Bullying And Bloody Letters

Lampu Yang Bergerak



Lampu Yang Bergerak

0Plak!     
0

Holly menampar wajah Brian, "Bajingan kamu!" umpat Holly.     

Dan Brian tersenyum tipis sambil memegang wajah bekas tamparan Holly.     

"Kalau sudah tahu bajingan, untuk apa kamu mengharapkanku?" tukas Brian.     

Lalu Brian pun langsung berdiri dan pergi meninggalkan Holly.     

"Stop!" teriak Holly menghentikan langkah kaki Brian.     

Berian kembali menengok kearah Holly.     

"Apa lagi?!" bentak Brian.     

Holly kembali menarik tangan Brian dan menyuruhnya untuk duduk.     

"Duduk!" perintah Holly.     

"Wah, siapa kamu beraninya memerintahku?!" bentak Brian.     

"Brian, please dengerin aku!" Holly merangkul Brian,  "aku benar-benar mencintaimu,"     

"Akh!" Brian menepis tangan  Holly, "berapa kali aku bilang?" kata Brian.     

"Please, Brian, lihat aku. Aku tulus!"     

"Aih, sejak kapan Perek seperti mu bisa tulus?!" ujar Brian sambil berlalu pergi.     

"What?!"     

"Cari saja pria lain saja, jangan aku! " Brian membuang muka sesaat.     

"Sial! semua gara-gara gadis jelek itu, awas ya!" tukas Holly dengan gigi gemertak.     

      

***     

      

Sementara Alex dan juga Larisa sedang berjalan masuk ke kelas.     

Suara kelas yang amat berisik itu, mendadak senyap saat Larisa masuk kedalam kelas bersama Alex, apa lagi mereka sama-sama memiliki bekas luka dan sama-sama di perban di beberapa bagian tubuh mereka.     

"Duh, pasangan yang romantis, sama-sama habis kecelakaan ya?" teriak salah satu teman kelas mereka.     

"Ciye!" teriak mereka serempak.     

Seketika Alex tersenyum, sementara Larisa menunduk karna tersipu malu.     

"Alex aku malu," keluh Larisa.     

"Sudah tidak apa-apa, Larisa,"     

Dan tanpa ragu-ragu dengan penuh percaya diri Alex malah menggenggam tangan Larisa dengan mesra.     

Dan Alex mengantarkan Larisa duduk di bangkunya.     

"Oh my God, cuman mau duduk saja di antarkan lo ... pengen," teriak salah satu teman sekelasnya lagi.     

"Hey, Larisa! kamu beruntung banget ya, bisa pacaran dengan Alex," tukas seorang siswa yang duduk tepat di belakang Larisa.     

"Dari mana kamu tahu kalau kami berpacaran?" tanya Larisa dengan polosnya.     

"Oh my God, jadi benar ya!" Temannya pun langsung mengulurkan tangan dan menjabat tangan Larisa, "selamat ya!" ucapnya.     

Larisa menggaruk keningnya, "Kok kamu bisa tahu sih? kami kan tidak pernah cerita?"     

"Sebenarnya aku hanya asal tebak saja sih, Larisa. Habisnya kalian itu selalu mesra, kemana-mana selalu berdua. Tapi aku mendukung sih, Alex sama kamu, di banding dengan  si Sombong dan si Kejam Audrey!" Tukasnya dengan wajah kesal karna menyebut nama Audrey.     

      

Mendengar hal itu Larisa merasa sedikit senang, bukan karna gadis itu yang membenci Audrey, tapi karna dia merasa bahagia karna diajak berbicara begini.     

Mereka tampak antusias sekarang, bahkan mereka meledek sambil menyanjung. Bukan seperti dulu. Mereka menghina, dan meledek dengan cara menyakitkan.     

Mereka dulu tak menganggap Larisa sebagai manusia, mereka cenderung ketus berbicara kepada Larisa.     

Semua karna penampikannya, serta pengaruh dari Audrey dan teman-temannya juga yang terus, mendorong mereka semua membenci Larisa.     

Sekarang penampilan Larisa sudah membaik, di tambah lagi tidak ada Audrey dan kawan-kawannya.     

Teman-teman sekelasnya, mulai mengakui keberadaannya, dan tak jarang mereka mulai mengajak  Larisa berbicara, terutama tentang kehadiran Alex di sisinya, yang turut mengangkat Larisa menjadi semakin populer karna itu.     

Alex sangat terkenal di kalangan para siswi. Sehingga Larisa yang menjadi pacar Alex pun membuatnya menjadi terkenal, dan membuat beberapa siswi kagum kepada Larisa yang bisa merebut hati Alex.     

"Larisa, selain penampilan kamu keren, wajah kamu juga bersih dan mulus, kamu perawatan ya?" tanya temannya lagi.     

"Iya," jawab Larisa sambil menunduk sesaat.     

"Kamu pakai skincare merek apa?" tanya temannya.     

"Aku pakai skincare produk Tante Rani." Jawab Larisa.     

"Tante Rani? siapa dia? saudara kamu ya?"     

Larisa menggelengkan kepalanya, "Bukan! tapi Tante Rani itu Ibunya Alex,"     

"Oh my God! kamu udah seakrab itu dengan Ibunya Alex, bahkan sampai di beri skincare segala?!"     

Dan Larisa mengangguk, "Eh,"     

"Is ok Larisa, kamu sekarang bukan lagi si Culun dan si Aneh, tapi kamu si Cantik yang cerdas dan beruntung, dan aku sangat bangga bisa menjadi teman sekelasmu,"     

"Wah, terima kasih Sandra," ucap Larisa.     

"Yah, sama-sama, santai aja!"     

      

Alex tampak bahagia melihat Larisa yang mulai berbicara dengan teman yang lainnya selain dirinya.     

Bahkan Larisa juga bisa tersenyum lepas bersama teman sekelasnya yang bernama Sandra.     

Setidaknya, Larisa tidak seperti Larisa yang dulu yang benar-benar tertutup.     

Dan sekarang Larisa mulai terbuka dengan yang lainnya, usahanya selama ini tidak sia-sia. Secara perlahan Alex bisa merubah Larisa yang sangat introvert itu menjadi ceria dan mau berbaur dengan yang lainnya.     

      

***     

Sementara itu Anton yang sedang berada di rumahnya dan sedang melakukan rawat jalan, tampak sedang uring-uringan.     

"Sudah, kalian tidak perlu menjagaku, kalian itu tidak berguna!" teriak Anton memaki seluruh perawat yang sengaja di bayar khusus untuk merawatnya.     

Tapi tampaknya Anton tidak suka dengan kehadiran mereka.     

Otaknya sedang runyam sehingga dia  hanya bisa marah-marah saja, dia belum bisa terima jika sekarang dia menjadi tuli dan harus memakai alat bantu dengar kemana pun dia pergi.     

"Tunggu apa lagi! ayo cepat pergi dan jangan memandangku seperti itu!" teriak Anton lagi kepada para perawatnya.     

Akhirnya para perawat itu pergi meninggalkan Anton, karna memang Anton telah mengusirnya.     

Dan tinggallah Anton sendirian yang ada di dalam ruangan itu.     

"Begini jauh lebih baik," kata Anton.     

Lalu dia kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur.     

Dan di dia mulai memejamkan matanya.     

Tiba-tiba dia teringat peristiwa 30 tahun yang lalu.     

Di saat tengah bersama Larasati di kamar hotel, dan setelah sekelebat bayangan Larasati muncul di otaknya, akhirnya dia pun terbangun.     

"Hah!" Anton langsung duduk, "kenapa akhir-akhir ini dia terus membayangiku?" tukas Anton.     

Lalu Anton meneguk segelas air putih dan kembali tidur.     

Kemudian suara tertawaan yang dia dengar tempo hari kini mulai hadir, tapi tertawaan itu tidak terdengar selantang saat di ruang kepala sekolah waktu itu.     

"Hihi hihi hi hihi!"     

"Akh, tertawaan itu!" Anton menutup telinganya, "aku tidak salah dengar, 'kan?" tukasnya.     

Dan di sudut tembok ada Larasati yang tengah menyeringai kepadanya.     

"Hah! ka-kamu!" teriak Anton yang kaget.     

Lalu Larasati kembali menyeringai dengan seram dan di lanjutkan dengan tertawaan yang menyeramkan.     

"Hihi hihi hihi!"     

"Tolong hentikan!" teriak Anton.     

"Hihi hihi hihi! MATI!" teriak Larasati.     

Anton melemparkan sebuah guci kearah Larasati, dan Larasati pun menghilang dari hadapannya.     

"Pergi kau! dan jangan muncul lagi! kita sudah tidak ada urusan!"     

Setelah itu Anton segera keluar kamar dan dia duduk di sofa ruang tamu dengan perasaan kesal bercampur ketakutan.     

Lalu lampu yang ada di atas kepalanya tiba-tiba bergerak-gerak sendiri.     

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.