Bullying And Bloody Letters

Hal Yang Lumrah



Hal Yang Lumrah

0"Kamu itu benar-benar Iblis! kamu sudah membuat hidup Larasati menderita selama di sekolah. Dan bahkan kamu sampai membunuhnya!" Tyas sangatlah murka, karna ternyata dugaannya itu benar. Jika Seruni dan Amara memang pembunuh Larasati.     
0

Tyas sudah mengangkat tangan kanannya dan hendak menampar wajah Seruni, tapi dia teringat dengan posisinya di sekolah ini.     

Lalu dia menurunkan tangannya kembali.     

"Loh, kenapa tidak jadi memukulku?" tanya Seruni dengan wajah menantang.     

      

"Oh, aku tidak mau mengotori tangan ku dan merusak reputasiku. Karna dia pasti akan turun tangan sendiri!" tegas Tyas.     

      

"Hey! dia siapa maksudmu?!"     

      

"Siapa lagi, tentu saja dia yang sudah kalian bunuh!"     

      

"Jangan ngarang kamu, Tyas!"     

      

Tyas menggelengkan kepalanya, "Wah, bukan main. Masih bicara begitu ya, padahal temannya sendiri, sudah tewas dengan cara mengenaskan. Dan putrimu juga hampir buta, 'kan?"     

      

"Amara, mati karna tertimpa rak buku, dia kecelakaan, jadi kamu jangan mengada-ngada ya!"     

      

"Oh, tertimpa rak buku ya?" Tyas menggelengkan kepalanya, "cek cek cek ... aku tidak habis pikir ternya kamu itu masih mengelak juga."     

      

"Ah dasar gila!" umpat Seruni kepada Tyas. Lalu Seruni pun langsung keluar dari ruangan Tyas, dan dia tidak jadi meminta surat pindahnya.     

      

Seruni berjalan sangat cepat meninggalkan ruang sekolah itu karna dia tidak mau mendapatkan kesialan karna lama-lama berada di sekolah itu.     

"Dasar Tyas Sialan! lihat saja, aku tidak akan membiarkannya tenang!" gerutunya.     

Dan saat itu saking jalannya cepat  tak sengaja Seruni sampai terjatuh.     

Bluk!     

"Akh! sial!" teriaknya.     

Lalu datanglah Larisa di depannya, dan dia mengulurkan tangan karna hendak menolong Seruni.     

"Mari, Bu Seruni, biar saya bantu," ucap Larisa sambil tersenyum.     

Dan di saat itu, dalam pandangan Seruni, wajah Larisa berubah menjadi Larasati.     

Dan dia berkata, "Ayo pilih mana, mati atau mengakui?" tanya Larasati kepada Seruni.     

Dan Seruni pun langsung menepis tangan Larisa dan mendorongnya hingga jatuh.     

"Awas kau Larasati! aku tidak akan membiarkan mu bisa membunuhku!" teriak Seruni sambil berlari dan meninggalkan Larisa, yang di dalam pandangannya adalah Larasati.     

      

Dan melihat Larisa yang terjatuh, Alex pun langsung menghampirinya.     

"Larisa, kamu tidak apa-apa?" tanya Alex sambil membantu Larisa berdiri.     

      

"Tidak, kok.' Jawab Larisa sambil berusaha bangun.     

      

"Kamu itu terlalu baik Larisa, bahkan kepada orang jahat sepertinya, harusnya kamu itu jangan menolongnya!" oceh Alex.     

      

"Tapi kasihan, Lex. Bu Seruni terjatuh begitu,"     

      

"Iya, aku tahu, tapi lihat dia malah mendorongmu, jadi kamu malah terjatuh, 'kan?"     

      

"Iya, tapi aku tidak apa-apa kok,"  jawab Larisa santai, dan Alex pun hanya menggelengkan kepalanya. Alex heran dengan sikap Larisa yang masih saja mau berbuat baik kepada Seruni, padahal jelas-jelas Seruni itu orang yang jahat. Bahkan bukan hanya Larasati saja yang di perlakukan buruk tetapi juga dirinya.     

      

Sementara itu Seruni yang sedang kesal karna sikap Tyas itu pun berjalan cepat menuju mobilnya.     

Sambil otaknya terus berpikir bagaimana cara menyingkirkan Tyas.     

Karna bagaimana pun juga Tyas itu sangat mengancam hidupnya.     

Jika sampai Tyas membuka mulutnya tentang kecurigaannya menghilangnya Larasati adalah ulahnya, tentu hal itu akan membuat hidupnya sangat terancam.     

"Cepat jalan, Pak! langsung pulang ke rumah!" ucap Seruni memerintah sopirnya.     

      

Dan saat dalam perjalanan Seruni bertemu dengan ibunya Nana.     

"Loh, itu kan?" Seruni langsung meminta berhenti sopirnya, "berhenti, Pak!" perintahnya.     

      

"Baik, Nyonya," jawab sang Sopir.     

Ckit ...!     

Dan Seruni pun langsung turun dari dalam mobil lalu menghampiri ibunya Nana.     

"Jeng Dian, dari mana?" tanya Seruni kepada ibunya Nana.     

      

"Eh, Jeng Seruni. Saya baru saja dari rumah sakit jiwa ini," jawab ibunya Nana.     

      

"Jeng, nengokin Sisi ya?" tanya Seruni.     

      

"Bukan, Jeng Seruni. Tapi saya menengok Nana,"     

      

"Nana? bukannya yang masuk di rumah sakit ini Sisi teman anak kita itu?"     

      

"Iya, benar Jeng Seruni, tapi beberapa hari setelahnya putri saya Nana juga masuk ke rumah sakit ini, hik ...." Ibunnya Nana pun tak tahan dan akhirnya menangis di hadapan Seruni.     

      

"Sudah! sudah! jangan menangis di sini! sebaiknya kita cari tempat lain, ayo masuk ke mobil saya!" ajak Seruni.     

Lalu ibunya Nana yang bernama Dian itu pun mau menerima ajakan Seruni.     

Dan mereka pun pergi ke sebuah cafe yang letaknya tak begitu jauh dari rumah sakit jiwa itu.     

      

"Baik, Jeng Dian. Sekarang Jeng Dian bisa menceritakan semuanya," ucap Seruni.     

Lalu Dian pun kembali menitikkan air matanya, "Saya tidak habis pikir, Jeng Seruni, kenapa ini bisa terjadi dengan putri saya. Awalnya hanya Sisi. Tapi beberapa hari kemudian putri saya Nana juga menyusul sahabatnya yang masuk ke rumah sakit jiwa." tutur Dian dengan  suara yang sesak.     

      

"Sudah, Jeng Dian. Bukan hanya Jeng Dian yang sedang bersedih, karna saya pun demikian. Audrey juga hampir buta!" jelas Seruni.     

      

"Iya, Jeng Seruni. Saya tahu, lalu bagaimana keadaan Audrey sekarang?"     

      

"Yah, dia sudah membaik. Dia mendapatkan donor mata, jadi dia bisa melihat kembali,"     

      

"Oh, syukurlah, tapi saya tidak habis pikir, kenapa ke sialan terus menghampiri anak-anak kita ya, Jeng? kita ini salah apa? kenapa sampai putri-putri kita mendapat karma seperti ini."     

Dan mendengar ucapan Dian, Seruni pun terdiam sesaat.     

Memang semua ini bukan salah ibunya Nana, tapi salah Seruni di masa lalunya. Dia sudah membunuh Larasati dan sampai detik ini mayatnya masih ia sembunyikan.     

      

"Jeng Seruni," panggil Dian.     

      

"Iya,"  jawab Seruni.     

      

"Bukanya Jeng Seruni, itu dulunya sekolah di tempat itu? dan apakah kisah aneh seperti ini dulunya juga terjadi?"     

      

"Kisah aneh? maksudnya kisah aneh yang bagaimana ya, Jeng?"     

      

"Kejadian yang menimpa mereka itu bukan sekedar kesialan. Tapi ada sesuatu. Buktinya sebelum Nana masuk ke rumah sakit dia terus berhalusinasi tentang surat, darah, dan menyebut hal-hal yang lainnya. Dan bahkan ibunda dari Sisi pun juga berkata hal yang sama, bahwa Sisi juga mengalami hal yang sama dengan Nana," tutur Dian.     

Meskipun Seruni tahu jika yang di ucapkan oleh Dian itu benar, tapi Seruni berusaha untuk menutupinya.     

"Ah, itu hanya perasaan Jeng Dian saja. Apa yang mereka alami itu hanya kebetulan. Tidak ada sangkut pautnya tentang hal gaib. Kita ini kan orang modern, Jeng. Jadi untuk apa percaya dengan hal seperti itu.     

      

"Tapi, Jeng ini sangatlah aneh. Mana ada anak menusukkan garpu ke matanya sendiri. Dan mana ada dua anak sekaligus mengalami gangguan jiwa dengan gejala yang sama secara tiba-tiba?"     

      

"Jeng, Audrey itu  tidak sengaja tertusuk garpu, dan itu termasuk dalam kecelakaan, sedangkan Nana dan Sisi itu hanya kebetulan saja mereka gangguan jiwa secara bersamaan. Semua itu hal yang masih lumrah terjadi, jadi saya harap Jeng Dian itu jangan berpikir terlalu jauh!" tegas Seruni.     

      

"Lumrah terjadi?" Dian menggelengkan kepalanya.     

      

"Iya, benar, itu hal yang lumrah terjadi," tegas Seruni lagi.     

      

"Lalu kalau soal bullying di sekolah? apa Jeng Seruni tahu soal itu?" tanya Dian kepada Seruni.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.