Bullying And Bloody Letters

Hari kelulusan



Hari kelulusan

0Tak terasa ujian nasional pun telah usai, kini Larisa dan yang lainnya tengah berkumpul dalam sebuah papan pengumuman yang terpajang di mading sekolah mereka.     
0

      

Mereka semua terlihat sangat antusias sekali, tak terkecuali dengan Larisa, mata Larisa langsung terperangai dan melotot lebar saat melihat ternyata nilainya yang paling tinggi di antara yang lainnya.     

"Ah, aku lagi gak mimpi, 'kan?" Larisa sampai menepuk-nepuk wajahnya sendiri.     

"Larisa!" panggil Alex.     

Seketika Larisa menengok ke arah Alex dan langsung memeluknya.     

"Alex aku lulus dengan nilai bagus, bagaimana dengan nilai mu?"     

"Lumayan," jawab Alex dengan suara yang terlihat santai.     

"Wah, ayo coba kita lihat," ajak Larisa.     

Papan pengumuman punya Alex dan Larisa letaknya terpisah.     

"Sudah, nilaiku biasa-biasa saja. Jadi tidak akan terpampang dengan tanda khusus seperti nilai mu," jelas Alex dengan tersenyum.     

"Ah, ini juga berkat kamu, kamu kan selalu mendukungku,"     

"Masa sih?" Alex mencubit hidung Larisa.     

"Ih, Alex!"     

      

      

Lalu dua sahabat Larisa pun dengan kehebohannya menasehati Larisa.     

"Larisa!" teriak kompak Cindy dan Nathasya.     

"Hey!" teriak balik Larisa dan mereka pun saling berpelukan.     

"Kita lulus!" teriak Cindy.     

Dan mereka bertiga pun berpelukan, tak terasa Cindy sampai lompat-lompat saking girangnya.     

Dan Larisa pun menarik tangan Alex agar  turut ikut berpelukan dengan mereka bertiga.     

      

Mereka semua begitu bahagia hari ini, akhirnya tiga tahun yang mereka lewati telah usai.     

Mereka akan segera melepas setatus anak SMU mereka.     

Tapi di balik kesenangan itu terdapat rasa yang sesak di hati Alex.     

Karna ini artinya dia akan segera mengatakan yang sesungguhnya kepada Larisa.     

Dia harus mempersiapkan dirinya, untuk menyaksikan kembali air mata Larisa akan terjatuh di hadapannya.     

"Eh, kita harus rayain hari kelulusan ini, gak boleh enggak pokoknya!" teriak Cindy dengan suara cemprengnya.     

"Iya, bener kata Cindy! kita makan-makan yuk!" ajak Nathasya antusias.     

"Ayu! kita makan di tempat biasa saja ya?!" sahut Larisa yang juga tak kalah antusias.     

      

Dan mereka berempat pun langsung meninggalkan Superior High School dan berpindah ke Cafe tujuan mereka.     

"Kalian pesan apa aja deh, biar Cindy yang bayar!" tukas Cindy dengan bersemangat.     

"Waw, cool! Cindy emang dermawan!" puji Nathasya.     

"Thanks Cindy!" ucap Larisa.     

"Ok, Larisa! khusus buat kamu boleh pesan apa aja, karna kita lulus juga berkat dirimu," ucap Cindy.     

"Iya, kamu kan guru privat suka rela kita!" imbuh Nathasya.     

"Yey! thanks semua!"     

Mereka bertiga tampak sangat ceria dan bahagia.     

Sementara Alex terus memasang topeng dalam wajahnya, dia memaksakan tersenyum sepanjang percakapan mereka di dalam Cafe.     

Dia tidak mau terlihat bersedih, dan tidak mau mengganggu momen bahagia Larisa karna hal ini.     

"Alex, kamu pesan apa?" lirih Larisa.     

"Ah, samain aja sama kamu,"     

"Ok,"     

Sambil melihat Larisa yang sedang berbicara dengan seorang waiters di Cafe itu.     

Alex mengintip sesaat isi dalam tasnya.     

Sebuah kotak kecil berwarna merah dan berbentuk hati sengaja ia beli untuk Larisa.     

Di dalam kotak kecil itu berisi cincin, yang di desain khusus dengan inisial nama mereka berdua dan di pesan secara custom.     

Alex berharap Larisa akan menyukainya.     

      

"Alex jangan diam aja dong! tu makanan sudah datang ayo cepat di makan, nanti keburu dingin!" teriak Nathasya,     

"Ah, iya!" ucap Alex agak geragapan.     

"Mau di suapi?" tanya Larisa dengan nada meledek.     

"Emm, boleh,"     

"Wah, seriusan ya? ok deh, Ak,"     

Larisa memberi aba-aba seperti menyuapi anak kecil.     

Dan Alex pun mengikuti arahan Larisa.     

"Oh my God! kalian itu so sweet banget, Cindy mau kayak gitu," ucap Cindy dengan ekspresi menggemaskan.     

"Thasya juga," Nathasya pun juga memasang ekspresi yang sama dengan Cindy.     

      

"Haha! makanya buruan cari pacar dong, biar gak jomblo terus," ledek Larisa.     

"Udah, Risa, tapi belum nemu juga," jawab Cindy.     

"Iya, sama," imbuh Thasya.     

"Eh, dasar tukang poto copy, ikut-ikutan aja lagi,"     

"Ih, 'kan aku emang jomblo, Cin, sama kayak kamu"     

"Bukannya kemarin kamu pergi kencan sama cowok?"     

"Ah, enggak jadi. Ternyata dia udah punya istri,"     

"Hah, apa?! wajah baby face begitu udah beristri?!"     

"Iya, parah banget. Ternyata istrinya teman Tante, aku,"     

"Oh, my God! Thasya, yang sabar ya, Sayang,"     

"Iya  Cindy my Lovely,"     

Sementara Alex dan juga Larisa hanya menyaksikan mereka dengan nanar.     

      

***     

      

Setelah beberapa jam berlalu mereka semua pun meninggalkan cafe itu.     

Tapi Alex tidak langsung mengantarkan Larisa pulang.     

"Larisa, kita mampir ke taman sebentar ya?"     

"Boleh, tapi kok tumben sih, Lex?"     

"Iya, karna ada sesuatu yang ingin aku katakan,"     

      

      

Sesampai di taman itu, Alex mengajak duduk di salah satu bangku taman yang biasa mereka berdua tempati.     

"Kamu mau ngomong apa?" tanya Larisa.     

"Aku ...."     

Perlahan Alex meraih tangan Larisa.     

"Aku senang sekarang kamu sudah berubah, Larisa. Kamu ceria, pemberani, dan punya banyak teman. Dan itu semua membuatku merasa sangat bahagia,"     

"Kok, kamu ngomong begitu, sebenarnya ada apa?"     

"Larisa, aku ingin jujur kepadamu,"     

      

Dek...,     

Seketika jantung Larisa merasa deg-degan, di berfirasat tidak enak. Dia takut Alex benar-benar akan meninggalkan dirinya. Karna selama ini Larisa diam-diam mencurigai Alex, bahwa dia akan meninggalkannya.     

"Apa benar kamu akan meninggalkan ku?" tanya Larisa sambil menunduk.     

"Da-dari mana kamu tahu?"     

"Jadi benar ya?"     

"Maaf, Larisa."     

Larisa menunduk lagi, di kedua sisi netranya meneteskan air mata, "Kenapa kamu tidak jujur sejak awal,"     

"Maaf, Larisa. Aku tidak mau mengganggu konsentrasimu. Aku ingin menggapai keinginanmu, lulus dengan nilai tertinggi."     

"Tapi, ini terasa jahat, Alex. Kamu tahu aku tidak bisa hidup tanpa kamu," Air mata Larisa terus mengalir deras bagaikan hujan.     

"Aku, tahu, harusnya aku jujur, maaf kan aku Larisa."     

Alex memeluk tubuh Larisa, dan membiarkan Larisa menangis dalam pelukannya.     

"Aku, terpaksa, harus pergi, aku akan melanjutkan kuliah dan menetap di Canada karna aku adalah satu-satunya penerus keluarga Ayahku," tutur Alex.     

"Kamu jahat, Alex ...," lirih Larisa.     

"Aku juga tidak mau kehilanganmu, Larisa. Kalau boleh memilih, aku ingin tetap di sini bersamamu, menjagamu, dan hidup bersamamu, tapi aku tidak boleh seegois itu. Keluarga ku juga membutuhkan aku,"     

"Lalu bagaimana caraku membiasakan diriku? aku sangat bergantung kepadamu, Alex?"     

"Kamu sudah berjanji, untuk tidak bergantung lagi kepadamu, berkali-kali aku mengingatkan kepadamu,"     

"Jadi ini alasanmu?"     

"Iya, Larisa. Maafkan aku."     

"Kapan kamu akan pergi ke sana?"     

"Setelah, berkas kelulusan keluar, aku akan segera pergi,"     

Larisa menunduk, kalau di tanya seberapa berat dia harus merelakan Alex yang akan pergi darinya, tentu Larisa akan menjawabnya sangat berat dan tidak lagi bisa terhitung.     

      

Baginya Alex adalah segalanya di dalam hidupnya. Alex adalah, pacar, teman, sekaligus pelindung baginya.     

Tak ada yang bisa menggantikan Alex  sampai kapan pun.     

      

Untuk pertama kalinya Larisa merasakan jatuh cinta, dan untuk pertama kalinya juga dia harus melepaskan cinta pertamanya itu.     

Tapi dia sadar, apa yang telah di katakan Alex selama ini memang benar , karna dia tidak boleh terus bergantung dengan seseorang.     

Dia juga harus menjadi sosok yang kuat, seperti yang selalu Alex bilang.     

      

Seberat apa pun saat ini, dia harus siap menghadapi. Sehancur apa pun hatinya saat ini  dia tetap harus memperbaikinya.     

"Menangis saja, Larisa. Aku akan di sini sampai kamu merasa tenang, punggungku, masih siap menampung air matamu."     

"Alex, hik hik hik ...."     

Alex masih mengelus rambut Larisa dengan lembut, matanya yang sipit juga mulai meneteskan buliran air mata yang sejak tadi tertahan.     

      

Larisa adalah cinta pertamanya, dia yang awalnya hanya ingin melindungi Larisa karna rasa bersalahnya kepada Lilly teman kecilnya, justru malah jatuh cinta kepada Larisa.     

Perasaan yang belum pernah ia berikan kepada gadis lain.     

Dan sekarang dia harus melepaskan perasaannya terbang tinggi dan menjauh.     

      

"Apa kita tidak bisa untuk berhubungan jarak jauh saja, Alex?"     

"Tidak, Larisa. Aku sudah tidak akan pulang lagi kemari, aku tidak mau kamu menungguku tanpa kepastian."     

"Tapi aku tidak masalah soal itu?"     

"Tapi aku ingin kamu menemukan kebahagiaan yang lain selain aku. Dengan siapa pun itu, yang penting kamu bahagia,"     

"Tapi bahagiaku cuma kamu Alex,"     

"Maaf, Larisa. Aku tidak bisa melihatmu menunggu harapan kosong. Jadilah Larisa yang kuat, dan kejar cita-citamu,"     

"Alex ...,"     

      

Tak terasa, hari pun semakin petang, Alex mengantarkan Larisa pulang.     

Dan sesampai di depan pagar rumah Larisa, Alex kembali menyempatkan berbicara kepada Larisa.     

"Ini untuk kamu," ucap Alex.     

Dia menaruh kotak kecil itu ke tangan Larisa. Larisa hanya menatapnya sendu tanpa bertanya apa pun kepada Alex.     

"Aku, harap kamu bisa mengingatku saat merasa terjatuh,"     

Larisa menatap lekat wajah Alex.     

"Meski aku jauh, aku akan tetap mendukungmu, aku selalu merindukanmu  dan kamu adalah gadis yang paling istimewa dalam hidupku."     

Alex mengusap air mata Larisa perlahan.     

"Jangan sedih, Larisa-ku adalah gadis yang kuat,"     

Alex kembali memeluk Larisa sesaat dan mengecup keningnya,     

"Ayo maduk, pasti Bu Ratih sudah cemas menunggu mu,"     

Alex pun kembali menaiki motornya dan berlalu pergi.     

      

Larisa kembali meneteskan air matanya, sambil berjalan gontai memasuki rumahnya.     

      

Ceklek!     

      

"Loh, Larisa, kok baru pulang tumben?" tanya Ratih yang menyambut kedatangan putrinya.     

"Ibu ...," lirih Larisa.     

"Loh, loh! ada apa ini?"     

"Alex, Bu,"     

"Kenapa dengan, Alex?"     

"Hik," Segera Larisa memeluk ibunya, "Alex akan meninggalkanku,"     

"Kenapa?"     

"Hik,"     

"Sabar, Sayang," Ratih mengelus pundak Larisa.     

      

Hari kelulusan yang awalnya sangat membahagiakan bagi Larisa, kini berubah menjadi saat yang menyedihkan.     

Sepanjang malam dia menangis karna harus merelakan kepergian Alex.     

      

Sambil duduk di depan cermin, Larisa pun menatap wajahnya yang matanya begitu sembab, akibat terlalu banyak menangis.     

"Baik, aku akan menangis sepuas-puasnya malam ini. Tapi besok akun harus tersenyum, aku ingin membuat Alex bahagia karna melihat aku baik-baik saja," ucap Larisa dengan penuh keyakinan.     

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.