Raisa, seperti dulu,"     

"Saya tahu, Bu Vivi, lalu apa yang membuat, Bu Vivi, hari ini berani mengajak saya mengopi bersama?" tanya Raisa yang keheranan.     

"Oh kalau soal itu, karna hari ini, Bu Rasty, sedang tidak masuk sekolah." Tutur Vivi.     

"Oh, jadi begitu? Kira-kira, dia kenapa tidak masuk ke sekolah?"     

"Entahlah, Bu Raisa, sepertinya beliau sedang sakit."     

"Sakit?"     

"Karna saya lihat, semenjak kepergian, Jeninna, kondisi Bu Rasty sedikit drop, bahkan tak jarang beliau bertingkah sangat aneh," jelas Vivi.     

"Benarkah?!"     

"Iya, Bu Raisa,"     

Kalau begitu ayo kita, pergi sekarang, Bu. Mumpung belum masuk, masih ada sekitar 15 menit lagi," tukas Raisa sambil melirik ke arah arlojinya.     

Mereka berdua pun pergi ke kantin, untuk menikmati waktu berdua untuk sekedar mengobrol, seperti sebelumnya saat Rasty belum berniat memecat Vivi.     

"Wah, rasanya senang sekali, bisa mengobrol dan duduk ngopi berdua dengan, Bu Raisa lagi," tukas Vivi.     

"Iya, Bu Vivi, saya juga merasa sangat bahagia bisa mengobrol begini bersama, Bu Vivi."     

"Iya, Bu. Selama berada di skolah ini, baru, Bu Raisa, orang yang paling asyik di ajak ngobrol dan nyambung dengan saya begini, tapi sayangnya karna suatu hal membuat saya harus menjauhi, Bu Raisa," ujar Vivi.     

"Ah, Bu Vivi ini, bisa aja, lalu bagimana dengan ke adaan ibu dari, Bu Vivi? Apa sudah mendingan?"     

"Ya, sudah lumayanlah, Bu Raisa, beliau sudah bisa beraktivitas seperti biasa, dan bagiamana dengan keadaan ibunda dari, Bu Raisa Sendiri?"     

"Oh, ibu saya juga sudah lumayan mendingan, kondisi kesehatanya selalu ada perubahan membaik setiap harinya," jelas Raisa.     

"Wah, syukurlah, saya turut bahagia mendengarnya, Bu Raisa,"     

"Terima kasih, Bu Vivi,"     

Di dalam kantin itu, Raisa dan Vivi tampak sedang asyik mengobrol, dan tak sadar keakraban mereka sedang di mata-matai oleh Jarwo, si penjaga sekolahan.     

Pria yang juga turut terlibat dalam pembunuhan Eliza itu juga menjadi anak buah Rasty, dia di tugaskan untuk memata-matai gerak-gerik Raisa selama di sekolah.     

"Ternyata, Bu Vivi, kembali berhubungan baik dengan, Bu Raisa, ini tidak bisa di biarkan, aku harus melaporkannya kepada, Bu Rasty," tukas Jarwo.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.