Bullying And Bloody Letters

Orang Yang Tepat



Orang Yang Tepat

0Dalam surat itu bertuliskan, 'Mungkin sudah saatnya aku pergi dari mu, sudah cukup aku membuat hidupmu menderita, kembalilah bersama Ratih,'     
0

"Siapa yang menulis surat seperti ini? apa mungkin Larasati?" tebak Wijaya.     

      

      

Wijaya meremat surat itu dan meletakkannya kembali di atas meja, lalu  kejadian aneh yang mirip dengan kejadian yang menimpa Ratih pun juga terjadi kepadanya.     

Surat itu di mengeluarkan banyak darah hingga menggenangnya, lalu surat itu lenyap dalam genangan darah yang seolah menghisapnya.     

      

"Lara! Lara!" teriak Wijaya yang memanggil Larasati.     

Tapi Larasati tidak muncul juga.     

"Aku yakin kamu di sini Lara! ayo keluar, temui aku. Aku mohon, Larasati!" pinta Wijaya.     

Larasati masih juga tak muncul, padahal Wijaya benar-benar sangat ingin bertemu dengannya.     

      

Hingga malam pun tiba, dan mendadak kondisi tubuh Wijaya terasa drop.     

Tubuhnya terasa lemas, dan panas dingin menggigil.     

"Kenapa dengan tubuhku?" ucapnya.     

Lalu Wijaya meraih obat yang biasa ia konsumsi, dan setelah itu dia merebahkan tubuhnya di atas kasur.     

Dia menutupi tubuhnya yang menggigil itu dengan selimut tebal.     

Tapi karna masih terasa dingin dia sampai mematikan AC-nya.     

Dan rasa dingin itu sedikit mereda kemudian Wijaya mulai memejamkan mata.     

      

Dalam  tidurnya itu, Wijaya mulai bermimpi. Dia tengah berada di taman dan duduk santai di sebuah bangku yang biasa ia dan Larasati bertemu.     

"Aku berada di sini? apa aku bermimpi?" Wijaya mencubit tangannya sendiri.     

Meski cubitannya sangat kuat, tapi dia tak merasakan sakit sama sekali.     

"Jadi benar, aku hanya bermimpi," ucapnya.     

"Semoga saja, dia datang menemuiku di sini, aku tidak peduli, meski aku sedang mimpi, yang terpenting aku bisa bertemu dengannya," harap Wijaya.     

      

"Wijaya,"     

Seseorang memanggil namanya, lalu Wijaya menoleh ke arahnya.     

"Lara! akhirnya kamu datang juga, aku sangat merindukanmu, Lara," Mata Wijaya tampak cerah berbinar.     

"Aku juga merindukanmu, Wijaya." Jawab Larasati.     

Wijaya langsung memeluk Larasati, "Lara, apa maksud dari surat yang kau kirim itu?"     

Larasati menatap Wijaya lekat, dia membelai rambut Wijaya dengan lembut.     

"Apa kau ingin meninggalkanku?" tanya Wijaya.     

Larasati tersenyum, dia mengrcup kening Wijaya dengan lembut pula.     

"Jawab, Larasati. Jangan membuatku khawatir," paksa Wijaya.     

"Aku, juga sangat menyayangimu, aku juga tidak ingin kehilangan dirimu, tapi dunia kita berbeda, Wijaya,"     

"Tapi aku tidak masalah soal itu, aku tidak peduli, yang terpenting aku masih bisa bersamamu dan mencintaimu seumur hidupku," Wijaya memegang wajah Larasati yang dingin dengan kedua tangannya.     

"Lalu, apa masalahnya? kenapa kamu ingin kita berpisah?" tanya Wijaya.     

"Karna aku ingin melihatmu bahagia, dan aku juga bahagia di alamku yang semestinya,"     

"Tidak, aku begini saja sudah bahagia, jadi tidak perlu kau menyuruhku untuk kembali dengan wanita lain. Karna aku hanya mencintaimu, aku tidak mau memberi harapan palsu kepada Ratih lagi, sudah cukup dia menderita karna ku!"     

"Dia tidak akan menderita lagi jika kamu mau dengan tulus mencintainya. Kalian akan hidup bahagia, dan aku juga bahagia di alam keduaku. Karna waktu ku sudah hampir habis di sini,"     

"Maksudmu?"     

"Seruni sudah mengakui kesalahannya, Anton dan Amara sudah mati, dan orang-orang jahat yang menggagu Larisa sudah tidak ada. Putrimu Larisa akan segera lulus dari sekolah keparat itu, dan dia sekarang sudah menjadi gadis yang kuat. Tugas ku sudah selesai dan dendamku sudah terbalas. Dan Ibuku juga sudah terjamin kehidupannya." Tutur Larasati dengan tatapan datarnya.     

"Lalu, apa kau tega meninggalkan aku sendirian?" Wijaya tampak mengiba.     

"Tidak."     

"Lalu?"     

"Kamu tidak sendiri Wijaya, karna masih ada Ratih dan Larisa, mereka keluargamu,"     

"Aku tidak mencintai Ratih, dan Ratih juga sudah membenciku!"     

"Maka dari itu, rebut hatinya kembali. Karna aku hanya percaya kepadanya, bahwa dia bisa membuatmu bahagia."     

"Tidak, Lara! aku tidak mau, aku hanya ingin dirimu. Kalau kamu pergi maka ajak aku pergi!"     

Larasati menggelengkan kepalanya, "Tidak! kamu harus tetap hidup. Kejar Ratih," pinta Larasati.     

"Ratih, tidak mencintaiku, aku tidak mencintainya!"     

"Percayalah, kamu akan baik-baik saja bersama mereka. Aku akan pergi setelah kamu bahagia. Jadi jangan khawatirkan aku. Karna aku masih selalu di dekatmu, selama kamu belum bahagia."     

"Lara," Wijaya mengiba menatap Larasati.     

Larasati tersenyum manis berbalik mantapnya.     

Kembali tangan lembut dan terasa dingin itu membelai rambut Wijaya.     

"Percayalah, kamu akan baik-baik saja saat ku pergi nanti." Ucap Larasati.     

"Tidak Larasati, kamu itu sudah ingkar janji. Bukan kita akan tetap bersatu meski kita berbeda alam?"     

"Maaf, Wijaya. Tapi aku hanya mau kamu hidup bahagia, sepertinya yang lainya."     

      

Wijaya menangis dalam pelukan Larasati. Rasanya dia tak ingin melepas pelukan yang terasa nyaman itu, Larasati juga masih setia mengusap rambut Wijaya dengan lembut.     

Matanya juga berkaca, terasa begitu sesak jika bicara tentang sebuah perpisahan.     

Tapi ini semua demi kebaikan.     

Malam itu mereka berdua menghabiskan  pertemuan dalam mimpi itu.     

Hingga tak terasa pagi pun menjemput dan Wijaya terbangun dari tidurnya.     

      

"Hah, sudah pagi rupanya,"     

Wijaya langsung beranjak dari kasurnya, dan dia berdiri tepat di depan cermin dan menatap wajahnya sendiri, yang mulai menua dan terlihat sembab di bagian mata.     

"Ini akibat air mataku yang terlalu banyak mengalir tadi malam."     

Wijaya tersenyum tipis, "Aku mirip seorang pecundang, mana ada lelaki sejati yang menangis seperti anak kecil seperti ku,"     

Dia menggelengkan kepalanya, "Aku memang bukan  lelaki sejati, aku lelaki bobrok, yang tak pantas bahagia." Ucapnya.     

      

***     

Pagi itu, di rumah Bu Salamah tampak begitu sepi, beliau sedang duduk santai di depan televisi dan menyeruput teh manis di tangannya.     

"Ini, pisang goreng buat teman ngeteh, Bu." Ucap Sari ART suruhan Seruni.     

"Terima kasih, Nak Sari," sahut Bu Salamah, "kalau, Nak Sari, cepek istirahat dulu,"     

"Ah, sama sekali tidak, Bu Salamah. Pekerjaan seperti ini sangat ringan bagi saya, dulu pekerjaan saya sangat berat, bekerja membersihkan rumah, memasak dan membantu majikan saya mengurus anak. Dan itu adalah pengalaman terberat saya selama menjadi ART, dan pekerjaan di sini tak sebanding dengan pekerjaan di sana," tutur Sari yang menceritakan pengalamannya.     

"Wah, Nak Sari, sangat hebat. Sudah cantik, rajin, dan baik hati," puji Bu Salamah.     

"Terima kasih atas pujiannya, Bu Salamah. Saya juga sangat bahagia bisa bertemu dengan Ibu. Sejak kecil saya yatim piatu, dan saya di besarkan di panti asuhan. Selanjutnya setelah usia 15 tahun saya diambil oleh Bibi saya, tapi bukannya beliau memberikan pendidikan yang layak, tapi beliau hanya memanfaatkan saya, untuk di suruh bekerja dan memberikan uang kepadanya," tak sadar air mata Sari turut menetes, mengiringi ucapannya.     

"Sabar, Nak Sari." Bu Salamah mengelus pundak Sari.     

"Bu, apa boleh saya menganggap Ibu seperti Ibu kandung saya? karna Bu Salamah adalah sosok wanita yang sangat sempurna bagi saya. Saya sangat ingin memiliki Ibu seperti Bu Salamah. Karna sejak kecil saya belum sempat mengenal Ibu saya, beliau meninggalkan ketika melahirkan saya,"     

      

Bu Salamah sangat terharu mendengar ucapan Sari. Rupanya Sari juga mengalami nasib yang tak kalah pahit darinya.     

Dia datang di waktu yang tepat, Seruni tidak salah memilihkan ART untuknya.     

"Tentu saja boleh, Nak Sari. dengan senang hati Ibu mau menganggapmu sebagai putri Ibu. Bertahun-tahun Ibu menunggu putri Ibu yang tak kembali pulang, lalu di usia senja Ibu, Ibu mendapat kabar pahit bahwa putri Ibu sudah meninggal. Dan sekarang kamu datang di waktu yang tepat, saat Ibu hidup sebatang kara tanpa adanya taman bicara untuk berkeluh kesah." Tutur Bu Salamah dengan mata yang berkaca-kaca.     

      

Sari memeluk Bu Salamah dengan hati yang gembira. Dia benar-benar merasa hidup kembali.     

'Jadi ini rasanya di peluk Ibu,' batin Sari sambil tersenyum bahagia.     

Bu Salamah menemukan orang yang tepat, begitu pula dengan Sari. Mereka merasa sangat beruntung sudah di pertemukan.     

Sekarang Sari bukan lagi Asisten Rumah Tangga untuk Bu Salamah. Tapi dia adalah putri dari Bu Salamah.     

      

Di momen bahagia sekaligus mengharukan itu, Larasati datang dan turut bahagia menyaksikan ibunya yang bahagia.     

Ini yang dia harapkan, senyum bahagia dari sang ibu kembali terukir, setelah sekian lama beliau menunggunya dengan penuh rasa sabar meski tanpa kejelasan.     

Sekarang sang ibu sudah mendapat penggantinya. Di hari-hari tuanya  beliau tak sendiri lagi. Karna ada Sari yang dengan tulus akan merawatnya.     

      

***     

      

Esok harinya.     

Ujian hari kedua telah tiba, seperti biasa Larisa selalu tampak antusias untuk mengikutinya, karna dia sudah mempersiap matang-matang.     

Dan dapat di pastikan tidak ada lagi yang akan mengganggunya saat ujian. Karna Viola sedang berada di rumah sakit, dan hingga saat ini belum juga tersadar.     

      

Hari ini pun Larisa juga sudah mengumpulkan lembar jawabannya lebih dulu di bandingkan dengan peserta ujian yang lainnya.     

"Wah, Larisa, kamu selalu selesai lebih awal ya, kamu memang genius," puji Bu Lusi yang kebetulan menjadi pengawasnya hari ini.     

"Ah, terima kasih atas pujiannya, Bu Lusi," ucap Larisa.     

      

Larisa keluar dari dalam ruangan ujian dan duduk di kursi kantin sambil menunggu Alex keluar.     

Suasana kantin tampak sepi, baru Larisa saja yang berada di tempat itu.     

Lalu perlahan dia merasakan bulu kuduknya yang merinding.     

Larisa mengusap kulit bagian lehernya yang terasa bulu kuduknya berdiri.     

'Ada apa ini?' batinnya.     

Seketika otaknya langsung teringat dengan Larasati.     

"Pasti kamu ya? ayo muncul!" teriak Larisa.     

Kemudian Larasati pun muncul tepat di samping Larisa.     

Larisa pun langsung kaget saat melihat Larasati tiba-tiba sudah ada di sampingnya.     

"Terima kasih ya, untuk semuanya," ucap Larisa.     

Larasati tersenyum kepada Larisa.     

"Meski aku tidak membenarkan caramu menolongku, tapi setidaknya aku bisa bertahan sampai sekarang berkat dirimu," Larisa menatap lekat wajah Larasati.     

Setelah itu terdengar bel istirahat, dan tepat saat itu juga Larasati pun pergi dari hadapan Larisa.     

Dan Larasati kembali meninggalkan secarik kertas untuknya.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.