Bullying And Bloody Letters

Selalu Begitu



Selalu Begitu

0Suasana kantin yang normal pun berubah menjadi sangat ramai gaduh, karna perkelahian Larisa dan Viola.     
0

Bukannya melerai, tapi mereka semua malah saling menyoraki memberikan dukungan kepada Larisa dan Viola.     

Mereka menganggapnya sebagai sebuah pertunjukkan gratis.     

Terdapat dua kubu pembela di antara mereka berdua yaitu, kubu Larisa dan kubu Viola.     

      

Karna situasi semakin runyam, akhirnya Alex tak tinggal diam, dan turun tangan untuk melerai Larisa dan Viola.     

"Udah! stop! jangan bertengkar lagi!" teriak Alex.     

"Diam!" teriak Viola dan Larisa yang secara kompak. Dan secara reflect mereka berdua mendorong tubuh Alex hingga terjengkang.     

      

"Hah! Alex!" teriak Larisa dan langsung menghampiri Alex, "kamu gak papa, 'kan?"     

Karna memperhatikan Alex, akhirnya Larisa menjadi lengah, dan hal itu tidak di sia-siakan oleh Viola.     

Dan Viola pun langsung menyerang Larisa, dia meraih sebuah gelas berisi es teh manis milik Alex di atas meja.     

Dan dia akan menyiramkan ke atas kepala Larisa, tapi tepat saat itu juga Larasati datang dan menyerang Viola.     

Dia memegang tangan Viola dan merebut minuman dari tangan Viola, lalu menyiramkan ke atas kepala Viola.     

Tak ada yang bisa melihat Larasati, mereka hanya melihat jika Viola sedang menumpahkan teh manis itu ke atas kepalanya sendiri.     

      

"Haha! Viola aneh ya! masa teh manis buat keramas!"     

"Haha! memang sudah gila sepertinya!"     

"Ah, cantik-cantik otaknya eror!"     

"Haha haha haha!"     

      

      

"Aduh sial! siapa yang sudah memegang tanganku?!" teriak Viola sambil menengok kanan-kiri, tapi tidak ada seorang pun yang mendekat ke arahnya.     

"SIAL!"     

Brak!     

Viola menggebrak meja lalu dia pergi meninggalkan kerumunan itu, sambil melirik sesaat ke arah  Alex dan Larisa yang malah bermesraan.     

      

"Kamu beneran gak papa, 'kan, Alex?" tanya Larisa.     

"Enggak kok, kan aku hanya jatuh,"     

"Tapi kepalamu tidak kenapa-kenapa, 'kan?"     

"Enggak, Larisa. Tenang aku gak lupa ingatan kok,"     

"Yasudah ayo bangun biar aku bantu!" Larisa memapah tubuh Alex.     

"Larisa, aku bisa bangun sendiri, serius aku gak apa-apa, tidak perlu berlebihan,"     

      

Lalu Cindy dan Nathasya pun datang menghampiri mereka.     

"Ya, ampun! kalian kenapa? kenapa ramai begini?!" teriak Cindy yang heboh.     

"Iya, kenapa pada ngumpul di sini? kalian gak lagi arisan, 'kan?" ucap Nathasya yang gak kalah heboh.     

      

Dan tak lama Tyas pun datang dan membubarkan kerumunan para siswa itu.     

"Ada apa ini! ayo bubar!" teriak Tyas.     

Lalu tinggallah Larisa, Alex, Tyas bersama Cindy dan Nathasya.     

"Sebenarnya apa yang sudah terjadi sih?" tanya Tyas.     

"Tadi Larisa berkelahi dengan Viola anak 12 B, Bu." Jawab Alex.     

"Hah apa?! Larisa berkelahi?!" Tyas tampak syok, "mungkin maksudnya, Larisa di bully oleh Viola ya?" Tyas menerka-nerka.     

"Bukan, Bu! tapi Larisa berkelahi sungguhan. Malah sampai jambak-jambakan!" tegas Alex.     

"Hah! yang benar?!"     

"Benar, Bu Tyas!"     

"Terus, Violanya kemana?!"     

"Viola sudah kabur, Bu!" sahut Cindy.     

      

Dan dengan terharu Tyas memegang kedua pundak Larisa.     

"Ya ampun, Larisa! kamu beneran melawannya?!"     

Larisa pun mengangguk, lalu Tyas langsung memeluk Larisa.     

"Ibu, sangat bahagia kamu ada kemajuan, Larisa!"     

"Wuih Larisa, keren!" ucap Cindy.     

"Cool, Larisa! kamu bukan lagi Larisa si Penakut!" imbuh Nathasya.     

"Pacar siapa dulu dong, Alex!" ucap Alex dengan bangga.     

      

Mungkin perkelahian bukanlah sikap terpuji dan tidak pantas untuk di teladani.     

Tapi berhubung, Larisa yang  melakukannya, membuat mereka malah merasa bahagia dan mendukungnya.     

Karna perkelahian tadi adalah bentuk perlawanan diri agar terlindung dari penindasan.     

Apalagi sebelumnya Larisa adalah orang yang paling sering di tindas dan tidak pernah bisa berbuat apa-apa untuk melawannya, bisa di bilang peristiwa tadi adalah sebuah prestasi baginya.     

      

      

***     

      

Sambil berjalan menuju parkiran motor,  Larisa dan Alex tampak bergandengan tangan.     

"Larisa, yang tadi itu keren banget," Alex mengacungkan jempolnya penuh yakin.     

"Hehe, aku juga gak nyangka bisa berkelahi dengan Viola, padahal itu kan tidak baik, tapi rasanya aku puas bisa meluapkan rasa kesalku kepadanya,"     

"Tidak apa-apa, melakukan hal yang tidak baik demi kebaikan. Karna kalau tidak di lawan, orang semacam Viola itu akan terus menginjak-injak mu," ucap Alex.     

"Terima kasih, Alex," ucap Larisa.     

"Loh kok, terima kasih sih?"     

"Iya, kan kamu yang terus bilang, bahwa aku tidak boleh jadi penakut dan harus bisa melawan orang-orang yang menindasku. Dan sekarang aku bisa melakukannya, dan semua itu berkat kamu. Berkata kata-katamu, Alex."     

"Ah, aku jadi terharu," Alex mengusap-usap kepala Larisa.     

"Hehe, Alex, bisa aja,"     

      

      

Hari ini benar-benar hari yang penuh perubahan bagi Larisa. Larisa merasa bangga, bahwa raupannya masih ada keberanian di dalam dirinya. Dia bisa merasakan keberanian itu muncul dari tubuhnya sekaligus memacu adrenalinnya.     

Dan karna hal itu, rasa percaya diri Larisa menjadi meningkat, sekaligus membuatnya yakin, tidak ada yang perlu di takuti selama dia tidak salah.     

Dan memang seharusnya dia tidak boleh tinggal diam, ketika orang mulia menindas dan menginjak-injak harga dirinya.     

Mulai dari hari ini Larisa berjanji, kepada dirinya sendiri bahwa tidak akan takut lagi dengan siapa pun.     

Karna semua orang itu sama, entah miskin atau pun kaya, entah cantik atau pun jelek mereka itu sama.     

Apalagi dia itu cerdas, dan dia juga cantik, jadi tidak perlu merasa minder lagi.     

Dia ingin menepati janjinya kepada Alex, bahwa dia tidak akan lagi menjadi orang, yang terus bergantung kepada Alex.     

      

      

Dengan hembusan angin sepoi menerpa rambut dengan iringan suara motor Alex yang berjalan pelan.     

Larisa di bonceng di belakang dalam posisi menggamblok.     

      

Mereka saling mengobrol dan membicarakan kejadian hari ini. Alex tak henti-hentinya memuji Larisa.     

"Aku benar-benar bahagia sekaligus bangga dengan kejadian hari ini, semoga kamu terus seperti ini ya, kamu harus tetap kuat walau aku tidak berada di sampingmu,"     

'Huh, lagi-lagi Alex bicara begitu,' batin Larisa.     

Tapi Larisa tidak mau menanyakannya lagi, karna pasti jawaban Alex tetap sama.     

Sejujurnya, Larisa mulai curiga jika Alex akan meninggalkannya. Dan hal itu sebenarnya adalah hal yang lumrah, bagi Larisa. Karna bisa saja dia dan Alex akan beda kampus saat kuliah nanti.     

Atau mungkin  bisa saja, Alex atau dirinya akan kuliah di luar kota.     

Tapi sama sekali Larisa belum berpikir jika  Alex akan pergi ke luar negeri.     

      

"Alex, kira-kira setelah lulus nanti kamu akan memilih kuliah di mana?"     

"Emmm," Alex tampak bingung untuk menjawabnya. Karna dia tidak mau mengatakan jika dia akan kuliah ke Canada.     

Karna dia takut jika Larisa tahu bahwa dirinya akan pindah justru membuat konsentrasi Larisa akan buyar saat ujian nanti.     

"Emm, doang, tapi gak di jawab," keluh Larisa.     

"Kenapa harus bertanya begitu sih, kita kan baru mau ujian. Lebih baik memikirkan pelajaran dari pada memikirkan kampus yang belum jelas."     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.