Bullying And Bloody Letters

Gugatan Cerai



Gugatan Cerai

0"Ini foto apa, Nak?" tanya ibunya Larisa.     
0

Larisa tak menjawabnya dan sang ibu mulai melihat satu persatu foto-foto itu, dan seketika dia kaget.     

"Loh, kamu dapat dari mana foto-foto ini, Nak?" tanya ibunya Larisa.     

"Bu, aku dapat dari Pak Wijaya, dan apa Ibu tidak keberatan untuk menceritakan hubungan ibu dengan beliau, kepadaku?" pinta Larisa.     

Dan ibunya Larisa pun mengangguk.     

      

Meski terasa berat karna harus menggali masa lalunya kembali, tapi wanita paruh bayah yang bernama asli Ratih Ayuni ini harus menceritakannya kepada Larisa.     

      

Awal mula dia bertemu dengan Wijaya adalah karna dia yang ikut dengan sang bibi bekerja di rumah keluarga Wijaya.     

Saat itu Wijaya sedang bersedih karna gagal menikah dengan Seruni. Sebenarnya bukan hanya itu yang membuat Wijaya terlarut dalam kesedihan, tapi karna dia yang juga masih belum bisa melupakan Larasati.     

      

Hari-hari Wijaya hanya di lewati dengan melamun dan terus murung.     

Sepulang dari kantor, dia lanjutkan hanya di rumah saja, dia enggan pergi keluar untuk mencari hiburan.     

Saat itu Ratih yang bekerja di rumahnya mulai memperhatikan Wijaya, dia mengira jika Wijaya murung seperti itu karna saking cintanya dengan Seruni namun malah gagal menikah, sehingga membuat Ratih mulai terketuk hatinya untuk menghibur Wijaya, agar dia bisa melupakan Seruni. Namun seiring berjalannya waktu Ratih mulai mencintai Wijaya.     

Ratih selalu memberi perhatian lebih kepada Wijaya, Wijaya yang awalnya murung mulai sedikit terbuka karna kehadiran Ratih.     

Karna Ratih sangat baik dan selalu perhatian kepadanya, membuat Wijaya merasa nyaman, dan sedikit-sedikit mulai   tersenyum.     

Melihat hal itu almarhum ayahnya mulai merencanakan untuk menjodohkan Ratih dan Wijaya. Karna dia pikir Ratih adalah gadis yang baik-baik dan tidak neko-neko, dan dengan begitu mungkin Wijaya akan mulai teralihkan dari masa lalunya dengan keluarga barunya, sehingga Wijaya akan kembali ceria lagi.     

Mendengar hal itu Ratih sangat bahagia, bukan karna harta, tapi karna dia memang sangat mencintai Wijaya.     

Ratih sendiri tahu jika sebenarnya Wijaya tidak mencintainya, dan selama ini kedekatannya hanya dianggap sebagai teman saja.     

Tapi meski begitu Ratih yakin bahwa dia akan membuat Wijaya menjadi jatuh cinta kepadanya dan keluarga kecil mereka akan hidup bahagia.     

Dan Wijaya pun juga mau menuruti keinginan ayahnya, karna dia juga berpikir dia akan belajar mencintai Ratih dan bisa melupakan Larasati.     

Tapi seiring berjalannya waktu bukannya tumbuh benih-benih cinta kepada Ratih, tapi perasaan bersalah dan rasa cintanya kepada Larasati malah semakin dalam.     

Sehingga membuat Wijaya kembali sering melamun, dingin dan tak ada rasa peduli.     

Awalnya Ratih bisa mengerti akan hal itu, tapi semakin lama, Ratih semakin tidak kuat dengan sikap Wijaya itu, bahkan saat dia melahirkan putri pertamanya, Wijaya tidak ada. Wijaya malah asyik dengan pekerjaannya.     

Saat Wijaya pulang ke rumah dia mendapati sang istri sudah menggendong bayi.     

"Ratih, kamu sudah melahirkan?" tanya Wijaya.     

"Iya, Mas. Ini anak kita, dan Mas kenapa tidak mau angkat telepon, padahal saya sedang mau melahirkan?" tanya Ratih dengan mata berkaca.     

"Maaf, Ratih. Aku kemarin sangat sibuk," kata Wijaya.     

"Tapi, aku mau melahirkan anak kita, dan Mas, sama sekali tidak peduli!"     

"Maaf, Ratih aku benar-benar minta maaf," tukas Wijaya.     

"Baik aku akan memaafkan mu, Mas. Tapi apa kamu tidak ingin memberi nama untuk anak kita ini?" tanya Ratih.     

"Aku, bingung untuk memberi nama siapa? sebaiknya kamu saja yang memberi nama," ucap Wijaya.     

Setelah itu Wijaya masuk kedalam kamar  tanpa menggendong putri kecilnya walaupun hanya sebentar.     

Saat itu hati Ratih begitu sakit, dia merasa tidak berharga di mata Wijaya. Memang Wijaya tidak pernah berbicara atau berbuat kasar kepadanya, tapi  Wijaya sangatlah diam dan tak peduli.     

Dan dia memberi nama anaknya sendiri dengan Larisa Oktaviani.     

Dia sangat menyayangi anaknya, dia berharap suatu hari nanti Wijaya juga akan menyayangi Larisa sepenuh hati sepertinya.     

Tapi sampai satu minggu berlalu, Wijaya tidak juga mau menggendong putrinya. Ratih merasa sangat bersedih tapi dia berusaha menahannya.     

Ratih terus menahan perasaannya yang begitu sakit, karna dia masih memegang  teguh ucapannya, bahwa dia pasti bisa membuat Wijaya jatuh cinta.     

      

Tapi satu bulan berlalu Wijaya tetap tidak peduli, bahkan saat Larisa sedang sakit, Wijaya juga masih terap sibuk bekerja dan tidak mau pulang ke rumah.     

Dia pulang ketika Larisa sudah sembuh dari sakit, dan dia juga masih saja tidak mau menggendong Larisa.     

Lalu secara tidak sengaja saat Ratih sedang mencuci pakaian Dia menemukan dompet yang tak sengaja terbawa pakaian kotor.     

"Ini dompet, Mas Wijaya," ucapnya, lalu Ratih yang penasaran pun membuka isinya. Dan dia sangat kaget saat melihat ada foto wanita lain di dompet suaminya.     

Tapi foto dalam dompet itu bukanlah foto Seruni, melainkan foto Larasati.     

Saat itu dia yang belum mengenal Larasati, dia mengira jika suaminya sedang berselingkuh dengan wanita lain.     

Ratih pun langsung marah besar dan menghampiri suaminya sambil melempar dompet itu tepat kearah wajah suaminya.     

"Kamu jahat, Mas!" teriak Ratih.     

"Loh, ada apa ini?!" tanya Wijaya yang kaget.     

"Siapa wanita dalam foto itu, Mas? siapa? wanita simpananmu ya?!" tanya Ratih yang kalut.     

Wijaya terdiam sesaat lalu dia pun akhirnya menceritakan semuanya. Bahwa wanita dalam foto itu adalah Larasati, wanita yang sudah meninggal, dan yang selama ini membuatnya menjadi pria yang dingin dan tidak punya rasa peduli seperti ini.     

      

Lalu Ratih pun bertanya kepada Wijaya, "Lalu mau sampai kapan kamu akan seperti ini, Mas?" tanya Ratih.     

"Aku tidak tahu, Ratih. Mungkin bisa selamanya." Jawab Wijaya.     

"Tapi dia sudah mati, Mas. Apa yang kamu harapkan dari orang yang sudah mati?!"     

"Aku tidak tahu, Ratih! sebesar apa pun aku berusaha, aku tetap tidak bisa melupakannya!"     

"Berusaha, Mas!"     

"Aku sudah berusaha, Ratih. Tapi tidak bisa, mungkin selamanya aku akan tetap mengharapnya, sampai aku mati!" jelas Wijaya.     

"Jadi begitu ya, Mas?!" Ratih langsung mengemas barang-barangnya.     

"Ratih, kamu mau apa?" tanya Wijaya, "kenapa kamu memasukkan barang-barangmu ke dalam koper?"     

      

Dengan ketus Ratih menjawab, "Aku ingin pergi, Mas!"     

"Tapi—"     

"Tapi apa?! kamu ingin menyiksa aku dan anakmu di sini! menunggu orang yang jelas-jalas tak pernah menganggap kami penting?!"     

"Ratih,"     

"Cukup, Mas! aku sudah lelah dan aku ingin menyerah saat ini juga!"     

"Ratih, maafkan aku,"     

"Maafmu sudah tidak berguna, karna sudah tidak bisa merubah segalanya, hatimu sudah terkunci, dan hatiku sudah lelah!"     

"Ratih, aku tahu aku salah. Dan beri waktu aku untuk berubah!" pinta Wijaya.     

"Maaf, waktumu sudah habis, Mas! Aku sudah banyak memberimu waktu tapi kamu sia-siakan. Aku harap setelah ini kamu jangan menikahi wanita lagi, jika pada akhirnya hanya akan kau sia-siakan!" tegas Ratih.     

      

Ratih menyeret kopernya sambil menggendong Larisa.     

"Ratih, tunggu!" Wijaya menggenggam tangannya.     

"Biarkan kami pergi, dan aku akan mengajukan surat gugatannya," kata Ratih.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.