Bullying And Bloody Letters

Mantan Istri Wijaya Ternyata?



Mantan Istri Wijaya Ternyata?

0Wijaya sangat menyesal atas perlakukannya kepada istrinya itu.     
0

Dia menyesali atas pernikahannya, harusnya dia tidak mau di jodohkan oleh ayahnya, kalau pada akhirnya dia tahu tidak akan pernah bisa mencintainya istrinya dengan tulus. Dengan begitu dia bisa hidup melajang tanpa harus menyakiti orang. Karna dulu dia pikir dengan perjodohan itu dia bisa melupakan Larasati dan belajar mencintai wanita yang menjadi Istrinya. Tapi ternyata tidak.     

      

"Aku telah membawa orang masuk kedalam penderitaanku." Kata Wijaya.     

"Lalu apa yang Bapak, harapkan sekarang?" tanya Larisa.     

"Aku hanya ingin bertemu dengan wanita yang pernah menjadi istriku itu  dan aku ingin bertemu dengan putri kandangku, yang selama ini tidak pernah ku perhatikan dan ku urus. Sungguh aku ingin bertemu mereka aku ingin meminta maaf hik ...." Kata Winaya sambil menangis.     

Larisa pun mengelus-elus pundak Wijaya,     

"Sabar, Pak. Saya berjanji akan membantu Bapak untuk mencarikanya," ucap Larisa.     

"Benarkah?" tanya Wijaya.     

Dan Larisa mengangguk sambil tersenyum.     

"Apa, Bapak memiliki foto mereka?" tanya Larisa.     

"Iya, iya! ada kok!" jawab Wijaya dengan penuh semangat.     

"Kalau begitu bisa diambilkan?"     

"Iya, tunggu sebentar ya?" tukas Wijaya.     

Lalu Wijaya pun membongkar album foto lamanya. Dan dia menarik beberapa foto bergambar mantan istri dan anaknya yang masih bayi, setelah itu dia memasukkan kedalam sebuah amplop.     

      

Larisa masih duduk dan menunggu Wijaya mempersiapkan fotonya, tapi tiba-tiba ponselnya berbunyi.     

Larisa mendapat kabar jika ayahnya baru saja di larikan ke rumah sakit karna kecelakaan.     

Saat itu Larisa pun langsung panik dan segera berpamitan dengan Wijaya.     

"Larisa ini fotonya," kata Wijaya sambil menyodorkan amplop berisi beberapa lembar foto itu.     

Larisa langsung merihnya dengan cepat, "Baik Pak, saya akan berusaha mencari mereka, tapi sekarang juga saya harus pulang!" tukas Larisa.     

Wijaya pun menjadi kaget, "Loh kok buru-buru sekali?" tanya Wijaya.     

"Iya, Pak. Ayah saya mengalami kecelakaan kerja dan harus di larikan ke rumah sakit!" jelas Larisa tergesa-gesa.     

"Apa?!" Wijaya juga kaget, "yasudah hati-hati, kalau kamu butuh apa-apa telepon saya saja!" tutur Wijaya.     

"Baik, Pak Wijaya! terima kasih!"     

wijaya mengangguk, dan Larisa pun langsung pergi meninggalkan rumah Wijaya bersama  kedua temannya yaitu Audrey dan Alex.     

      

      

Dengan langkah tergesa-gesa mereka bertiga menuju rumah sakit, dan di rumah sakit, ibunya Larisa sudah menangis sesenggukan sambil mengejar brankar rumah sakit yang diatasnya ada suaminya yang berbaring dan sudah di tutup selimut seluruh tubuhnya. Yang artinya ayah Larisa sudah meninggal.     

"Log, itu, Ibu!" teriak Larisa sambil menunjuk sang ibu.     

"Ibu!" teriak Larisa sambil berari.     

Ibunya pun berhenti, dan dia langsung memeluk Larisa.     

"Larisa, Ayah mu, Nak!" ucap sang ibu dengan isak tangis.     

"Iya, Ayah kenapa?"  tanya Larisa.     

"Ayahmu sudah meninggal, Nak!"     

"Apa?!" Larisa pun langsung mengejar brankar yang membawa mayat ayahnya.     

"Ayah! hik ... Ayah!" teriaknya sambil berlari.     

***     

      

Esok hari paginya, para pelayatpun sudah berdatangan ke rumah Larisa.     

Termasuk Wijaya pun juga datang.     

"Larisa, saya turut berduka cita atas meninggalnya, Ayahmu," tutur Wijaya.     

"Iya ... terima kasih karna, Pak Wijaya sudah datang," ucap Larisa sambil mengelap air matanya dengan tisu.     

"Dimana, Ibumu? aku ingin bertemu dengannya" tukas Wijaya.     

"Ibu ada di dalam. Sejak kemarin beliau tidak keluar kamar, sepertinya belum bisa rela melepaskan Ayah," tukas Larisa.     

"Ah, yasudah. Biarkan Ibumu tenang dulu. Dan kamu yang kuat ya," ucap Wijaya.     

Larisa pun mengangguk, Wijaya merasa sangat bersedih melihat Larisa yang menangis dan tampak begitu rapuh karna kehilangan sang ayah.     

Wijaya pun dengan reflect sampai memeluk Larisa. Dan saat dalam pelukan Wijaya, entah mengapa Larisa merasa sangatlah nyaman, dan dalam pelukan itu Larisa menangis sejadi-jadinya untuk meluapkan segala kesedihannya.     

"Tidak apa-apa, menangis saja supaya hati mu bisa lebih tenang," tutur Wijaya.     

Dan tak lama kemudian Alex dan Audrey pun datang.     

"Larisa, kamu yang sabar ya, dan aku turut berduka cita," kata Audrey.     

Larisa mengangguk, "Iya, terima kasih ya, Audrey," kata Larisa, dan Audrey pun memeluk Larisa.     

"Aku tahu sakitnya kehilangan seorang Ayah, karna aku juga baru saja kehilangan Ayahku. Aku harap kamu kuat, kamu bisa, kita pasti bisa," tutur Audrey.     

Alex pun tersenyum di melihat Audrey dan Larisa yang berpelukan, mereka terlihat sangat akrab, padahal dulu mereka saling bermusuhan, terutama Audrey. Audrey dulu sangat membenci Larisa dan selalu ingin menjatuhkan Larisa, namun sekarang Audrey berbalik menjadi baik kepada Larisa, bahkan Audrey juga menguatkan Larisa yang sedang rapuh.     

"Dunia memanglah selalu berputar," ucap Alex.     

Dan Alex pun juga turut memeluk Larisa. Mereka bertiga saling berpelukan.     

      

***     

      

      

Setelah satu minggu berlalu, keadaan hati Larisa dan juga ibunya sudah mulai tenang dan mereka sudah mulai bisa mengikhlaskan kepergian ayah Larisa.     

Lalu saat Larisa tengah asyik di dalam kamar, dia mulia teringat dengan amplop yang berisi foto-foto dari Wijaya.     

Karna sejak hari itu dia belum sempat melihatnya.     

"Astaga, aku sampai lupa kalau aku akan membantu Pak Wijaya mencari anak dan istrinya." Kata Larisa.     

Lalu Larisa pun membuka laci mejanya dan mengambil amplop itu.     

Perlahan Larisa membuka isi dalam amplop itu.     

Dan saat membukanya Larisa pun langsung kaget bukan main.     

Karna foto wanita dalam amplop itu sangat mirip dengan ibnunya.     

"Kenapa sangat mirip dengan Ibu?" tanya Larisa kepada diri sendiri.     

Dan dia pun membuka lembaran foto yang lainnya juga. Dan di lembaran yang lainnya juga dia melihat foto yang sama. Sama-sama mirip dengan wajah ibunya.     

"Yah, tidak salah lagi, ini adalah foto Ibuku!" tukas Larisa dengan yakin.     

"Lalu siapa foto bayi ini?"     

Meski dia yakin jika wanita dalam foto itu adalah ibunya, tapi dia tidak begitu yakin jika bayi dalam foto itu adalah dirinya.     

Karna dalam foto itu adalah bayi yang baru sekitar umur satu atau dua bulan. Sedangkan di rumahnya dia hanya memiliki foto kecilnya yang sudah berusia sekitar 10-12 bulanan.     

Yang wajahnya tentu sudah berbeda jauh dari bayi umur 1 bulanan.     

"Apa ini fotoku?" Larisa menggelengkan kepalanya, "tidak! tidak mungkin kan aku putri dari Pak Wijaya itu,"     

Tapi setelah di pikir-pikir lagi, dia teringat dengan ucapan Wijaya jika kemungkinan putrinya sudah seusianya. Dan hal itu tentu membuat Larisa menjadi bingung.     

Dia masih ragu atas kebenarannya jika dia adalah anak dari Wijaya.     

"Aku harus bertanya kepada, Ibu!" ucapnya dengan tegas.     

Dan Larisa pun segera keluar kamar dan menghampiri sang ibu yang tengah duduk menonton TV di ruang tengah.     

"Ibu," panggil Larisa dengan sopan.     

"Iya, ada apa, Sayang?" tanya ibunya.     

Dan Larisa pun menyodorkan foto-foto itu kepada sang ibu.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.