Bullying And Bloody Letters

Gagal Berciuman



Gagal Berciuman

"Larisa," panggil Alex.     

"Iya, ada apa, Alex?"     

Dan Alex langsung meraih tubuh Larisa mendekat kearahnya, lalu dia memejamkan matanya dan hendak mencium Larisa.     

Seketika jantung Larisa serasa mau copot saja.     

Larisa mematung dan memejamkan matanya dengan terpaksa dan dengan wajah ketakutan bercampur aduk.     

Tapi sayang belum sempat Alex mendaratkan bibirnya ke bibir Larisa tapi malah terdengar suara ibu Larisa yang memanggil.     

      

"Larisa!" teriak Ratih ibunya Larisa.     

Ratih menengok-nengok ke segala arah tapi dia tidak juga menemukan Larisa     

"Perasaan tadi seperti suara motornya Alex, tapi kok orangnya tidak ada," gumam Ratih.     

Hanya terlihat motor Alex di luar pagar, sementara Larisa dan Alex berada agak jauh dari letak motornya, sehingga mereka tak terlihat oleh Ratih.     

      

Alex dan Larisa pun mengurungkan niatnya untuk berciuman, dan Alex segera kembali menaiki motornya, sementara Larisa langsung membuka pagar rumahnya dan berjalan masuk.     

"Ada, apa, Bu. Tadi Ibu panggil Larisa ya?" tanya Larisa.     

"Iya, kamu dari mana? dan habis ngapain?" tanya Ratih dengan santai.     

Seketika mata Larisa langsung melotot dan bingung harus berkata apa.     

"Eh, tadi ... Alex, minta to ... long Larisa buat contekin PR, iya, isiin PR!" tegas Larisa dengan tatapan mantap, namun jawabannya sangat kacau balau.     

      

Ratih mengernyitkan sesaat keningnya.     

Dia tidak tahu dengan maksud ucapan Larisa yang tidak jelas itu.     

"Yasudah ayo cepat masuk rumah, udah malam lo,"     

"Iya, Bu. Maaf ya, tadi Bu Tyas ngajak Larisa sama Alex makan di Cafe, dan berhubung hari ini Ibu, libur jualan, jadi Larisa menerima ajakan, Bu Tyas,"     

"Oh, begitu ya, iya tidak apa-apa. Ibu selalu percaya kalau anak Ibu ini anak baik-baik, jadi tidak perlu berpikir aneh-aneh lagi,"     

"Ah, masa sih, Bu?" ledek Larisa.     

"Iya, dong!" Ratih mencubit pelan hidung Larisa.     

"Ibu, Larisa mandi dulu ya?"     

"Yaudah sana, lagian bau asem banget," Ratih menutup hidungnya sendiri.     

"Hihi, dikit doang!" kelakar Larisa.     

      

      

Sambil menunggu Larisa selesai mandi, Ratih merapikan meja makan dan menyiapkan makan malam untuk Larisa.     

"Duh, lupa gak bikin telur dadar  padahal kan itu makanan favorit Larisa,"     

Ratih, membuka pintu kukasnya dan mengambil beberapa butir telur, yang akan dia goreng saat itu juga.     

Tapi saat dia kembali menutup pintu kulkas itu, tiba-tiba ada sebuah surat yang di taruh di atas kulkas.     

Ratih yang merasa penasaran langsung mengambil surat itu dan membukanya.     

"Surat apa ini? perasaan tidak pernah menaruh surat apa pun di sini," gumam Ratih, kemudian dia pun langsung membaca surat itu.     

'Kembalilah bersama Wijaya, aku hanya rela bila dia bersamamu,' tulisan dalam surat itu.     

      

"Hah?! apa maksudnya, siapa yang menulisnya?" Ratih tampak keheranan.     

Dan dari selembar kertas surat itu tiba-tiba muncul tetesan darah yang perlahan jatuh ke bawah.     

Ratih sangat terkejut melihat hal itu.     

Seketika dia membuang surat itu.     

      

Tapi keanehan kembali terjadi dan surat yang terjatuh itu langsung mengeluarkan darah semakin banyak, sungguh terasa mustahil di mata Ratih.     

Ratih enggan berkedip saat menyaksikan kejadian aneh itu.     

Darah dalam surat itu kian melimpah dan menggenang di atas lantai, lalu perlahan lantai menelan selembar surat itu dan menghilang.     

Darahnya juga perlahan menghilang tak tersisa.     

Ratih mengusap kedua matanya, berharap dia hanya salah lihat, lalu dia juga menampar wajahnya sendiri  untuk memastikan dia sedang sadar atau sedang berhalusinasi.     

      

"Auw, sakit!" keluh Ratih yang merasa kesakitan karna tamparannya sendiri.     

"Jadi yang tadi aku lihat itu sungguhan ya?"     

      

"Ibu, Ibu sedang apa?" tanya Larisa, yang baru keluar dari kamar mandi.     

"Enggak, Ibu hanya agak pusing sedikit,"     

"Pusing?" Larisa memegang kening ibunya, "Ibu sakit ya?"     

"Ah, enggak kok, Ibu gak sakit, sungguh,"     

Lekat Larisa menatap sang Ibu, "Benaran gak papa?"     

"Enggak, Larisa, Ibu gak papa, ayo makan!"     

"Iya, tapi Larisa ganti baju dulu ya?"     

"Iya, deh."     

      

2 menit kemudian Larisa sudah berada di meja makan dengan handuk yang masih menempel di kepala, tapi dia sudah berganti pakaian.     

"Ibu, gak bikin telur dadar?"     

Ratih langsung menepuk keningnya, "Astaga Ibu, lupa Larisa!"     

Larisa menatap ibunya heran, karna tak biasanya ibunya sampai lupa menu makanan favoritnya itu.     

"Ibu, buatkan dulu ya?"     

"Ah, tidak usah, Bu. Kita makan yang ada aja,"     

"Wah, Ibu benar-benar lupa, Larisa,"     

Ratih menggelengkan kepalanya, karna otaknya yang merasa sedikit eror akibat surat yang ia temukan tadi.     

Sementara Larisa tampak lahap menyantap menu makan malamnya walau tanpa telur dadar kesukaannya.     

Sementara Ratih malah melamun dan terlihat di piringnya masih kosong dan belum terisi oleh apa pun.     

"Bu, kok gak makan?" tanya Larisa.     

Ratih masih melamun, sampai tak mendengar ucapan Larisa.     

"Bu," Larisa melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Ratih.     

Lalu Ratih pun kaget.     

"Ah, iya! ada apa, Larisa? tadi bilang apa?"     

Larisa terdiam terpaku, karna melihat tingkah Ratih, yang tak biasa.     

"Loh, kok malah diam? tadi kamu nanya apa sama Ibu?"     

"Ibu ada masalah ya?" tanya Larisa.     

Ratih pun langsung menggelengkan kepalanya.     

"Enggak kok, memangnya kenapa?"     

"Ibu, hari ini sangat aneh?"     

Ratih yang gantian mematung, wajahnya memancarkan ekspresi yang sama sekali tidak bisa di tebak.     

"Jawab, Bu. Jangan bikin Larisa khawatir,  Ibu sedang ada maslah ya?"     

Dengan penuh semangat Ratih menjawabnya, "Gak ada masalah, hanya saja Ibu baru saja mengalami kejadian yang aneh,"     

"Kejadian yang aneh bagaimana?"     

"Pokonya aneh, tadi ada surat, ada darah, dan ... menghilang!" Ratih, tampak kesulitan menjelaskannya, karna dia sangat panik dan takut saat membayangkannya kembali.     

Dan bukan hanya itu, dia juga takut kalau Larisa tidak mempercayai cerita tentang kejadian yang baru saja dia alami itu.     

      

Tapi Larisa malah melakukan kebalikannya, Larisa sama sekali tak meragukan ucapan ibunya, dan dia malah langsung bertanya secara rinci perihal kejadian yang baru saja di saksikan oleh sang ibu.     

"Apa tulisan dalam surat itu?" tanya Larisa dengan tegas.     

Ratih, tentu sedikit bingung akan hal itu, karna Larisa sama sekali tak meragukan ucapannya.     

"Bunyinya apa, Bu?" Larisa masih penasaran.     

"Te-tentang Wijaya, dalam tulisan itu seseorang menginginkan Ibu untuk kembali bersama Wijaya, Ayahmu,"     

"Hah?" Larisa mengernyitkan dahinya sambil melongo.     

      

"Ah, apa jangan-jangan ini ulah Wijaya, dia sengaja ingin menerorku!" cantas Ratih secara spontan menuduh Wijaya.     

"Ibu, kenapa menyalahkan, Ayah? Ayah, 'kan tidak salah?"     

"Tapi siapa lagi, Larisa? surat itu bertuliskan tentang Wijaya, dia ingin agar Ibu kembali dengannya. Lalu siapa yang menulisnya kalau  bukan Winaya sendiri?"     

"Bu, itu bukan—"     

"Ah, tapi aku juga heran, kenapa surat itu bisa mengeluarkan darah? dan kenapa bisa lenyap. Apa ada teknologi baru yang bisa melakukan hal seperti itu? bahkan darah itu terlihat nyata, aromanya dan juga suratnya langsung menghilang di hadapanku?"     

"Baiklah, aku tahu soal itu, jadi ibu perlu tenangkan pikiran ibu dulu, agar ibu juga tidak berpikiran buruk kepada Ayah,"     

Setelah itu Larisa menceritakan apa yang sebenarnya terjadi tentang hal itu kepada sang Ibu.     

Waktu itu dia hanya menceritakan tentang Larisa yang selalu mengikutinya, dan yang selalu membantunya saat dalam kesulitan.     

Larisa belum menceritakan soal bagaimana Larasati memberikan kode-kode dan tulisan keinginannya lewat surat. Surat berdarah tepatnya.     

      

"Jadi, Larasati Bu, yang telah mengirim surat itu kepada Ibu."     

"Tapi dia itu sudah meninggal, dan bagaimana orang yang sudah meninggal bisa mengirim surat kepada ku?"     

"Yah, kedengarannya memang mustahil, tapi memang itulah kenyataannya."     

"Tapi, kenapa wanita itu menulis surat itu untuk Ibu? bukankah dia sangat mencintai Wijaya?"     

"Larisa, juga bingung akan hal itu, Bu. Tapi meski mereka saling mencintai, tapi mereka itu sudah berbeda alam. Jadi tidak mungkin bisa bersatu kembali."     

"Tapi meski begitu, Ibu dan Ayahmu, sudah tidak akan bisa bersatu, karna rasa kasih sayang Ibu terhadap Ayahmu sudah memudar seiring berjalannya waktu,"     

"Apa Ibu tidak ingin memberi kesempatan sekali lagi untuk, Ayah?"     

"Sepertinya tidak, Larisa. Karna Ibu sudah kapok."     

"Bu ...." Larisa memegang tangan ibunya dengan tatapan sendu.     

"Ayolah, Bu. Beri kesempatan Ayah. Larasati sudah mengizinkan Ibu bersamanya, itu artinya dia tahu bahwa hanya Ibulah wanita yang pantas dan bisa membahagiakan Ayah,"     

"Lalu bagaimana dengan Ibu? apa Ayahmu bisa membahagiakan Ibu?"     

Larisa terdiam, sorot matanya perlahan redup.     

"Sudah cukup Ibu memberi kesempatan kepada Ayahmu, untuk menjadi keluarga, agar dia bisa turut membahagiakanmu, dan melakukan kewajibannya sebagai Ayah. Tapi bukan berati Ibu juga harus mencintainya kembali, Ibu tidak bisa Larisa, pintu hati Ibu sudah tertutup untuk lelaki mana pun termasuk Ayah kandungmu,"  tutur Ratih meluapkan isi hatinya.     

Larisa pun tak bisa berbuat apa-apa dengan keputusan sang Ibu yang tetap tidak akan mau kembali dengan ayahnya.     

Karna bagaimana pun hati tak bisa di paksakan.     

      

      

***     

Sementara itu, Wijaya tampak sedang duduk di teras rumahnya.     

Seperti biasa dia hanya menghabiskan hari-hari berada di rumah saja, dan menyerahkan segala urusan kantor dengan orang kepercayaannya.     

"Mungkin kalau dulu aku tidak menyia-nyiakan Ratih, hari ini aku pasti tidak sendiri begini. Pasti rumah ini juga tidak sepi seperti ini," gumam Wijaya.     

Lalu kembali dia menatap sebuah foto kecil dalam dompetnya.     

Foto yang selama bertahun-tahun selalu menemaninya, yaitu foto Larasati.     

Wanita yang menjadi pujaan hati Wijaya.     

"Mungkin bisa di bilang aku sudah gila, karna masih setia dengan orang yang sudah mati, tapi apa boleh buat, aku memang tidak bisa melupakannya, walau sedetik pun."     

Kemudian tiba-tiba saja Wijaya melihat selembar surat yang terletak di atas meja samping dia duduk.     

"Surat? surat apa ini?"     

Wijaya membuka surat itu, dengan tenang. Tapi ketenangan itu mendadak sirna saat kertas surat itu mulai meneteskan darah.     

"Darah?" Wijaya melihat kembali tangannya dan menciumnya.     

"Benar-benar darah?" begitu anyir.     

Tapi Wijaya tak menghiraukannya lagi, dia tetap membuka surat itu.     

      

Dalam surat itu bertuliskan, 'Mungkin sudah saatnya aku pergi dari mu, sudah cukup aku membuat hidupmu menderita, kembalilah bersama Ratih,'     

"Siapa yang menulis surat seperti ini? apa mungkin Larasati?" tebak Wijaya.     

      

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.