Bullying And Bloody Letters

Mengingat Dengan Cara Bahagia



Mengingat Dengan Cara Bahagia

0Sinar mentari mulai menyapa pagi Larisa, Larisa mulai membuka matanya ketika sinar hangat itu menerpa wajahnya.     
0

      

"Sudah pagi rupanya," Larisa duduk dan mengusap kedua matanya.     

Matanya terasa sangat sepat dan agak sedikit sakit.     

Tadi malam dia terlalu banyak menangis, hingga matanya menjadi sembab, dan membengkak.     

"Sudah cukup, Larisa, hari ini sudah pagi, itu artinya kesedihanmu sudah usai, sekarang saat kamu mencari kebahagiaan, kejar cita-citamu," ucap Larisa menyemangati dirinya sendiri.     

      

Larisa langsung berdiri dan beranjak dari tempat tidurnya.     

Dia langsung mandi dan mempersiapkan diri untuk pergi ke rumah Audrey.     

Karna hari ini Audrey sedang mengadakan pesta atas kelulusannya di rumahnya.     

      

      

      

Sambil bercermin dan merias wajahnya, Larisa melihat ponselnya yang tiba-tiba layarnya menyala.     

"Ada pesan," Larisa langsung meraihnya.     

Ternyata sebuah pesan dari Alex.     

'Aku tunggu kamu di depan rumah,' tulisan dalam pesan itu.     

      

"Hah! Alex sudah ada di depan sepagi ini?" Larisa langsung mengintipnya dari balik jendela.     

Dan tampak Alex, sedang berbincang dengan Ratih ibunya.     

"Ternyata dia benar-benar sudah datang,"     

Larisa segera menaruh ponselnya tanpa membalas pesan itu. Lalu di menyelesaikan riasannya.     

      

Setelah itu Larisa pun keluar dari kamar dan menemui Alex.     

"Eh, Larisa, sudah selesai?"     

"Iya, Bu."     

"Sejak tadi, Nak Alex, sudah menunggumu, tapi dia tidak mau di suruh masuk ke rumah," ucap Ratih sambil melirik ke arah Alex sesaat.     

Dan Alex pun mengembangkan senyumannya.     

"Ah, cuman sebentar saja kok, Bu. Nih, buktinya Larisa sudah muncul." Ucap Alex.     

      

Lalu Ratih pun meninggalkan Larisa dan Alex berdua saja.     

Dan dia kembali masuk ke dalam rumahnya.     

      

"Sudah siap?" tanya Alex.     

Lalu Larisa mengangguk, dan mereka pun pergi.     

Bukannya langsung ke tempat tujuan, tapi Alex malah mengajak Larisa berhenti di taman yang kemarin.     

"Loh, kenapa berhenti di sini?" tanya Larisa.     

"Kita ngobrol dulu di sini, lagi pula pestanya di mulai jam 9 dan sekarang kan baru jam 8," jelas Alex.     

Akhirnya Larisa pun pasrah dengan ajakan Alex itu.     

Dan mereka duduk di bangku yang kemarin. Tapi suasananya tidak seperti biasanya.     

Hari ini terasa senyap, Larisa dan Alex seperti dua orang yang baru saling mengenal saja. Rasanya ada sebuah tembok yang membatasi merela berdua.     

"Kamu, tidak apa-apa Larisa?" tanya Alex yang mencoba mencairkan suasana.     

"Tidak, memangnya kenapa?" ketus Larisa.     

"Sekali lagi maafkan aku ya, Larisa," lirih Alex.     

"Sudah, kamu itu sudah terlalu banyak meminta maaf, lagi pula kamu itu tidak salah, tapi aku yang salah karna masih saja tidak bisa merelakanmu, padahal aku sudah curiga sejak awal,"     

"Larisa, jangan bicara begitu, kalau kamu terus merasa bersedih, maka selamanya aku juga akan terus merasa bersalah,"     

Alex kembali memeluk Larisa, dengan posisi yang hampir sama seperti kemarin.     

"Kalau kamu ingin menangis lagi  pundakku masih siap kok, menampung air matamu itu,"     

"Tidak!" Larisa langsung beranjak dari pelukan Alex.     

"Aku, sudah tidak mau menangis lagi. Kesedihanku hanya untuk kemarin, dan hari ini sudah saatnya aku bahagia, atau paling tidak aku harus bertingkah biasa!" ucap Larisa penuh semangat.     

Padahal terlihat jelas, wajah Larisa mulai memerah, dan matanya seperti ada bendungan yang sengaja ia tahan agar air matanya tidak jatuh.     

"Aku senang kamu mau berusaha untuk menjadi kuat, tapi khusus hari ini kalau kamu ingin menangis maka menangis saja, tidak apa-apa kok,"     

"Tidak!" ketus Larisa.     

"Loh kenapa?"     

"Ya, pokoknya enggak, kan kamu yang bilang kalau aku harus kuat, lagi pula ...."     

"Iya, lagi pula apa?"     

"Lagi pula nanti makeup ku luntur,"  ucap Larisa seolah tak rela mengucapkannya.     

      

"Larisa, Larisa haha! kirain karna apa,"  Alex malah tertawa mendengar alasan konyol Larisa itu.     

Sementara Larisa tampak cemberut karna mendengar Alex, yang malah menertawainya.     

"Huh, dasar gak peka!" ketus Larisa.     

"Udah dong, Larisa, jangan ngambek mulu sama aku, ayo senyum,"     

"Enggak mau!"     

"Ayo dong, Larisa,"     

"Enggak!"     

"Dikit aja!"     

"Enggak!"     

"Ayolah,"     

"Pokonya enggak! ya enggak!" ketus Larisa.     

"Kalau gitu aku pergi nih," ancam Alex.     

"Pergi aja!"     

"Serius! nanti kalau aku di ambil orang gimana? aku kan ganteng, banyak yang naksir," rayu Alex.     

"Bodo amat!" ketus Larisa.     

"Larisa," cuup, Alex mencium kening Larisa dengan hangat.     

Larisa seketika terdiam, dan hatinya seakan meleleh, "Jangan marah terus dong, aku kan sedih," bisik Alex.     

      

Dan Alex langsung membuka tasnya, lalu dia mengeluarkan satu buah permen lollipop yang berukuran cukup besar.     

"Ini buat kamu," ucap Alex sambil menyodorkan lollipopnya.     

"Keponakan ku, kalau lagi ngambek langsung tersenyum kalau di kasih lollipop." Tutur Alex dengan wajah yang polos.     

"Jadi aku di samain sama keponakan kamu gitu?!"     

"Eh, sebentar,"     

Alex melihat ada penjual permen kapas di depannya.     

Tanpa berpikir panjang, Alex langsung mendekatinya, dan membelinya.     

Setelah gula kapas itu di dapat Alex kembali menghampiri Larisa.     

"Ini buat kamu," ucap Alex sambil menyodorkan gula kapas itu, tubuhnya menunduk dengan dengkul kaki yang menempel di tanah, mirip adegan melamar dengan bunga di film-film romantis.     

Larisa pun langsung tersenyum melihatnya.     

Karna tingkah Alex begitu manis, bahkan jauh lebih manis di banding dengan permen kapas yang di berikan untuknya.     

"Nah, gitu, 'kan cantik," puji Alex.     

Dan Alex pun langsung berdiri dan duduk kembali di samping Larisa.     

"Tahu tidak Larisa, ngomong-ngomong soal gula kapas, aku punya kenangan terindah dengan Ayahku,"     

"Wah, benarkah?"     

"Iya, mau dengar ceritanya enggak?"     

"Mau dong,"     

"Emm, jadi begini ceritanya ...,"     

      

Alex menceritakan sambil membayangkan masa kecilnya dulu.     

Dulu dia dan Ayahnya, juga sering berada di taman ini.     

Saat itu Alex sedang menangis karna kesal dengan ayahnya yang tidak jadi membelikan sepatu untuknya karna lupa.     

Dan Alex yang kala itu masih sangat kecil dan baru berusia sekitar 5 tahun, saking marahnya sampai tidak mau berbicara dengan ayahnya, kalau pun berbicara hanya menjawab dengan ucapan yang singkat dan ketus.     

"Alex, jangan marah sama, Papa ya, Papa janji akan belikan sepatu baru untuk Alex, dan kali ini tidak akan lupa lagi,"     

"Ah, Papa, bohong!"     

"Papa, gak bohong  Sayang, tapi Papa beneran lupa,"     

Ayah Alex yang bernama Mr. John itu menguarkan sebuah lollipop. Yang akan dia berikan kepada Alex, agar Alex tidak marah lagi.     

Dan Alex pun agak tersenyum, tapi dia masih menahan senyumannya karna dia masih kesal dengan sang ayah.     

Kemudian John melihat seorang penjual permen kapas.     

"Waw cutton candy!" Mr. Jhon langsung menghampiri pedagang itu.     

Kemudian Jonh membelikan permen kapas atau gulali itu untuk Alex.     

Setelah mendapatkannya dia langsung memberikan kepada Alex, Alex yang awalnya sangat marah menjadi luluh, saat melihat sebuah permen yang mirip busa mengembang tapi kalau di tekan menjadi kempes.     

"Ayo coba," ucap ayahnya.     

Lalu Alex memakannya, dan dia sangat senang sekali, saking senangnya sampai dia lupa jika dia sedang marah dengan sang ayah.     

Di mulai dari situ Alex dan ayahnya semakin sering berkunjung di taman ini, John yang kala itu masih mengurus bisnisnya di Canada harus bolak-balik dari Canada ke Indonesia untuk menengok anak dan istrinya.     

Dan waktu luangnya selalu dia habiskan untuk berkunjung di taman ini bersama putra semata wayangnya yaitu Alex.     

      

Sampai detik ini setiap Alex melihat manisnya permen kapas, dia selalu teringat dengan kenangan manisnya bersama sang ayah.     

Dan sekarang Larisa membuatnya teringat kembali, tapi Alex sama sekali tak bersedih lagi, baginya. Ayahnya memang sudah mati tapi segala kenangan manisnya masih terus tersimpan dan akan terus dia ingat seumur hidupnya.     

      

"Kamu, bercerita seakan tanpa beban, apa kamu tidak pernah merasa bersedih akan hal itu?" tanya Larisa yang keheranan.     

"Tidak sama sekali, karna aku tahu, Ayahku sudah hidup bahagia di surga sana. Dan dia turut bahagia jika aku dan ibuku, hidup bahagia di dunia, jadi tidak ada lagi alasan untuk bersedih."     

"Aku sangat kagum melihat mu, Alex, kamu bisa setegar itu di tinggal oleh Ayahmu, berbeda denganku, kalau aku, sampai sekarang pun aku masih sering menangis saat teringat dengan mendiang Ayah sambungku, meski saat ini aku sudah bertemu dengan Ayah kandungku sekali pun,"     

"Kamu harus mengikhlaskannya, ingatlah beliau dengan cara bahagia, agar di sana beliau juga bahagia,"     

"Iya, Alex. Kamu benar, dan itu juga harus aku lakukan saat aku kehilanganmu nanti, akan aku pastikan bahwa aku akan hidup bahagia meski tanpa dirimu, biar kamu juga tenang dan bahagia saat meninggalkanku di sini,"     

Alex kembali tersenyum saat mendengar ucapan Larisa itu, sekarang dia bisa merasa lega karna Larisa baik-baik saja. Dan dia bisa pergi ke Canada dengan tenang.     

      

Dengan siapa pun nanti Larisa akan mendapat pasangan, Alex tak peduli, meski dia tidak di takdirkan sekali pun dengan Larisa.     

Yang terpenting baginya, Larisa hidup bahagia, meraih masa depan yang cemerlang, dan mendapatkan pasangan yang bisa menyayangi dan menjaga Larisa dengan tulis.     

      

      

Drrrtt....     

      

"Eh, ada yang telepon nih," Larisa meraih ponsel dari balik sakunya.     

"Siapa?" tanya Alex.     

"Hah?! Audrey!"     

"Ya sudah angkat!"     

"Ok, sebentar ya,"     

      

Larisa pun langsung mengangkat telepon itu.     

"Iya, ada apa Audrey?"     

"Kalian di mana? kenapa belum sampai juga? acara sudah di mulai nih," oceh Audrey.     

Larisa langsung melihat arloji di tangannya yang menunjukkan pukul 09:20.     

"Oh my God! tunggu ya, kita segera ke sana!"     

Larisa langsung menarik tangan Alex dan langsung mengajaknya pergi ke rumah Audrey.     

      

"Aduh, keasyikan ngobrol sampai telat nih!" ucap Larisa,     

"Bodo amat ah! yang penting kamu udah gak diemin aku hehe," kelakar Alex.     

"Huh, Alex, nih!"     

      

      

      

***     

Dan sampailah mereka berdua di rumah Audrey. Tampak banyak sekali para tamu yang datang, terutama anak-anak dari selolah barunya. Dan di sana Larisa juga melihat ada Sisi dan Nana, sahabat karib Audrey dari Superior High School.     

      

Larisa hanya menatap mereka tanpa menyapa, begitu pula dengan mereka berdua.     

Tapi tatapan Sisi dan Nana, terlihat berbeda dari biasanya.     

Larisa pun langsung memalingkan wajahnya dan mengajak Alex berpindah tempat.     

Sementara itu Nola, Vania, Airin, tampak antusias menyapanya, karna ketiga sahabat Audrey dari sekolah barunya itu juga akrab kepadanya.     

"Hay, Larisa, apa kabar?"     

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.