Bullying And Bloody Letters

Sebuah Karma



Sebuah Karma

0"MINGGIR!" teriak Sera mencari jalan untuk melihat siapa jasad yang sudah terkapar itu.     
0

Seketika matanya pun terbelalak lebar saat melihat ternyata jasad yang terkapar itu adalah Jeninna sahabatnya.     

"Ninna! Ini beneran, Ninna!"     

Sera tak sanggup berkata-kata lagi dia menatap Ninna dengan tatapan tajam serta mata melotot.     

Sera benar-benar tak percaya jika sahabatnya benar-benar sudah mati, dan dengan cara mengenaskan seperti ini.     

Akhirnya saking sudah tidak tahanya lagi, perlahan tubuh Sera pun melemas hingga akhirnya dia pun pingsan.     

Sementara itu, Raisa yang baru saja mendengar berita itu, dia langsung bergegas ke lantai bawah untuk melihat siapa yang sudah terjatuh.     

Saat hendak menuju lantai bawah, dia berpapasan dengan Aldo.     

"Bu Raisa!" panggil Aldo.     

"Hey, Aldo!" sahut Raisa.     

"Bu Raisa, mau ke lantai bawah, ya?" tanya Aldo.     

"Iya, Do!"     

"Ayo, Bu bareng sama saya!" ajak Aldo.     

"Ayo!" jawab Raisa.     

Sesampainya di lantai bawah, Aldo dan Raisa pun juga langsung terkejud saat melihat ternyata yang jatuh adalah Ninna.     

"Jeninna?!" tukas Raisa dengan mata melotot tajam. "Tapi bagaimana bisa terjadi!?" Raisa pun bertanya-tanya keheranan.     

Karna sebelumnya Jeninna baik-baik saja, lalu entah bagimana ceritanya Jeninna bisa tiba-tiba terjatuh.     

"Apa ini yang di sebut karma?" celetuk spontan dari mulut Aldo.     

"Entalah, tapi aku turut prihatin melihat kejadian ini, walaupun aku sangat membenci dia dan ibunya begitu, pula dengan tantenya," jawab Raisa.     

"Tapi, aneh sekali, Bu Raisa, kenapa kalau jatuh kepalanya bisa terputus begini? Sangat aneh bukan?" tanya Aldo.     

Sejenak Raisa pun terdiam dia mulai teringat dengan apa yang sudah di ucapkan oleh sang ibu saat itu.     

'Eliza tidak akan pergi dari dunia ini sebelum dia memebalaskan dendamnya' tukas Rima saat itu.     

Dan kini kembali terngiang-ngiang di telinga Raisa setelah kejadian ini.     

"Kenapa ini bisa tetjadi kepadanya? Apa benar pelaku kecelakaan ini adalah Eliza?" gumam Raisa.     

"Maksudnya, Bu Raisa, apa?!" tanya Aldo yang merasa sangat kaget sekaligus penasaran.     

"Ah, sudahlah, jangan di bahas, kita bahas lain kali, lagi pula aku masih belum yakin. Ini terlalu tidak masuk akal," tukas Raisa.     

"Tapi, Bu Raisa!"     

"Nanti saya ceritakan!" ujar Raisa.     

***     

Sedangkan Rasty masih berada di atas lantai tiga, yang di sana masih sangat sepi, karna semua orang berlari ke lantai satu untuk melihat Ninna.     

Perlahan Rasty membuka matanya, dia baru tersadar dari pingsannya.     

Sambil mengusap-usap kedua pelupuk matanya, Rasty mencoba untuk bangkit.     

Pelan-pelan dia berdiri, dan di hadapannya dia melihat tetesan darah.     

Seketika pikirannya kembali teringat dengan peristiwa menyeramkan yang baru saja dia saksikan sebelum dia pingsan.     

"Astaga, keponakanku, Ninna!" tariak Rasty.     

"Ini bukan mimpi rupanya! Ninna, benar-benar sudah mati!" ucap Rasty sambil menangis sesenggukan.     

Terdengar jelas sebuah penyesalan di wajahnya, karna dia tidak mendengarkan ucapan Ninna.     

"Maafkan, Tante, Ninn! Maafkan, Tante .... "     

Dengan langkah tertatih sambil memegang kepalanya yang terasa pusing, Rasty berjalan hendak menuruni lantai bawah.     

"Harusnya Tante dengerin, kamu, Tante menyesal, Ninna! Tente menyesal! Hik hik ...." Rasty hanya bisa pasrah menerima kepegian Ninna dengan cara yang mengenaskan begini.     

Dia tidak tahu harus berkata apa dengan Nindi sang kaka, sudah pasti Nindi akan marah besar dengannya.     

"Ninna, Tante harus bilang apa sama, Mama kamu, Ninna!"     

Dan tak berselang lama, Nindi pun datang menghampirinya.     

"RASTY!" teriak Nindi sambil berjalan dengan langkah tergesa-gesa menghampirinya.     

Dan sesaat Rasty melirik kebagian bawah, dan jasad anaknya masih terkapar dengan cara mengenaskan.     

Seketika hati Nindi pun langsung hancur berkeping-keping.     

"Ninna!" teriak Nindi tapi dia tidak tega untuk mendekat atau sekedar memeluknya.     

Dia pun berbalik mendekat ke arah Rasty dan langsung menamparnya dengan kencang.     

Plak!     

"Kamu itu kemana saja?! Kenapa putriku bisa sampai begini?!" teriak Nindi yang marah lepada Rasty.     

"Maaf, Kak Nindi, ampun ...." Ujar Rasty dengan wajah yang sangat menyesal.     

"Rasty! Aku sudah bilang jaga, Ninna! Aku sudah memberi jabatan terbaik di sini! Tapi kenapa menjaga Ninna saja tidak becus!" oceh Nindi.     

"Maaf, Kak Nindi, tapi kejadian ini benar-benar di luar kendali, Kak Nindi!"     

"Akh! Aku tidak mau dengar penjelasanmu!" teriak Nindi.     

Kembali dia mendekat kearah jasad putrinya tapi dia enggan menyentuhnya sama sekali dan dari barisan seberang dia melihat ada Raisa yang juga tengah menyaksikan kematian Ninna.     

Dan hal itu membuat Nindi menjadi semakin murka.     

Dengan segera Nindi berjalan cepat menghampiri Raisa dan tanpa permisi dia menampar wajah Raisa dengan kencang.     

Plak!     

Raisa pun tampak keget, dan segera memegang pipi bagian kanannya yang terasa samgan panas akibat tamparan dari Nindi.     

"Ih, apa-apaan sih?!" tanya Raisa yang sangat kesal.     

"PUAS KAMU YA?!" teriak Nindi dengan nada yang sangat tinggi.     

"Apa sih, maksud kamu ini?!"     

"Kamu sudah membuat putriku jadi mati begini?!" teriak Nindi.     

"Apa maksud kamu?! Aku tidak ada hubungannya dengan kematian putrimu!" sangkal Raisa, karna Raisa benar-benar tak tahu menahu soal kecelakaan ini. Sama sekali tidak ada hubunganya dia dengan kecelakaan Ninna ini.     

"Tolong jangan asal tuduh! Kamu itu tidak punya bukti!" bentak Raisa yang tak terima.     

"Kalau bukan kamu siapa pembunuhnya!?"     

"Mana ku tahu! Kamu pikir aku sama dengan kalian, yang sudah melakukan pembunuhan terhadap adikku?!"     

"Apa maksudmu?!" tanya balik Nindi yang merasa tertohok sekaligus tak terima dengan tuduhan Raisa. Walaupun pada kenyataannya memang dialah pembunuhnya.     

"Dengar, Raisa! Kamu tidak boleh asal tuduh kepada kami tanpa bukti! Memangnya kamu punya bukti apa?!" tantang Nindi.     

Dengan segera Raisa pun angkat bicara.     

"Kamu pikir kamu juga punya bukti apa menuduhku penyebab kematian dari Ninna?!" tanya balik Raisa dengan wajah yang menantang.     

Akhirnya Nindi pun terdiam, dia tak lagi menyahuti ucapan Raisa.     

Dan Raisa pun pergi meninggalkan Nindi begitu saja.     

Dia menabrakkan bagian punggung tangannya dengan kasar dengan punggung tangan Nindi.     

"Jangan menyalahkan orang karna sebuah musibah yang kamu alami, karna bisa jadi ini adalah sebuah karma atas perbuatanmu sendiri," lirih Raisa dengan nada mengancam.     

Nindi menoleh ke arah Raisa dan menatapnya dengan sangat tajam, diiringi butiran bening yang terus mengalir dari kedua sudut netranya.     

Perlahan Rasty pun menghampiri sang kaka, dia memegang bagian pundak belakang Nindi dengan pelan.     

"Sabar, Kak Nindi," lirih Rasty.     

"Ais! Minggir!" sergah Ninndi seraya menepis tangan Ninndi dari pundankknya.     

Lalu dia pun terduduk sambil menjambak rambutnya sendiri dengan kuat.     

"Ninna, kenapa kamu tinggalin Mama, Sayang ...!" tukasnya dengan penuh penyesalan.     

"Apa arti hidup, Mama, tanpa kamu, Nak?!" Air mata Nindi terus mengalir dengan deras.     

Ucapan dari Raisa terus terngiang-ngiang di telinganya.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.