Bullying And Bloody Letters

Karna Terpaksa



Karna Terpaksa

0Beberapa hari setelah kematian Ninna, keadaan sekolah terasa sangat senyap, di dalam kelas Raisa juga tampak bersungguh-sungguh mengajar para muridnya, tak ada lagi yang perlu dia sindir dan dijatuhkan mentalnya untuk membalaskan dendamnya.     
0

Ninna sudah tidak ada, tidak perlu lagi Raisa membuang tenaganya untuk melawan kenakalan Ninna.     

Sedangkan di dalam ruangan kepala sekolahnya.     

Rasty tampak sangat murung dan hanya bisa terdiam membayangkan kenyataan pahit ini.     

Keponakan tersayangnya sudah tidak ada.     

Tidak ada lagi yang membuatnya pusing karna berhalusinasi yang tidak-tidak.     

Tapi karna mengingat hal itulah yang membuatnya merasa sangat bersalah.     

Harusanya dia lebih mendengarkan Ninna, agar Ninna bisa tetap masih hidup sampai sekarang.     

"Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Kenapa semua ini terasa sangat aneh. Bahkan bukan hanya aneh tapi menyeramkan," gumam Rasty.     

Dan seketika pandangannya di hadapkan dengan sebuah lubang hitam yang tiba-tiba berada di depannya, seperti sebuah pintu yang menuju masuk ke dalam dimensi lain.     

"Apa ini?" ujar Rasty yang merasa sangat keheranan bercampur takut.     

Lalu secara perlahan tubuhnya terbawa ke dalam lubang itu, Rasty pun berteriak-teriak histeris.     

"Tolong! Tolong! Tolong!" teriaknya.     

Tubuhnya terjatuh seperti berada di sebuah goa.     

"Di mana aku ini?!" ujarnya yang kebingungan.     

"Aku takut sekali aku ada di mana?!" ujarnya yang terus bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.     

Dan samar-samar dia mendengar suara yang sangat tidak asing di telinganya.     

"Tolong ... tolong ...."     

Suara itu terus menyapa telinganya, dan membuat Rasty semakin merinding sekaligus penasaran.     

"Tolong ...."     

"Ninna! Apa benar itu Jeninna?!" tukas Rasty yang penasaran.     

Meski merasa sedikit takut, tapi Rasty berusaha untuk tetap mencarinya.     

"Kamu di mana?" Rasty terus berjalan untuk mencari sumber dari suara yang sangat mirip dengan Ninna itu.     

Lalu Rasty pun terjatuh, karna kakinya yang tersandung sebuah benda entah itu apa karna keadaannya memang sedikit gelap.     

"Apa sih, ini?" gumam Rasty sambil menendang benda itu, karna menurutnya sangat mengganggu langkah kakinya.     

Tapi, setelah Menendang benda itu, tiba-tiba kembali terdengar suara yang mirip dengan suara Ninna lagi.     

"Tolong ...!"     

Suara itu terdengar lebuh dekat dari sebelumnya.     

"Ninna kamu di ma—" Kedua netra Rasty melotot dengan lebar ketika melihat, rupanya sumber suara yang dia cari adalah benda yang baru saja dia tendang itu.     

Dan benda itu adalah kepalanya Ninna sang keponakan.     

Dengan wajah sendu tatapan kosong, dan berlumuran darah, kepala itu memandang Rasty dengan penun harap. Seolah berharap Rasty bisa menolongnya dari kesulitan yang dia alami.     

Tentu saja hal itu membuat Rasty merasa sangat syok sekaligus ketakutan, dia pun berusaha menjauh dari potongan kepala yang terus menatapnya itu.     

Namun ketika di membalikan tubuhnya dan berlari menjauh, dia kembali menabrak sesuatu, yaitu gadis berseragam sekolah yang tubuhnya berlumuran darah dan tanpa kepala. Gadis itu adalah Ninna.     

Rasty pun merasa terjebak dan tidak bisa berlari lagi.     

"Ninna! Ampun, Ninna! Tolong jangan ganggu, Tante, lagi ...!" tukas Rasty memohon.     

Dan kedaan ruangan berubah menjadi semakin gelap sampai dia tak dapat melihat apa pun sama sekali.     

Dan di telinganya terdengar seseorang yang sedang memanggil-manggil namanya.     

"Bu, Bu Rasty, bangun, Bu Rasty," panggil Vivi sambil menepuk-nepuk wajah Rasty yang masih tertidur di atas meja sambil mengigau.     

Dan perlahan Rasty pun membuka matanya, dia mendapati secldang berada di ruangannya, dan keadaannya benar-benar masih sama seperti semula, sama persis seperti saat pertama kali dia masuk dalam ruangannya sendiri tadi.     

"Bu Rasty, gak apa-apa?" tanya Vivi.     

"Bu Vivi?! Nagapain, Bu Vivi kemari?!" tanya Rasty yang masih syok.     

"Maaf, Bu Rasty, saya masuk tanpa seizin dari, Ibu. Tadi saya memanggil-manggil Bu Rasty, tapi Ibu tidak menyahutinya, dan malah berteriak-teriak di dalam ruangan makanya saya berinisiatif untuk masuk dan melihat keadaan dari, Bu Rasty," jelas Vivi salah stu staf pengajar di sekolah itu.     

Rasty pun segera menyadarkan dirinya, bahwa semua kejadian tadi hanyalah mimpi.     

Segera dia meraih, segelas air putih di atas mejanya dan langsung menegukknya.     

Setelah merasa tenang, Rasty pun mulai melanjutkan obrolannya dengan Vivi, dan bertanya tentang apa maksud dan kedatangan Vivi kemari.     

"Memangnya, apa tujuan dari, Bu Vivi, kemari?" tanya Rasty.     

"Ah, begini, Bu Rasty, kedatangan saya kemari untuk mengajukan sebuah proposal terkait, penambahan kegiatan di kelas kami, yaitu berupa belajar di alam terbuka yang akan kami lakukan setiap hari sabtu, dan tentu saja kami membutuhkan pesetujuan dan tanda tangan dari, Bu Rasty," jelas Vivi.     

"Ah baiklah kalau begitu, silahkan bawa kemari surat propsalnya!" perintah Rasty.     

Lalu Vivi pun menyodorkan surat itu, dan tanpa membacanya terlebih dahulu, Rasty langsung menadatanganinya.     

"Loh, maaf, Bu. Apa tidak sebaiknya di baca dulu?" ujar Vivi mengingatkan kepada Rasty.     

"Agh, tidak perlu, saya langsung menandatanganinya saja, dan sekarang Bu Vivi, boleh langsung keluar dari ruangan saya," ujar Rasty.     

"Ah, baik kalau begitu, Bu Rasty," ujar Vivi.     

Vivi pun segera bergegas dari ruangan Rasty, dan sesaat Vivi menatap Rasty dengan wajah sedikit ragu-ragu bercampur heran, karna tak biasanya Rasty mengigau di siang bolong dan tampak seperti orang yang masa bodo, seperti ini.     

'Bu Rasty, aneh sekali, apa semua ini karna dia yang masih belum rela, akibat di tinggal oleh Ninna keponakannya?' batin Vivi, sambil berjalan membawa surat proosalnya.     

Dan di saat iya sedang berjalan menuju ruanganya, dia berpapasan dengan Raisa.     

"Selamat siang, Bu Vivi," sapa Raisa dengan ramah.     

"Siang, Bu," jawab Vivi dengan sedikit menjaga jarak dari Raisa.     

Raisa pun sangat memahami dengan sikap Vivi saat ini, karna dia tahu jika Vivi berusaha menjauh darinya karna takut akan mendapatkan masalah lagi seperti sebelumnya.     

Raisa pun bisa mahaminya, karna bekerja di sekolah ini adalah mata pencarian utama bagi Vivi, karna ibunya sedang sakit keras.     

Vivi berjalan sangat cepat agar tidak terlalu banyak berinteraksi dengan Raisa, dia takut Rasty akan melihatnya dan posisinya di sekolah ini akan terancam.     

Raisa hanya bisa melihatnya dengan nanar, karna sangat menyayangkan orang sebaik Vivi harus kesulitan karna dirinya.     

'Maaf ya, Bu Vivi, gara-gara saya, Bu Vivi jadi ketakutan begini,' batin Raisa dengan pandangan yang mesih tertuju ke arah Vivi.     

Sedangkan Vivi juga merasa sangat tidak enak kepada Raisa, karna dia tahu Raisa itu adalah orang yang sangat baik, hanya saja dia tidak bisa terlu akrab dengannya.     

'Maafkan saya, Bu Raisa, saya melakukan ini karna terpaksa,' batin Vivi.     

Padahal Vivi sangat nyaman berteman dengan Raisa, selain Raisa sangat baik, umur mereka juga sepantaran, jadi obrolan mereka selalu nyambung, namun sayangnya saat ini pekerjaannya yang paling utama.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.