Bullying And Bloody Letters

Tidak Di Percayai



Tidak Di Percayai

0Esok harinya, Rasty sudah kembali masuk ke sekolah, tapi tampaknya kondisinya belum begitu baik.     
0

Dia masih tampak lemas, dan terlihat sekali dari raut wajahnya dia sangat lelah dan banyak sekali fikiran.     

Dengan langkah gontai, wajah pucat tanpa riasan makeup, Rasty memasuki ruangnya.     

Perlahan dia duduk dengan tatapan yang kosong.     

"Dulu posisi ini membuatku, menjadi bangga sekaligus bahagia. Tapi sekarang, posisi ku di sekolah ini serasa mirip petaka," gumam Rasty.     

Tok tok tok!     

Terdengar suara ketukan pintu dari luar ruangan Rasty.     

"Iya, silahkan masuk!" teriak Rasty.     

Ceklek!     

"Selamat siang, Bu Rasty," sapa Jarwo sambil menudukkan badannya sesaat, pertanda hormat.     

"Iya, ada apa, Jarwo?" tanya Rasty.     

"Begini, Bu Rasty, saya ingin melaporkan, bahwa, nampaknya hubungan, Bu Raisa dan Bu Vivi, kini sudah akrab kembali," tutur Jarwo.     

"Kapan kamu melihatnya?" tanya Rasty, dengan pandangan yang tidak fokus.     

"Kemarin, Bu Rasty, sepertinya, Bu Vivi, dan Bu Raisa, sengaja memanfaatkan kesempatan saat, Bu Rasty tidak masuk ke sekolah," jelas Jarwo.     

"Ah, dasar sialan," umpat Rasty, tapi dengan suara yang pelan dan tak bersemangat.     

Jarwo pun tampak sangat heran, karna tak biasanya Rasty seperti ini, ini terasa sangat aneh.     

"Bu Rasty, selanjutnya apa?" tanya Jarwo.     

"Apa? Maksudnya?" tanya balik Rasty, tapi masih dengan pikiran yang tidak terfokus kepada Jarwo.     

"Apa yang harus kita lakukan, apa perlu kita kembali lancarkan niat kita untuk membunuh, Bu Raisa sekarang?" tanya Jarwo mastikan.     

"Tidak! Tidak usah!" tegas Rasty.     

"Loh, kenapa, Bu?"     

"Aku bilang tidak usah! Ya tidak usah!" cantas Rasty.     

Jarwo tampak menunduk dengan wajah keheranan, Rasty yang dulu sangat menggebu-gebu untuk membunuh Raisa, tapi kini malah, tidak begitu bersemangat sama sekali, bahkan sebelumnya mereka sudah merenacakannya matang-matang.     

"Tapi, Bu Rasty—"     

"Jarwo! Ayo cepat keluar sekarang juga!" serga Rasty.     

Dan akhirnya Jarwo pun keluar dari dalam ruangan Rasty.     

"Kenapa, Bu Rasty, jadi aneh begini ya?" gumam Jarwo.     

Dan di jalan saat dia baru keluar dari ruangan Rasty, Jarwo pun berpapasan dengan Raisa.     

Raisa pun menatap Jarwo lekat-lekat, dia teringat dengan ucapan Aldo yang mencurigai bahwa Jarwo turut terlibat atas pembunuhan Eliza.     

'Dia itu kan cuman penjaga sekolahan, terus kenapa dia sering sekali keluar masuk ruangan kepala sekolahan dan seolah sangat akrab dengan Rasty? Apa jangan-jangan benar dia turut terlibat dalam. Kecelakaan itu?' batin Raisa.     

Melihat Raisa yang menatapnya dengan tatapan yang penuh arti, Jarwo pun segera menunduk dan berjalan dengan langkah cepat untuk menghindari Raisa.     

Padahal gelagat anehnya itu justru membuat Raisa menajdi semakin curiga.     

'Yah, melihatnya yang seperti salah tingkah itu, justru membuatnya semakin terlihat kalau dia benar-benar terlibat,' batin Raisa.     

Akhirnya Raisa memutuskan untuk mengikuti Jarwo yang mulai naik ke lantai atas.     

jarwo naik ke lantai 3 gedung sekolah, sejak dulu tempat itu memang menjadi tempat favoritnya karna di sana tempatnya sangat sepi, karna seluruh kegiatan sekolah sebagian bersat berpusat di lantai satu dan dua gedung sekolahan.     

Di lantai tiga hanya terdapat perpustakaan, dan gudang-gudang barang yang sudah tidak terpakai.     

Di jam pelajaran begini, tentu saja, keadaan perpustakaan pun juga sangat sepi.     

Sehingga dia bisa dengan bebas bersanta-santai sambil meneguk secangkir kopi yang dia pesan dari kantin sekolahan.     

Dan dia juga bisa dengan bebas merokok tanpa ada orang yang merasa terganggu akibat asap yang di hasilkannya.     

"Pak Jarwo," lirih Raisa.     

Dan Jarwo pun tampak kaget melihat kehadiran Raisa.     

"B-b-bu Raisa?!" ujar Jarwo dengan suara yang terbata-bata.     

"Kenapa, Pak Jarwo, kelihatan gugup begitu?" tanya Raisa.     

"Eng-gak, Bu Raisa, sa-saya biasa aja, tuh!" jawab Jarwo dan ekspresinya terlihat sangat ketakutan.     

"Semakin, Pak Jarwo, mengelak, semakin terlihat kalau, Pak Jarwo itu sedang berbohong dan ketakutan!" cantas Raisa.     

'Dasar wanita sialan!' batin Jarwo.     

"Saya ingin bertanya baik-baik kepada, Pak Jarwo, apa benar Pak Jarwo itu, terlibat dalam kecelakaan yang menimpa, Eliza!?" tanya Raisa.     

"Hah?! Apa maksud, Bu Raisa bertanya seperti itu?!"     

"Pak Jarwo, tinggal menjawabnya iya, atau tidak!"     

"Tapi, Bu Raisa, itu seolah-olah menuduh saya!"     

"Anda, merasa di tuduh?!"     

"Tentu saja! Mentang-mentang saya orang kecil, seenaknya, Bu Raisa, menindas saya!" ujar Jarwo yang tak terima sekaligus untuk menyangkal tuduhan dari Raisa.     

"Wah, Anda ini kelewatan ya, kenapa pakek acara membawa setatus sosial segala sih?! Saya hanya ingin, Bapak, mengatakan iya atau tidak! Kenapa sulit sekali!" cantas Raisa.     

Jarwo pun terdiam menunduk, dan terlihat sangat ketakutan, rupanya Raisa sudah mencium perbuatan keriminalnya.     

"Pak, katakan sejujurnya, saya akan memaafkan, Bapak, kalau Bapak, mau mengatakannya dengan jujur," tukas Raisa dengan suara yang pelan namun terdengar sangat memaksa.     

"Saya tidak melalukannya! Bukan saya pelakunya!" tukas Jarwo yang masih terus berusaha menyangkal.     

"Sudah saya bilang, semakin, Bapak menyangkalnya, malah, Bapak, semakin terlihat berbohong, oleh karna itu lebih baik jujur, kalau tidak jangan salahkan saya kalau suatu saat nanti Anda masuk jeruji besi!" ancam Raisa.     

Lalu Raisa pun berlalu pergi.     

Dan Jarwo pun mulai gelap mata karna dia merasa terancam oleh keberadaan Raisa.     

Dan Jarwo pun meraih sebuah tongkat baseball yang terletak di gudang sekolahan lantai tiga.     

Dan setelah itu dia mengejar Raisa untuk menyerangnya.     

Namun belum sampai memukul Raisa, tiba-tiba Raisa menengok ke arahnya.     

Dan seketika Jarwo pun terkejut karna wajah Raisa berubah menjadi wajah Eliza.     

"El...liza!"     

Dan seketika Jarwo pun berjalan mundur menjauhi Raisa.     

"Kenapa, Pak Jarwo, membawa tongkat baseball itu? Pak Jarwo, ingin membunuh saya ya?"     

"Tidak! Tidak! Tolong jangan mendekat!" ujar Raisa yang sangat panik.     

"Kenapa, Bapak, menjadi aneh begitu?" tanya Raisa.     

Tapi di dalam pandangan Jarwo seperti ini,     

"Apakah, Pak Jarwo sudah siapa mati?" tanya Eliza sambil tertawa tipis.     

"Tolong jangan mendekat! Ampun! Ampun!" Jarwo terus berjalan mundur, sementara Raisa yang keheranan pun berjalan mendekati Jarwo.     

"Pak Jarwo, kenapa? Apa Bapak baik-baik saja?!" tanya Raisa yang panik.     

Dan Jarwo terus berjalan mundur karna sangat takut melihat wajah Raisa yang sudah berubah menjadi wajahnya Eliza itu. Apa lagi wajah Eliza dipenuhi dengan darah dengan bagian kepala yang retak.     

"Awas! Jangan mendekatiku?!" sergah Jarwo.     

Padahal Raisa sudah berjalan mundur, karna dia tahu jika Jarwo sedang takut kepadanya, apa lagi keberadaan tubuh Jarwo sudah berada tepat di bagian pembatas Lantai tiga.     

"Pak ayo cepat kemari! Jangan mundur-mundur! Itu berbahaya!" teriak Raisa memperingatkan kepada Jarwo.     

Raisa benar-benar takut jika Jarwo akan terjun bebas ke bawah seperti Ninna waktu itu.     

"Pak! Tolong maju! Jangan mundur saya moho!" pinta Raisa.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.