Bullying And Bloody Letters

Menyesal



Menyesal

0"Nenek, aku tidak mau makan masakan Nenek, aku sudah pesan makanan dari luar, dan sebentar lagi pesanannya bakalan sampai!" ketus Sandra.     
0

      

"Tapi kenapa?" sang nenek pun tampak heran, "kenapa kamu tidak mau makan bersama, Nenek?" tanya sang Nenek lagi.     

      

"Ya karna, Sandra benci sama Nenek!"     

      

"Benci?" Neneknya tampak kaget, "salah Nenek apa?"     

      

"Salah Nenek, karna sudah membela Mentari!" cantas Sandra.     

      

 Tentu saja perkataan Sandra itu benar-benar menyakiti hati sang nenek, lagi-lagi dia harus menahan rasa sakit karna ucapan cucunya sendiri.     

"Sandra, kenapa kamu benci karna hal itu? Memangnya Nenek salah ya kalau mengingatkan cucunya?"     

"Sangat salah, Nek! Salah banget!"     

"Tapi, Nenek hanya mengingatkanmu, Nak, tapi kenapa kamu sampai membenci Nenek hanya karna hal itu,"     

"Tentu saja wajar! Jika akan membenci sifat Nenek itu, Nenek tahu kan aku sedang terpuruk, dan sejak dulu aku sangat membenci gadis pincang itu, tapi kenapa Nenek masih saja membelanya! Aku benci, Nek!"     

Sang nenek pun berjalan mendekati ke arah Sandra.     

"Sandra," Neneknya memegang pundak Sandra.     

"Nenek minta maaf jika menurut, Sandra, Nenek bersalah, sekarang ayo kita makan bersama ya?" bujuk sang nenek.     

"Tidak!" tegas Sandra.     

"Kenapa?" tanya sang nenek dengan lembut.     

"Nenek, sudah tuli ya?!" bentak Sandra.     

"Ya ampun ...." Neneknya Sandra pun sampai mengelus dadanya lagi.     

Kata-kata Sandra benar-benar kasar dan sangat menyakitkan.     

"Kami itu kasat banget, Sandra,"     

"Makanya, Nenek jangan membuatku kesal dong, kalau tidak ingin mendengar ocehanku yang sangat kasar ini?!" bentak   Sandra lagi.     

"Tapi, Sandra, Nenek sudah—"     

Drrt....     

"Ah, kurirnya sudah sampai minggir aku ambil makananku dulu!" cantas Sandra.     

Lalu Sandara pun langsung keluar, meninggalkan sang nenek yang wajahnya sangat tampak bersedih dan kecewa itu.     

      

Beberapa saat kemudian Sandra pun sudah kembali dengan membawa makanan pesanannya di tangan.     

"Awas, Nek, aku mau lewat!" sergah Sandra.     

Si nenek pun minggir, dengan mata terus mengedarkan pandangannya kearah makanan yang di bawa oleh Sandra.     

Dan Sandra yang mengetahuinya pun merasa sangat risi.     

"Nenek, ngapain lihat aku sampai segitu nya?" tanya Sandra. "Nenek mau?!" tanya Sandra  dengan kasar.     

Lalu si nenek pun menggelengkan kepalanya.     

"Terus kenapa, Nenek, lihat aku sampai segitu nya?" tanya Sandra dengan wajah sinisnya.     

"Sandra,"     

"Iya, ada apa?"     

"Apa kamu benar-benar tidak mau makan satu meja dengan Nenek?" tanya sang nenek.     

"Tidak!" ketus Sandra.     

"Tapi—"     

"Tapi apa?! Nenek sudah masak cape-cape?" cantas Sandra kepada sang nenek. Lalu dia kembali melirik ke arah neneknya.     

"Siapa suruh!" cantas Sandra lagi. Dan Sandra pun berlalu pergi.     

"Sandra!" panggil sang nenek lagi.     

Sandra pun menoleh kearahnya.     

"Ada apa lagi sih, Nek?"     

"Ayo makan di meja makan bersama Nenek, kamu boleh memakan, makanan itu, dan tidak memakan masakan Nenek, asalkan kita bisa makan bersama dalam satu meja, Nenek sudah bahagia," tutur sang nenek.     

"Enggak ... mau!" jawab Sandra.     

      

Sandra pun kembali melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya dengan kasar, lalu menguncinya rapat-rapat.     

      

Jediar!     

      

Si nenek pun sampai tersentak kaget karna mendengar Sandra yang membanting pintunya.     

Entah bagaimana dia bisa meluluhkan hati Sandra, cucu satu-satunya yang menjadi kebanggaannya.     

Neneknya Sandra pun hanya bisa terus bersabar menghadapi Sandra.     

Dan yakin jika Sandra begini karna dia sedang stres menghadapi keluarganya saja.     

      

***     

      

Esok harinya, Mentari, Alvin dan juga Laras berangkat sekolah seperti biasa.     

Mereka pun berjalan menuju kantin.     

"Kamu mau pesan apa?" tanya Laras kepada Mentari.     

"Ah, apa ya, samain aja deh sama kamu, selera kita kan sama," jawab Mentari.     

"Ok, berarti Bakso ya?"     

"Iya,"     

"Terus kamu mau pesan apa, Vin?" tanya Laras.     

"Aku bakso juga deh," jawab Alvin.     

"Ok, aku hampiri si ibu kantin dulu ya, buat pesan makanan," ujar Laras.     

"Eh, iya, deh," jawab Mentari.     

      

Lalu tinggallah, Alvin bersama Mentari.     

Entah mengapa tiba-tiba suasana menjadi hening.     

"Keadaan Om Dimas bagaimana?" tanya Alvin yang mencoba memecah keheningan mereka berdua. Padahal suasana kantin lumayan ramai, tapi entah mengapa diantara Mentari dan juga Alvin menjadi sangat hening. Benar-benar tak seperti biasanya.     

"Emm, ya sudah mendingan sih, kata Om Dimas juga sudah tidak pusing lagi," jawab Mentari.     

"Syukurkah," tukas Alvin.     

"Kamu gak mau jenguk Om Dimas?" tanya Mentari.     

"Ya mau sih,"     

"Yaudah, nanti pulang sekolah sekaligus mampir aja, kita kan pulangnya bareng," usul Mentari.     

"Iya, boleh juga tuh, kebetulan pulang sekolah nanti aku juga gak ada jam tambahan kok," jawab Alvin.     

"Ok," sahut Mentari dengan senyum ceria.     

      

Diam-diam mencuri pandang ke arah Mentari.     

'Lagi-lagi senyuman itu lagi, senyuman yang begitu manis dan tak pernah berubah hingga dulu sampai sekarang,' batin Alvin.     

"Woy! ngelamun mulu!" bentak Laras sambil menepuk pundak Alvin.     

"Eh, Laras! bikin kaget aja!" teriak Alvin.     

"Hehe, makanya jangan ngelamun mulu dong," ledek Laras     

"Ih, siapa yang melamun?"     

"Ya, kamu lah, Vin. Masa Mentari?" kelakar Laras sambil menunjuk ke arah Mentari.     

"Eh, apa-apaan, kenapa jadi bawa-bawa aku?" tukas Mentari dengan wajah yang tidak terima.     

"Haha!" Laras kembali tertawa-tawa.     

Lalu dari seberang meja tempat mereka duduk ada seseorang yang sedang memperhatikan mereka.     

Seketika Laras langsung melirik ke arah orang itu dengan sinis.     

Dan memberitahu kepada dua temannya bahwa Fanya, sedang memperhatikan mereka.     

"Sst, lihat tu, fans beratmu, dari tadi ngelihatin kita terus," ujar Laras memberitahu kepada Alvin.     

"Siapa?" lirih Alvin.     

Lalu Laras melirik ke arah Fanya.     

"Dasar, cewek saiko," umpat Alvin.     

"Kenapa?" tanya Mentari yang belum tahu.     

"Itu, orang yang selalu iri kepada mu," tukas Latas memberi tahu Mentari.     

      

      

Sementara itu, Fanya memalingkan pandangannya, setelah dia menyadari jika pandangannya barusan sudah di ketahui oleh Mentari dan yang lainnya.     

      

Dan tak lama Keysia pun datang sambil menepuk pundak Fanya.     

"Hey!" tukas Keysia, lalu Fanya pun menoleh dan sedikit tersentak melihat Keysia.     

"Udah dong!" ucap Keysia lagi sambil menaruh nampan berisi dua mangkuk bakso di atas meja.     

"Huuuft, benar-benar menyebalkan!" jawab Fanya.     

"Udahlah, kita sekarang jangan memikirkan dia dulu, nanti kalau Ane sudah sehat kita baru susun rencana lagi," bisik Keysia.     

"Hah, apa yang bisa kita harapkan dari  gadis tukang kerasukan itu?!" ketus Fanya.     

"Hey, Fanya! jangan gitu dong, dia itu teman kita lo!" tegas Keysia.     

"Teman yang selalu menyusahkan saja!" cerca Fanya.     

"Fanya! Kok kamu ngomongnya gitu sih?!"     

"Ya buktinya, gara-gara dia kemarin kita tidak bisa mengerjai si Pincang, 'kan?"     

"Astaga!" Keysia sampai menggelengkan kepalanya.     

"Ya aku tahu soal itu, tapi itu bukan salah Ane, 'kan?"     

"Tetap saja, menyebalkan!"     

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.