Bullying And Bloody Letters

Janji Memaafkan



Janji Memaafkan

0Setelah itu terdengar bel istirahat, dan tepat saat itu juga Larasati pun pergi dari hadapan Larisa.     
0

Dan Larasati kembali meninggalkan secarik kertas untuknya.     

      

"Surat lagi," gumam Larisa.     

      

Dari kejauhan sudah tampak Cindy dan Nathasya yang menyapa Larisa dengan senyuman ceria mereka.     

"Hai! Larisa!" ucap serempak mereka.     

"Hay, Cindy! hay Nathasya!"     

"Wah, udah lama duduk di sini?" tanya Nathasya.     

"Sekitar sepuluh menit yang lalu,"     

"Waw, Larisa selalu the best!" Cindy mengacungkan jempolnya.     

"Alex mana?" tanya Larisa.     

"Biasa, pasti lagi ke toilet, soalnya tadi sempat papasan sih, ya enggak, Cin?"     

Nathasya menyenggol bahu Cindy.     

"Iya!" jawab Cindy, tidak fokus.     

"By the way, itu surat apa?" Nathasya melirik penasaran.     

"Ah, ini ...." Larisa langsung mengantonginya, "bukan surat apa-apa kok,"     

Nathasya masih melihatnya dengan penuh penasaran.     

"Ini, kertas rumus, Thasya! gak sengaja ke bawa," ucap Larisa beralibi.     

"Ih, coba lihat  pasti surat cinta ya?!" Natashya yang penasaran langsung meraih surat itu dari tangan Larisa.     

"Thasya! gak boleh kayak gitu!"     

"Pinjam, Larisa! cuman pinjam  habis gelagatnya mencurigakan deh,"     

Nathasya langsung membukanya hendak melihat isinya.     

"Hah! kosong?" Seketika rasa penasaran itu mendadak sirna  dan dia langsung mengembalikan surat itu kepada Larisa.     

"Nih,"     

"Kok di balikin?"     

"Ya abisnya buat apa lagi, orang kosong, gak ada yang bisa di kepoin haha," kelakar Nathasya.     

Dan Larisa pun langsung lega. Lalu dia melihat kembali dalam surat itu, tapi di matanya, tidak seperti yang di lihat oleh Nathasya.     

Karna dalam pandangannya, kertas surat itu tidak kosong dan ada percikan darah seperti biasanya.     

      

Secara diam-diam Larisa membacanya.     

'Aku masih menjagamu sampai kamu lulus nanti,' tulisan dalam surat itu.     

Setelah itu kembali Larisa melipatnya dan menaruhnya di dalam saku.     

Tapi tak berselang lama surat itu lenyap dari sakunya Larisa.     

'Hilang?' batin Larisa.     

      

"Kenapa sih, Larisa? kok bengong mulu?" tanya Nathasya.     

"Ah, enggak," Larisa menggelengkan kepalanya.     

"Eh, Cin! jangan main Hp mulu dong, kamu bawa makanan apa hari ini?" tanya Nathasya.     

"Ah, apa ya?" Cindy langsung menaruh ponselnya, "oh, si Bibi, tadi bawain aku nasi goreng nih,"     

"Wah, serius! asyik! aku mau dong!"     

"Iya, Thasya! sabar dong!"     

"Aku lapar, Cindy, tadi gak sempet sarapan,"     

"Emang kamu gak bawa bekal lagi?" tanya Cindy.     

"Aku cuman bawa roti, sama keripik kentang doang! si Embak lagi pulang kampung,"     

"Oww," Cindy menganggukkan kepalanya, "yasudah makan bareng sama aku aja deh,"     

"Hay, teman-teman mau sate?" tanya Larisa.     

"Jam segini?" ucap Nathasya.     

"Gak mau ya?" polos Larisa.     

"Yah!" Nathasya menggelengkan kepalnya, "ya mau lah!" ucapnya penuh semangat.     

"Huh, dasar kirain gak mau," Cindy menoyor kepala Nathasya.     

"Cindy rese deh!"     

"Haha! habisnya, katanya lagi diet, tapi bawaannya lapar mulu haha!" ledek Cindy.     

"Uh, Cindy jahat banget ih!" Nathasya tampak geram.     

"Udah-udah jangan pada berantem, lagian gak papa kok, Thasya, makan banyak hari ini, 'kan dietnya bisa di pending besok," jelas Larisa tanpa bersalah.     

"Ya, ampun, Larisa. Kamu itu polos-polos tapi menebar aliran sesat ya," Cindy mencubit pipi Larisa.     

"Haha, masa?" Larisa tertawa lebar.     

Dan Nathasya langsung menutupnya.     

"Ih, Larisa. Kalau ngomong suka bener, padahal kan dietnya emang aku mau pending buat besok, haha!"     

      

"Hey! kalian ngapain kok kayaknya heboh banget sih?" tanya Alex yang baru saja datang.     

"Eh, biasa! wanita selalu punya obrolan tersembunyi!" jawab Cindy.     

"Eh, iya deh kalau begitu. Berhubung aku cowok sendiri jadi aku pergi saja ya," ketus Alex     

"Yah, ngambek," celetuk Cindy.     

"Haha, payah!" imbuh Nathasya.     

      

Larisa pun tampak panik, takut jika Alex marah sungguhan dengannya.     

"Alex!" teriak Larisa.     

Dan Alex pun menengok ke arahnya, tapi Alex tak menyahutinya.     

"Jangan, mar—"     

"Ssst!" Alex mengedipkan satu matanya kepada Larisa.     

Larisa pun langsung tersenyum, karna itu adalah sebuah kode yang mengisyaratkan bahwa Alex tidak marah kepadanya.     

Dan Larisa pun duduk kembali dan bergabung bersama dengan Cindy dan Nathasya yang sejak tadi tidak berhenti bercanda dan heboh sendiri.     

"Ih, gebetan baruku ganteng banget tau enggak, Cin!"     

"Ih, masa? tapi percuma sih ganteng kalau pada akhirnya gak jadi pacar juga."     

"Heh, maksudnya apa!?"     

"Yah, kayak yang sudah-sudah! calon pacar di rebut cewek lain!"     

"Ih, Cindy jahat!"     

"Haha haha!"     

"Ih, awas ya!"     

"Eh, sudah-sudah! jangan bertengkar terus dong!" seru Larisa menghentikan obrolan mereka.     

"Cindy nih, yang mulai duluan!"     

"Ih apaan?!"     

"Tu, 'kan gak nagaku!"     

"Hais!" Larisa menggeleng-gelengkan kepalanya.     

      

      

      

***     

Sepulang sekolah, Larisa seperti biasanya mampir ke warung sate ibunya.     

"Ibu, Larisa pulang!" sapa Larisa dengan Ceria.     

"Wah, anak Ibu sudah pulang,"     

Larisa mencium tangan ibunya.     

"Gimana dengan ujiannya?"     

"Ya, seperti kemarin-kemarin, lancar."     

"Wah, syukurlah. Gak nyangka ya, putri Ibu yang cantik ini sebentar lagi lulus,"     

"Hehe," Larisa memegang punggung ibunya, "Yaudah, Larisa ke toilet ganti baju dulu ya, Bu, biar bisa langsung bantuin Ibu,"     

"Ah, gak usah, kamu istirahat saja, biar Ibu yang urus semuanya, besok kan masih ada ujian, jadi sebaiknya kamu fokus belajar aja," kata Ratih.     

"Larisa sudah belajar jauh-jauh hari, jadi tinggal buka materi sedikit nanti malam sudah selesai, Larisa pasti bisa mengingatnya,"     

"Ah, yasudah deh, terserah kamu aja,"     

      

      

Dan setelah berganti pakaian, seperti biasanya, Larisa langsung membantu ibunya berjualan.     

      

Dan tepat di depan warungnya, sebuah mobil mewah kembali terparkir.     

Dan pemilik mobil itu pun keluar, tentu saja orang yang sudah tidak asing lagi.     

"Eh, Ayah!" panggil Larisa.     

"Selamat siang menjelang sore, Larisa." Wijaya melirik sesaat ke arah Ratih, "selamat siang Ratih," sapa Wijaya kepada Ratih.     

Dan Ratih hanya menjawabnya dengan menundukkan kepalanya sesaat lalu tersenyum tipis penuh paksa.     

"Maaf, lagi-lagi kedatanganku mengganggu kalian, dan ini untukmu Larisa," Wijaya mengeluarkan sebuah boneka Taddy Bear dan juga satu buah paper bag untuknya.     

"Wah, ini bonekanya buat aku, Yah?" Larisa tampak antusias.     

Dan Wijaya menganggukkan kepalanya.     

"Terus ini apa?" Mata Larisa terarah ke sebuah paper bag yang di berikan kepadanya itu.     

"Oh, ini hadiah kecil. Tadi Ayah, lihat di jalan dan ingat kalian, jadi Ayah belikan saja," jawab Wijaya.     

Larisa pun langsung membukanya, "Wah, cantik sekali, ini yang satu buat Ibu ya?"     

"Iya, yang  itu buat Ibumu," jawab Wijaya sambil melirik kearah Ratih dan tersenyum.     

Tapi Ratih malah membuang muka, "Aku sama sekali tidak butuh baju dari mu," gumam Ratih sambil pergi menjauh.     

      

Senyum Larisa pun langsung menciut, bak sebuah balon yang tiba-tiba bocor.     

'Ibu masih belum bisa menerima Ayah sepenuhnya, padahal kemarin bukannya dia sudah berjanji akan berbaikan, apa ini semua karna surat Larasati?' batin Larisa.     

      

"Ya sudah, Ayah duduk dulu biar kan Larisa buatkan minum untuk, Ayah."     

"Ah, tidak usah repot-repot Larisa, karna Ayah buru-buru,"     

"Yah, Ayah mau pergi sekarang?"     

"Iya, maaf ya Larisa, mungkin lain waktu kita bisa mengobrol atau pergi jalan-jalan bersama," jawab Wijaya.     

      

Dan seperti yang baru saja dia ucapkan kepada Larisa, akhirnya. Dia pun pergi dari tempat itu, dan sesaat sebelum pergi dari warung sate itu, Wijaya menemui Ratih dulu.     

"Maaf, Ratih kalau kehadiranku tidak berkenan di hatimu, aku pamit pulang dulu ya," ucap Wijaya berpamitan.     

Tapi sama sekali Ratih tak menjawab ucapan Wijaya itu.     

Dan setelah Wijaya sudah mulai menjauh darinya, Ratih baru menoleh ke belakang dan melihat Wijaya yang sudah berlalu pergi dengan berjalan sangat cepat itu.     

"Hufttt  dia pikir dia itu siapa?" gerutunya.     

      

      

Dan tak lama setelah itu muncullah Kayatri yang kembali mampir di warung sate  Larisa.     

Kayatri sempat melihat sekilas saat Wijaya baru saja keluar dari warung sate ini, bahkan dia juga sempat melihat Wijaya mengobrol dengan Ratih.     

"Bu, kenal sama lelaki yang tadi ya?" tanya Kayatri yang langsung tertuju ke poinnya.     

      

Dan Ratih tidak menjawabnya, dia masih sibuk mengipas-ngipas satenya.     

"Bu, apa Ibu ini mantan istrinya Wijaya ya?"     

Ratih langsung menengok kearah Kayatri, tatapan matanya mengisyaratkan bahwa dia sangat tidak nyaman dengan ucapan Kayatri itu.     

Tapi dia masih menahannya, karna Ratih tidak mau berdebat dengan siapa pun.     

"Bu, dari tadi perasaan diam saja, saya ini  benar-benar bertanya sungguh-sungguh lo,"     

Seketika Ratih langsung menoleh kearah Kayatri dan melempar kipasnya satenya dengan kasar ke atas lantai.     

"Saya juga bicara sungguh-sungguh, bahwa pertanyaan Ibu itu sangat mengganggu saya! jadi tolong Ibu diam!" ketus Ratih.     

Seketika Ratih terdiam, mulutnya seolah terkunci secara otomatis.     

'Ah, sial! dasar perempuan kampungan, baru jualan sate saja sudah sombong,' batin Kayatri, dengan mulut manyun dan wajah sinisnya.     

      

Lalu Kayatri pun langsung pergi meninggalkan warung itu, karna dia sudah terlanjur kesal kepada Ratih.     

"Bu, jadi pesen sate?" tanya Larisa.     

"Ah, enggak! saya mau makan tempat lain saja!" ketus Kayatri.     

Larisa tampak bingung, 'loh, harusnya kan yang marah aku, karna waktu itu si Ibu ini tidak mau bayar, kenapa sekarang malah dia yang marah?' batin Larisa yang keheranan.     

      

Lalu Larisa pun menghampiri sang Ibu, "Bu, Ibu marah ya?" lirih Larisa.     

Ratih tak menjawabnya, dan Larisa tampak bersedih, kemudian Larisa pun memeluk ibunya dari belakang.     

"Ibu, maafin Larisa ya, kalau Larisa bersalah. Tapi kan Ibu sudah berdamai dengan Ayah, kalau pun Ibu tidak bisa mencintainya lagi, tapi setidaknya Ibu tetap tidak boleh membencinya." Ucap Larisa.     

Ratih, masih dengan raut dinginnya, dan tangannya masih mengipas-ngipas satenya.     

"Bu, jangan marah ya, Larisa mohon. Ibu kan pernah bilang, bahwa kita harus berdamai kepada diri kita sendiri dan maafkan orang dengan tulus, jadi tolong lakukan itu juga kepada Ayah, ya Bu," mohon Larisa.     

Akhirnya Ratih menoleh kearah Larisa dan menganggukkan kepalanya.     

"Iya, Ibu sudah tidak marah lagi," ucap Ratih.     

"Janji?"     

"Iya, Larisa,"     

"Sama, Ayah juga, 'kan?"     

Ratih terdiam.     

"Ayo, bilang iya, Bu. Hanya berteman, bersaudara, kakak dan adik. Bukan suami lo, mau ya?" paksa Larisa.     

Ratih tersenyum dan mengangguk, "Iya Larisa,"     

"Yes!" Larisa sangat girang.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.