Bullying And Bloody Letters

Hubungan Sepesial



Hubungan Sepesial

0Tok tok tok!     
0

Terdengar suara ketukan pintu dari luar, Ratih pun segera bangun dari atas kasurnya.     

"Iya sebentar!" teriak Ratih sambil menghapus air matanya.     

Ceklek!     

"Larisa, kamu sudah pulang?" tanya Ratih.     

"Iya, Bu. Ibu baik-baik saja, 'kan selama aku pergi?" tanya Larisa.     

"Iya, Ibu baik-baik saja," sahut Ratih.     

Lalu Larisa pun duduk di atas kursi yang terbuat dari kayu.     

"Kamu mau makan apa? biar Ibu siapkan?" tanya Ratih.     

"Ah, tidak usah Bu, aku sudah makan di rumah Ayah," jawab Larisa dengan santai.     

Dan mendengar Larisa memanggil Wijaya dengan sebutan Ayah, membuat Ratih menjadi sedikit kesal. Ratih menatap Larisa sesaat dengan wajah yang mengisyaratkan ketidak sukaannya itu.     

Larisa melihat ekspresi wajah ibunya yang tampak kecewa, Dan seketika dia langsung menunduk sambil berkata, "Maaf, Bu." Ucap Larisa.     

Dan Ratih pun menarik nafasnya dengan pelan dan panjang.     

Dia berpikir jika ketidak sukaannya itu sangatlah wajar tapi tidak harus dia ungkapkan.     

Karna Larisa adalah anak kandung Wijaya, bagaimana pun juga ada darah Wijaya yang mengalir di dalam tubuh Larisa. Dan karna hal itu, harusnya dia tidak perlu melarang atau membenci kedekatan Wijaya dan Larisa.     

Karna Larisa juga sudah semestinya dekat dan mendapat kasih sayang dari ayah kandungnya. Meski sejujurnya Ratih masih sangat membenci Wijaya.     

      

"Maafkan aku, Ibu. Harusnya aku tidak memanggilnya Ayah di depan, Ibu." Kata Larisa.     

"Tidak apa-apa kok, Ibu tidak marah. Lagi pula dia memang Ayahmu," kata Ratih.     

Dan Larisa pun tersenyum lega, karna dia pikir ibunya akan memarahinya setelah ini, tapi ternyata tidak.     

      

"Bagaimana pertemuanmu dengan Ayahmu?" tanya Ratih, "apa dia masih sangat dingin dan kaku?"     

      

"Tidak, Bu. Ayah sangat ramah. Bahkan sebelum beliau mengetahui jika aku adalah anaknya, dia sudah baik kepadaku," kata Larisa.     

Ratih menunduk dengan ekspresi kakunya, "Baguslah kalau begitu," ucap Ratih sambil memalingkan wajahnya dari tatapan Larisa.     

      

"Ibu, pasti masih sangat sakit hati kepadanya ya?" tanya Larisa.     

"Iya, sangat sakit. Bahkan saat Ibu mengingatnya, rasanya Ibu sangat marah. Kalau seandainya saja Ibu bisa memutar waktu, Ibu tidak ingin bertemu dengannya," tutur Ratih.     

Dan Larisa pun menunduk, dia memeluk ibunya.     

"Bu, Larisa sangat sayang kepada Ibu dan juga Ayah. Tapi Larisa juga tidak mau melihat Pak Wijaya yang terus-terusan hidup dalam penyesalan. Apa gak sebaiknya  kalian berdamai saja," mohon Larisa.     

      

"Maaf, Larisa." Kata Ratih sambil berlalu meninggalkan Larisa.     

Larisa pun juga terdiam dan tidak bisa memaksa sang ibu terlalu jauh. Karna dia juga memahami bagaimana perasaan ibunya saat ini.     

      

***     

Esok harinya.     

Larisa sudah berada di depan cermin dengan seragam sekolah yang susah rapi.     

Sambil bercermin dia memoles wajahnya dengan berbagai alat rias.     

      

Lalu ponselnya pun berbunyi, dan Larisa segera mengangkatnya.     

"Iya, ada apa, Alex?" tanya Larisa.     

"Aku sudah di depan rumah nih," kata Alex.     

"Ah, iya tunggu sebentar!" ucap Larisa.     

Dan Larisa segera merapikan seluruh buku dan mencangklong tas gendongnya. Lalu dia berlari menghampiri Alex.     

"Alex, sudah lama ya?" tanya Larisa.     

"Ah, baru satu menit kok," jawab Alex dengan santai.     

"Huh! kirain sudah lama, pakek telepon segala!" keluh Larisa.     

Dan Alex pun malah tertawa, "Haha, lagian belum selesai bicara malah sudah nyelonong duluan."     

"Ya, habisnya kamu telepon aku, jadi aku pikir kamu sudah menunggu dari tadi," tutur Larisa dengan wajah cemberut.     

"Haha, enggak dong!"     

"Terus ngapain kamu pakai telepon segala?"     

"Ya, karna aku kangen saja sama kamu, " tukas Alex sambil tersenyum.     

Larisa langsung mencubit perut Alex sekencang-kencangnya.     

"Awh! sakit, Larisa!" teriak Alex.     

"Bodo habisnya udah negerjain aku!" cantas Larisa.     

"Oh, sekarang sudah berani main  kasar ya?" tukas Alex dengan mata melotot.     

"Eh, enggak kok, Alex. Aku tadi cuman reflect," jelas Larisa yang agak takut.     

Lalu seketika Alex merubah ekspresinya. Dan dia langsung tersenyum kepada Larisa.     

"Iya, tidak apa-apa kok, lagian aku malah suka kamu, jadi galak begitu. Itu artinya kamu sudah selangkah maju dari kamu yang penakut dulu," tutur Alex.     

"Ah, sungguh?!" tanya Larisa yang antusias.     

"Iya, tapi ...."     

"Tapi apa?" tanya Larisa.     

"Tapi galaknya jangan sama aku saja dong," ujar Alex dengan nada bercanda, dan Larisa pun tersipu malu.     

      

Lalu mereka pun berangkat dengan berboncengan motor Alex.     

"Kamu kemarin kemana saja?" tanya Alex sambil menyetir motor.     

"Ah, aku ke rumah, Pak Wijaya," jawab Larisa.     

"Hah?! sendirian?!" tanya Alex yang kaget.     

"Iya," jawab Larisa.     

Sejujurnya Alex mulai merasa aneh dengan Wijaya, karna sejak awal bertemu dengan Larisa, dia seolah tertarik dengan Larisa.     

Apa lagi saat Wijaya mengajak bicara berdua saja dengan Larisa, saat itu dia merasa sangat aneh. Dan dia curiga jika Wijaya menyuakai Larisa.     

Kecurigaan Alex ini bukan tanpa alasan, tapi karna dia berpikir jika wajah Larisa yang hampir mirip dengan  Larasati ini membuat Wijaya juga menyukai Larisa.     

Hal itu sangat mengusik pikiran Alex sejak saat itu, di tambah lagi, Larisa malah mendatangi rumah Wijaya sendirian.     

      

"Larisa," tanya Alex     

"Iya," jawab Larisa.     

"Sebenarnya aku kurang suka melihatmu dekat dengan Wijaya," ucap Alex.     

"Loh, memangnya kenapa, Lex?" tanya Larisa.     

"Ya aku merasa aneh saja dengan orang itu, aku takut dia punya niat buruk kepadamu,"     

"Maksud kamu, Lex?"     

"Ya, sepertinya dia menyukaimu, buktinya waktu itu saja dia ingin berbicara berdua saja denganmu, padahal bukanya lebih baik jika di bicarakan kita berempat, yaitu aku, Audrey, kamu dan Pak Wijaya?"     

"Oh, soal itu ya, sebenarnya itu karna ...."     

"Karna apa?" tanya Alex.     

"Ya karna aku dan Pak Wijaya itu punya ikatan sepesial," jelas Larisa yang sengaja membuat Alex menjadi penasaran.     

"Apa?!"     

      

Ckit!     

Alex langsung menghentikan laju motornya.     

"Maksud kamu apa? dan ikatan sepesial yang seperti apa? " tanya Alex yang mulai panas.     

Larisa pun menutup mulutnya sendiri karna menahan tawa.     

"Hey, Larisa! ayo bicara jangan membuatku menjadi bingung begini?" tanya Alex.     

"Alex, ayo lanjutkan perjalanannya, nanti kita kesiangan loh.'     

"Gak, bisa dong, Larisa! karna aku mau dengar penjelasanmu dulu!" kata Alex.     

"Nanti aku jelaskan di sekolah saja ya, biar gampang," kata Larisa dengan nada meledek.     

"Apa?!" Alex pun menolaknya, "enggak bisa! pokoknya kamu harus bicara sekarang!" paksa Alex.     

"Nanti saja, Alex!" kata Larisa.     

"Sekarang!" bentak Alex.     

Dan mendengar Alex yang membentaknya karna merasa kesal, Larisa pun seketika ketakutan dan dia menunduk sambil menangis.     

"Maaf, Alex. Sebenarnya aku dan Pak Wijaya itu keluarga. Tolong jangan cemburu dan jangan membentakku begitu ya," ucap Larisa dengan nada memelas.     

"Keluarga? maksud kamu keluarga yang bagaimana?" tanya Alex.     

Larisa menunduk sambil menangis, "Hik, sebenarnya Pak Wijaya itu adalah Ayah kandungku," jelas Larisa.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.