Bullying And Bloody Letters

Pinta Sang Ibu



Pinta Sang Ibu

0Hari-hari yang terasa sangat sulit bagi Nindi, dia masih belum bisa melupakan kejadian yang sudah menimpa sang putri.     
0

Semenjak kepergian Ninna, dia masih terdiam, dan mengurung diri di kamarnya saja.     

Dia enggan melakukan aktivitasnya seperti biasa.     

"Ma, udah dong," tukas Surya sambil memegabg pundak sang istri dari belakang.     

"Hik ... hik, Mama belum bisa relain Ninna, Pa!" tukas Nindi.     

"Ya mau bagaimana lagi, ini sudah takdir, Ma," jawab Surya.     

"Mama, merasa jika ini ada hubungannya dengan, Raisa!" cantas Nindi.     

"Raisa?!"     

"Iya, Raisa!"     

"Bagaimana bisa, ini semua ada hubungannya dengan Raisa?!" tanya Surya yang merasa sangat keheranan.     

"Tentu saja ada! Dia itu ingin balas dendam atas kematian Eliza kepada Mama, Pa!" jelas Nindi.     

"Tapi, bagaimana bisa?! Mama, gak ada bukti, lagi pula untuk apa dia membalaskan dendamnya kepada, Mama, Mama kan bukan pembunuh Eliza!?" ujar Surya.     

Seketika Nindi terdiam, hampir saja dia keceplosan dan membuka rahasianya sendiri atas pristiwa kematian Eliza.     

"Ah, ya Mama feeling aja, Pa, habisnya Raisa dan ibunya, 'kan sangat benci sama Mama!" jawab Nindi yang beralibi.     

"Sudah, sudah, Papa tahu, Mama, sedang bersedih, makanya, Mama, berbicara yang tidak-tidak, karna Papa tahu kalau Mama, itu sebenarnya orang yang sangat baik dan tidak suka asal tuduh begini," ujar Surya.     

"Iya, Pa, maafin, Mama," jawab Nindi.     

***     

Sementara itu, Raisa baru saja pulang ke rumah, dan menemui sang ibu.     

"Mama, Raisa, pulang!" sapa Raisa penuh ceria, berharap sang ibu juga bersemangat menyambut kepulangnya.     

"Raisa," sapa Rima.     

"Iya, Ma! Gimana keadaan, Mama, hari ini?"     

"Sudah mendingan," jawab Rima dengan suara pelan namun terdengar sangat jelas.     

"Wah, Mama, bicaranya sudah mulai lancar ya?"     

"Iya!" jawab Rima sambil tersenyum bahagia.     

"Raisa sangat bahagia, melihat perubahan, Mama! Mama lekas sehat ya!" tukas Raisa lagi.     

"Iya! Raisa!" jawab Rima yang masih dengan mengembangkan senyumannya.     

"Mama, udah makan belum? Kalau belum biar, Raisa masakin makan malam buat, Mama!"     

"Mama, udah makan tadi sama si Embak,"     

"Yah, sayang sekali, padahal Raisa pengen makan sama Mama,"     

"Yaudah Mama temani kamu saja ya,"     

"Iya, deh, kalau gitu, Raisa masak mie instan dulu ya?"     

"Iya," Rima pun mengangguk.     

Setelah selesai memasak mie instan Raisa kembali masuk ke dalam kamar sang ibu.     

"Udah selesai?"     

"Udah, Ma!"     

"Maafin, Mama ya, Mama, gak bisa masakin kamu," tukas Rima.     

"Ih, Mama, kok ngomong gitu sih, Mama udah sehat aja, Raisa udah bersyukur banget,"     

"Huuf ... terus bagaimana dengan pekerjaan kamu di sekolah?"     

"Raisa sudah lumayan bisa beradaptasi,"     

"Lalu bagaimana dengan kasus, Eliza, apa kamu sudah menemukan titik terang?" tanya Rima.     

"Ah, sedikit, Ma. Tapi Raisa menghentikanya sesaat," jawab Raisa.     

"Loh, kenapa?"     

"Karna di sekolah sedang ada kabar yang sangat mengejutkan sekaligus berita yang cukup menyeramkan,"     

"Berita apa?!" Rima tampak antusias dan sangat penasaran.     

"Raisa, ingin bercerita sama, Mama, tapi kondisi, Mama?"     

"Sudah, ceritakan saja, Mama tidak apa-apa!"     

'Aku bingung berita meninggalnya Ninna itu akan menjadi berita baik atau berita buruk bagi Mama ya?' batin Raisa.     

"Rai! Kenapa malah diam? Mama kan ingin kamu menceritakannya, Mama sudah terlanjur penasaran," ujar Rima.     

"Ah, baiklah, Raisa mau bercerita, jadi beberapa hari yang lalu, Jeninna meninggal, Ma," tukas Raisa.     

"Jeninna, putrinya, Nindi?!" tanya Rima yang sangat penasaran.     

"Iya,"     

"Terus dia meninggal karna apa?"     

"Jatuh, dari lantai Tiga, Ma!"     

"Hah!! Apa?!" Rima sangatlah terkejut, dia benar-benar tak menyangka jika kejadian yang menimpa putrinya juga menimpa putri dari madunya.     

"Mama, gak kenapa-kenapa, 'kan? Karna mendengar berita ini?" tanya Raisa yang sedikit khwatir dengan kondisi sang ibu.     

"Haha! Enggak! Mama itu gak apa-apa karna mendengar berita ini, justru hati Mama jadi bahgia!" ujar Rima dengan raut wajah bahagianya.     

"Mama?"     

"Ini yang, Mama tunggu, akhirnya Eliza membalaskan dendamnya, ini baru Ninna, sebentar lagi, Rasty dan Nindi juga akan mati, begitu pula dengan orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Eliza," ujar Rima penuh percaya diri.     

"Mama, kenapa ngomong begitu?"     

"Mama, sudah bersumpah, tidak akan rela jika Eliza pergi begitu saja, tanpa membalaskan demdamnya terlebih dahulu!"     

"Tapi, Mama, gak boleh seperti itu, kasihan Eliza, biarkan Eliza tenang di alam sana!"     

"Gak bisa! Mama, tidak akan rela, Eliza pergi begitu saja! Eliza harus membalaskan dendamnya!" tukas Rima dengan suara menggebu-gebu, dan hal itu membuat Raisa malah menjadi takut kondisi tubuh Rima akan menjadi semakin parah.     

"Udah, Ma, udah. Sekarang Mama, istirahat ya, Mama, tidur biar Raisa bantu berbaring," tukas Raisa sambil membantu sang ibu membaringkan tubuhhya.     

Akhirnya Rima pun menuruti ucpan Raisa, dia pun berbaring dan tidur.     

Sedangkan Raisa malah semakin tak tenang saja pikirannya.     

Dia keluar dari dalam kamar sang ibu, sambil membawa semangkuk mie rebus yang baru saja dia buat.     

Raisa berpindah ke ruang tamu, dia tampak sangat bingung dengan semua ini, dia memang ingin membalaskan dendamnya kepada Nindi dan yang lainnya, tapi dengan cara yang lebih manusiawi.     

Bahkan dia menyebutnya bukan dendam, tapi lebih memberi pelajaran kepada mereka, dia hanya ingin merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya.     

Tapi lain halnya dengan sang ibu, sepertinya Rima benar-benar sudah sangat teramat membenci Nindi dan keluarganya, sehingga tak ada sedikit pun kata maaf yang bisa terlontar dari mulutnya.     

Mungkin sampai mati pun Rima tidak akan sudi memaafkan Nindi.     

Bahkan mendengar Ninna mati mengenaskan seperti ini pun membuatnya merasa sangat bahagia.     

Terlalu sering diam dan di injak-injak membuat Rima menjadi pribadi yang sangat berbeda.     

Melihat Ninna yang mati secara mengenaskan begini, bukanya membuat Raisa bahagia karna satu musuhnya sudah tumbang. Karna justru hal ini membuatnnya merasa terlalu berlebihan.     

"Mama, Mama ... kenapa menjadi seperti ini? Mama bukan lagi Mama yang dulu, yang selalu sabar dan iklas. Mama sangat berbeda," tukas Raisa.     

Sementara itu Rima tampak tertidur pulas di kamarnya.     

Dan dia merasa ada yang menyentuh wajahnya dengan pelan.     

Perlahan Rima membuka matanya.     

"Eliza," tukasnya dengan suara yang lembut.     

Rima pun tersenyum dan menatap penuh bahagia.     

"Kamu, sudah berhasil membunuhnya ya?" tanya Rima.     

Dan Eliza pun menatapnya dengan senyuman yang datar.     

"Mama, bangga dengan kamu, sampai mati pun kamu tetap berbakti kepada, Mama,"     

Rima kembali melebarkan senyumannya, dengan penuh bahagia.     

"Janji sama, Mama ya, kalau kamu tidak akan pergi dari sini sebelum kamu membunuh mereka semua, janji ya!" tukas Rima penuh yakin.     

Dan suara pembicaraan Rima pun terdengar sampai luar.     

"Mama, ngomong sama siapa sih?!" tukas Raisa yang keheranan. Dan dia segera masuk ke dalam kamar sang ibu untuk melihat siapa lawan bicara sang ibu.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.