Bullying And Bloody Letters

Potongan Tubuh Anton



Potongan Tubuh Anton

0"Pergi kau! dan jangan muncul lagi! kita sudah tidak ada urusan!"     
0

Setelah itu Anton segera keluar kamar dan dia duduk di sofa ruang tamu dengan perasaan kesal bercampur ketakutan.     

Lalu lampu yang ada di atas kepalanya tiba-tiba bergerak-gerak sendiri.     

Perlahan lampu ruang tamu yang berukuran sangat besar itu terjatuh dan tepat kearah Anton yang sedang duduk di sofa itu.     

Dan tepat saat itu juga Brian datang dan menolong ayahnya dengan cara menarik paksa.     

"Ayah!" teriak Brian dan Anton pun terjatuh tepat dia atas tubuh Brian.     

"Dasar anak kurang ajar kenapa malah menarikku hingga terjatuh begini?!" bentak Anton yang sama sekali tidak tahu jika di belakangnya sudah ada lampu gantungnya yang berserakan.     

"Ah, sial! aku malah di marahi!" gerutu Anton.     

"Kenapa malah menatapku sambil komat-kamit begitu?!" teriak Anton.     

"Komat-kamit? ah, sial, gangguan di telinga Ayah sudah sangat parah," ucap Brian.     

Lalu dia membetulkan alat bantu telinga ayahnya, tapi Anton malah tidak terima.     

"Mau apa kau memegang benda ini? kau mau meledekku ya?!" bentak Anton yang marah.     

"Ayah, aku ini akan mengecek alat bantu telinga Ayah!" cantas Brian.     

"Apa sih!" Anton menepis tangan Brian     

Lalu Brian menolehkan wajah sang Ayah ke belakang.     

"Lihat itu!" tukas Brian.     

Dan Anton pun langsung tercengang, karna sebelumnya saat dia memasuki ruang tamu keadaan masih sangatlah rapi.     

Tapi setelah dia terjatuh karna di seret oleh Brian, tiba-tiba dia melihat lampunya sudah pecah berhamburan di atas lantai.     

Dan saat itu Anton baru menyadari apa alasan Brian sampai menyeretnya hingga terjatuh.     

"Bagaimana? apa Ayah sudah paham?" tanya Brian.     

Tapi Anton tak menjawabnya, karna dia tak mendengar sama sekali ucapan dari Brian.     

"Aku pikir alat bantu dengarku ini sudah rusak," ujar Anton.     

"Ayah, benar-benar tak mendengar ucapan ku, dan sekarang aku tidak tahu harus bagaimana?" gumam Brian.     

"Brian, tolong antar Ayah ke dokter lagi, Ayah ingin konsultasi!" ucap Anton.     

"Baik, Ayah," jawab Brian.     

Brian pun meraih kunci mobilnya, tapi belum sempat pergi, tiba-tiba Anton berteriak-teriak histeris.     

"Ah, Lara! pergi! pergi jangan ganggu aku!" teriak Anton yang ketakutan.     

"Ayah!" teriak Brian sambil berlari menghampiri Anton  "Ayah, kenapa? memangnya Ayah melihat apa?" tanya Brian.     

"Itu! itu dia muncul lagi!" teriak Anton dengan ketakutan sambil menunjuk-nunjuk kearah Larasati yang ada di hadapannya.     

Tapi Brian sama sekali tidak bisa melihatnya.     

"Mana Ayah! dimana?!" Brian mencari-cari seseorang yang sedang di maksud oleh sang Ayah.     

Tapi tak ada siapa pun di sini kecuali dia dan ayahnya saja.     

"Ayah ini jangan-jangan sudah gila ya!"     

Lalu di bantu para pekerja di rumahnya mereka membawa Anton masuk kedalam mobilnya.     

Setelah Anton duduk di dalam mobil, dia merasa ada yang sedang mencolek-colek badanya dari belakang, dan saat melihatnya sosok itu adalah Larasati yang tengah menatapnya tajam sambil tersenyum kepadanya. Anton begitu ketakutan apalagi, sekujur tubuh Larasati di penuh luka dan darah.     

"Akh! tolong!" teriak Anton sambil membuka pintu mobil dan dia pun keluar dari dalam mobil.     

Seperti orang yang tidak waras Anton berlari menuju jalan raya sekencang-kencangnya.     

Brian dan yang lainnya mengejar Anton dari belakang, sambil berteriak-teriak memanggil Anton agar dia segera kembali.     

Tapi Anton sama sekali tak dengar teriakkan mereka.     

Ketika dia melihat ke belakang, yang ada hanya Larasati yang berpenampilan menyeramkan itu tengah mengejarnya.     

Sehingga dia tidak mau berhenti berlari.     

Hingga tak sadar saking kencangnya berlari dia sampai di sebuah rel kereta.     

"Ayah!" teriak Brian, "mau apa Ayah di situ?!" tanya Brian dari kejauhan.     

Tapi lagi-lagi Anton tak dapat mendengarnya. Yang dia lihat hanya Larasati yang terus mengejarnya di belakang.     

Karna hal itu Anton pun tak berani menengok ke belakang, hingga dia tidak menyadari jika di belakangnya ada sebuah kereta yang sedang melaju kencang ke arahnya.     

Brian dan yang lainnya melihatnya, dan mereka berusaha berlari dan meneriaki Anton  tapi Anton masih saja tak mendengarnya.     

Hingga kereta pun semakin dekat sementara Brian dan para pekerja di rumahnya tidak dapat mengejar Anton lagi, karna  langkah Anton begitu cepat seperti orang yang sedang kesetanan.     

Tapi meski secepat apa pun langkah kakinya, tetap saja dia tidak bisa menandingi kecepatan sebuah kereta yang sudah ada di belakangnya dan sudah siap menabraknya.     

"Woy! minggir! jangan berlari di dalam rel, ayo cepat keluar!" teriak salah seorang warga sekitar yang ada di dekat rel itu.     

"Ayah! awas!" teriak Brian yang sudah pasrah, karna dia sudah tahu tidak bisa menolong sang Ayah lagi.     

Bruak!     

Nging ...!     

"Ayah! hik! Ayah!" teriak Brian sambil menangisi sang Ayah, yang tubuhnya sudah terseret kereta.     

Seketika Anton tewas dengan cara mengenaskan, tubuhnya hancur menjadi beberapa bagian karna terseret roda kereta.     

Dengan tangisan yang penuh penyesalan karna tak dapat menyelamatkan sang Ayah, Brian memandangi kereta yang melaju kencang dan perlahan pergi dari hadapannya.     

Lalu meninggalkan ceceran darah dan potongan tubuh sang Ayah yang ada di sela-sela rel kereta.     

"Ayah! Ayah!" teriak Brian.     

Lalu beberapa pekerjanya membantu memegangi Brian dan menenangkannya.     

Sementara satu orang lagi menelpon polisi dan mobil ambulans.     

"Ayah, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi!" teriak Brian yang masih belum bisa merelakan  kepergian sang Ayah.     

"Sudah, Den Brian, ayo kita pulang biarkan jasad Tuan Anton di urus oleh pihak rumah sakit dan kepolisian!" tukas salah satu pekerjanya yang tengah memeganginya.     

"Tidak! aku tidak mau sendirian begini!" teriak Brian.     

"Sabar, Den Brian, sabar,"     

Lalu mereka pun tidak jadi pulang membawa Brian, karna Brian masih kekeh berada di sekitar rel kereta itu sampai keseluruhan tubuh sang Ayah berhasil di evakuasi.     

Polisi di bantu dengan beberapa anjing pelacak pun terus mencari-cari potongan tubuh Anton yang  terpisah-pisah itu.     

Butuh waktu lama untuk menemukannya, mereka sangatlah kesulitan.     

Apa lagi sebagian tulang dan daging hancur dan menempel di sela-sela rel kereta.     

"Apa kepalanya sudah ketemu?" tanya salah seorang petugas polisi kepada rekanya.     

"Belum tangan kanan dan kepalanya masih belum di temukan," sahut rekanya.     

"Wah, kemana hilangnya?"     

"Entalah, mungkin beberapa Anjing kita akan berhasil menemukannya!" kata petugas itu.     

Dan benar saja tak lama setelah itu muncullah satu ekor anjing pelacak mereka yang keluar dari semak sekitar rel dengan membawa potongan kepala Anton.     

Seketika Brian pun kembali menangis dan berteriak histeris karma melihatnya.     

"TIDAK!" teriak Brian dan akhirnya dia pun pingsan.     

Dan tak berselang lama potongan tangan kanan Anton pun juga berhasil di temukan oleh anjing pelacak mereka lagi.     

Kini jasad Anton sudah lengkap dan siap untuk di bawa pulang.     

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.