Bullying And Bloody Letters

Belajar Mandiri



Belajar Mandiri

0Brian masih saja mengira bahwa Tyas adalah penyebab dari kematian sang ayah.     
0

Sementara Audrey sedang berusaha untuk meyakinkan Brian bahwa tuduhan yang dilayangkannya itu adalah salah?     

      

"Brian, kamu itu benar-benar salah paham," ucap Audrey.     

"Salah paham? salah paham bagaimana? jelas-jelas semua itu adalah ulah dari wanita itu. Ayahku jadi meninggal karna pengaruh ilmu sesatnya!" tegas Brian.     

"Brian! kamu tahu tidak apa alasanku pindah dari sekolah itu?!" ucap Audrey menyela pembicaraan Audrey. Dan sejenak Brian pun terdiam.     

"Memang apa alasanmu? bukankah karna kecelakaan di kantin waktu itu?" tanya balik Brian.     

Dan Audrey mengangguk, "Yah, itu salah satunya. Tapi alasan terbesarku adalah karna adanya arwah siswi yang terus menggangguku," jelas Audrey.     

"Arwah siswi yang mengganggumu? maksudnya?"     

"Kamu tahu tidak, bahwa hantu itu terus meneror orang yang hobi menindas. Dan kamu juga tahu, 'kan kalau aku adalah penindas sejati dalam sekolah itu, tak ada satu pun siswi lain yang berani kepadaku,"     

"Tapi, apa hubungannya dengan Tyas? aku kan sedang membicarakan Tyas dan kematian Ayahku, bukan tentang hantu wanita itu,"     

"Iya, aku tahu. Tapi perlu kamu ketahui jika kematian Ayahmu bukan salah Bu Tyas, tapi bisa jadi karna ulah hantu perempuan itu." Tutur Audrey.     

"Hah! kenapa begitu, memangnya apa salah Ayah ku?!"     

"Brian! Ayahmu itu alumni Superior High School, jadi bisa saja dia memiliki masalah dengan hantu wanita itu. Karna dia memang meneror semua orang-orang yang sudah menyakitinya dulu dan orang-orang yang suka melakukan bullying. Termasuk Mamiku!" tegas Audrey.     

"Hah! Mami kamu?!"     

"Iya,"     

"Tapi bagaimana bisa?"     

"Iya, karna Mamiku, adalah yang membunuh perempuan yang sekarang menjadi hantu itu,"     

"Tapi aku tidak bisa percaya begitu saja! karna ini terlalu tidak masuk akal!" sangkal Brian.     

"Baik kalau kamu ingin tahu banyak tentang, Ayah mu, kamu bisa bertanya dengan Mamiku, karna aku dengar mereka satu angkatan, atau bila perlu kamu bertanya saja kepada, Bu Tyas"     

      

'Waktu itu Bu Tyas, memang sempat mengatakan kepada ku, jika Ayahku pernah memperkosa seorang wanita bernama Larasati dan yang sekarang menjadi hantu itu. Tapi aku merasa sangatlah tidak percaya,  bahkan sampai detik ini aku masih tak percaya akan hal itu. Tapi ... apakah itu memang benar?' batin Brian.     

      

Cerita Audrey pun masih berlanjut, karna sudah terlanjur menceritakan sebagian kisah kelam dalam sekolah itu. Termasuk saat Larasati menusuk bola matanya dengan sebuah garpu.     

Dan hal itu membuat Brian berpikir, tentang seorang arwah yang beberapa kali merasuk dalam tubuh Larisa. Terutama saat dia hendak memperkosa Larisa.     

Tentu hal itu menambah sedikit keyakinan di hatinya, bahwa apa yang di ucapkan oleh Audrey itu ada benarnya.     

      

"Brian, apa kau juga mengenal seorang gadis bule bernama Holly?" tanya Audrey.     

"Iya, aku mengenalnya. Bahkan aku pernah berkencan dengannya," jawab Berian.     

"Berkencan?"     

"Iya, dia sempat menjadi mainanku, dia adalah perempuan agresif yang dengan mudah mau aku tiduri," Brian pun tertawa selengean saat menceritakan tentang Holly.     

"Aih, dasar Playboy! aku baru ingat kalau kamu itu cowok brengsek dan bejat!" ketus Audrey.     

Dan Brian pun kembali tertawa selengean menanggapinya.     

"Baik, kamu boleh menghinamu sesukamu, tapi aku mau dengar ceritamu yang selanjutnya," ucap Brian, dan Audrey melanjutkan ceritanya.     

"Dia sekarang berada di rumah sakit jiwa!" tegas Audrey.     

"Hah?! Rumah Sakit Jiwa?!" Dan kali ini Brian pun menjadi sangatlah syok.     

Lalu Audrey menceritakan segala kejadian yang menimpa Holly, di mulai saat tubuhnya terbakar di depan warung sate milik Larisa. Hingga dugaan bahwa pelakunya adalah Larasati, dan itu di sebabkan karna Holly yang berniat akan membakar warung itu.     

Dan saat mendengar hal itu Brian kembali teringat lagi, bahwa Holly memanglah sangat membenci Larisa, dan hal itu di sebabkan karna Holly yang cemburu kepada Larisa, akibatnya Brian lebih menyukai Larisa di banding dirinya.     

Jika niat Holly membakar tempat usaha Larisa itu, dan sekarang tubuhnya cacat dan harus berada di RSJ karna gangguan mental, bisa saja itu juga karna salahnya.     

Sejenak Brian merasa sangatlah bersalah. Dia terdiam mematung penuh sesal dan ketakutan.     

      

"Lalu apa lagi yang kamu tahu tentang, Holly?" tanya Brian.     

"Untuk sementara ini hanya itu yang ku tahu, tapi aku lihat dia sangatlah menderita," ucap Audrey.     

"Lalu apa yang kau lakukan di rumah sakit itu?"     

"Aku, sedang menjenguk kedua temanku, mereka adalah anak Superior High School juga."     

"Lalu mengapa mereka berdua ada di sana? apa mereka juga gila?"     

"Iya, Brian. Mereka juga gila seperti Holly, dan itu di sebabkan oleh hantu perempuan itu. Tapi syukurlah sekarang keadaan mereka sudah membaik,"     

      

Brian pun semakin ketakutan mendengar cerita Audrey itu. Memang terasa mustahil, tapi apa yang susah dia alami dan juga apa yang terjadi kepada sang ayah, menjadi bukti, bahwa semua ini bukanlah main-main lagi.     

      

"Kenapa kamu diam?" tanya Audrey kepada Brian.     

"Ah, tidak. Aku hanya merasa kaget dengan semua ucapanmu. Jadi ini alasanmu pindah dari sekolah itu," tutur Brian.     

"Iya, dan aku harap kamu tidak salah paham lagi dengan Bu Tyas, karna beliau mamang tidak bersalah." Ucap Audrey yang mencoba menasehati Brian.     

Tapi Brian masih diam saja tak menjawabnya.     

      

"Brian," panggil Audrey.     

Tapi tetap diam saja, lalu Audrey memanggilnya lagi, "Brian!" kali ini dengan nada sedikit kencang, Brian pun sampai kaget.     

"Eh iya, Audrey! ada apa?" tanya Brian.     

"Sudah malam, bisa kita pulang sekarang?" ucap Audrey.     

"Oh, iya-iya! ayo kita pulang!"     

      

Lalu Brian dan Audrey pun pulang, "Audrey, rumah mu masih jauh ya?" tanya Brian.     

"Sebentar lagi kok," ucap Audrey.     

Setelah 3 menit berlalu, mereka sampai tepat di depan rumah Audrey.     

"Terima kasih ya, Brian. Sudah mengantarkanku pulang.     

"Iya, sama-sama," jawab Brian.     

      

Sepanjang perjalanan pulang, Brian terus memikirkan apa yang sudah di cerita oleh Audrey tadi.     

"Apa benar, Ayahku sudah meniduri hantu wanita itu?"  ucap Brian yang terus bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.     

      

***     

      

Esok harinya.     

Larisa dan Alex sedang berangkat ke sekolah dengan berboncengan motor.     

Dan tepat saat itu juga, Radit melihat kebersamaan mereka berdua.     

Dia terus memandangi Larisa yang tengah di bonceng oleh Alex itu dengan tatapan yang penuh dendam.     

Dia masih tak terima dengan kejadian kemarin.     

Sambil memandang dari balik kaca mobilnya.     

Radit tampak mengepal-ngepalkan tangannya, sambil giginya gemertak karna merasa geram.     

Tak sabar rasanya dia akan membalas perlakuan Larisa kemarin.     

"Aku tidak akan tinggal diam! lihat saja! kamu pikir kamu itu siapa?!" ucapnya dengan suara berat tertahan.     

Dan tampak sang sopir yang melihat aneh tingkah Radit     

"Maaf, ada apa, Den Radit?" tanya sopirnya.     

"Ah, gak ada apa-apa kok, Pak." Sahut Radit.     

      

      

Dan setelah sampai di sekolah, Larisa mulai turun dari motor Alex.     

Dengan suara mesin motor yang masih hidup, Alex membantu Larisa membukakan helmnya.     

"Terima kasih," ucap Larisa.     

"Sama-sama, Tuan Putri," jawab Alex.     

      

      

"Owh, jadi mereka itu pacaran ya?"  tukas Radit dengan wajah yang sinis.     

Dan dia mulai mengikuti langkah Alex dan Larisa menuju kelas.     

      

"Pantas dia menolakku, ternyata dia pacar dari atlet basket itu," ucap Radit lagi, "tapi lihat saja, aku akan membuatnya tidak bisa merasa bangga, dan tertawa seperti ini lagi,"     

Tatapan mengancam Radit kembali mengarah kepada Larisa.     

      

"Alex nanti ada katihan lagi enggak?" tanya Larisa.     

"Ada, karna 2 hari lagi  tim kami akan tanding, jadi kami akan berlatih dengan giat hari-hari ini," ucap Alex.     

"Berarti aku nanti pulang sendiri lagi dong?" tanya Larisa.     

"Iya, kalau tidak aku minta izin mengantarkanmu dulu ya," ucap Alex.     

"Ah, tidak usah! aku pulang sendiri tidak apa-apa kok, serius," kata Larisa.     

"Tapi aku khawatir Larisa,"     

"Tenang saja,  Alex. Nanti aku akan menghampiri Audrey." Ucap Larisa.     

"Ya, tetap saja aku akan khawatir. Karna kamu jalan ke sananya sendirian."     

"Tidak apa-apa, Alex. Waktu itu aku baik-baik saja, 'kan?"     

"Huh, tetap saja,"     

Lalu Larisa pun menggenggam tangan Alex.     

"Aku tidak apa-apa, Alex. Aku kan harus belajar berani, lagian kamu sendiri, 'kan yang mau aku belajar mandiri," tukas Larisa dengan pelan.     

"Baiklah, kalau begitu. Tapi kamu hari-hati ya,"     

"Iya, Alex."     

      

      

***     

Sepulangnya dari sekolah, Larisa pun berjalan kaki, menuju sekolahan Audrey. Karan kebetulan letaknya tidaklah terlalu jauh, sehingga tidak butuh waktu lama untuk sampai ke sekolah itu.     

      

Dan tepat saat itu juga, Radit mulai mengikuti Larisa di belakannya.     

Radit juga hanya berjalan kaki saja.     

      

Dengan cara mengendap-ngendap Radi mengikuti langkah Larisa.     

Dan tepat saat itu juga, Larisa mulai merasa todak enak dan curiga jika ada yang sedang mengikutinya.     

Larisa menengok ke belakang, dan menyadari Larisa yang mulai curiga, Radit langsung bersembunyi.     

Larisa pun menghentikan langkahnya.     

Dia menengok-nengok tapi dia tidak melihat siapa pun.     

"Ah, apa perasaanku saja ya?" ucap Larisa.     

Dia kembali melangkah lagi, tapi setelah melangkah lagi, Radit kembali muncul, dan Larisa mendengar sebuah  langkah kaki.     

Dan tepat saat itu juga Larisa langsung menengok ke arahnya. Radit pun langsung ketahuan.     

      

Dengan langkah ragu-ragu Larisa memberanikan diri untuk menghampiri Radit.     

      

"Ka-kamu mau apa?!" bentak Larisa dengan wajah menunduk.     

Dan Radit pun tersenyum selengean.     

"Mau apa lagi? ya aku akan membuat perhitungan kepadamu lah!" ucap Radit.     

      

Dek.     

Jantung Larisa langsung berdegub kencang. Rasa takutnya kembali meningkat.     

'Aduh, bagaimana kalau dia akan melukaiku?' batin Larisa.     

"Kenapa kamu diam saja!?" teriak Radit.     

      

Dan Larisa segera mengambil ancang-ancang untuk berlari.     

"Woy! jangan lari woy!" teriak Radit.     

Sementara Larisa terus berlari sekencang-kencangnya.     

Larisa malah masuk kedalam sebuah gang sempit dan Radit masih tetap mengejarnya.     

"Kali ini kamu tidak akan bisa lepas lagi, Cewek Jalang!" teriak Radit sambil berlari.     

      

"Aduh kenapa aku malah memilih gang sempit yang sepi begini sih!" gumam Larisa.     

Lalu langkah Larisa pun terhenti saat di depannya ternyata adalah sebuah jalan buntu.     

"Hah! bagaimana ini?!" ucap Larisa yang khawatir.     

"Wah, mau Lari kemana kamu, Cewek Jalang!" Radit pun mulai berjalan mendekat ke arah Larisa.     

"Jangan mendekat! ayo cepat pergi!" teriak Larisa.     

"Wah, kamu takut ya?"     

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.