Bullying And Bloody Letters

Nostalgia



Nostalgia

0Entah berada di ruangan apa itu, yang jelas semua bernuansa putih dan sedikit di penuhi kabut.     
0

Bu Salamah terus berjalan tertatih menghampiri gadis yang melambaikan tangannya itu.     

Wanita tua itu sangat yakin jika itu adalah putrinya.     

      

"Lara! kamu Lara, 'kan?!"     

Dan perlahan gadis itu mendekat ke arah Bu Salamah, karna sepertinya dia tak tega melihat Bu Salamah yang berjalan tertatih dan terlihat sangat kesulitan itu.     

      

"Lara ... Larasati," Bu Salama meraba dan membelai wajah gadis itu.     

"Lara, putri tersayangku," Bu Salamah meneteskan buliran air matanya perlahan.     

"Ibu, baik-baik saja, 'kan?" ucap Larasati dengan lembut, dan tangannya berbalik membelai wajah sang ibu.     

"Kemana saja kamu, Nak? kenapa baru menemui ibu sekarang?"     

"Maaf, Bu. Maaf kan, Lara ya?"     

"Ibu selalu memaafkan, Nak. Walau kamu punya kesalahan terbesar sekalipun, tapi ibu hanya tidak mau kehilanganmu lagi,"     

Larasati menggenggam tangan ibunya dan berharap hati wanita tua itu menjadi sedikit tenang.     

"Ibu sekarang sudah bahagia. Sari adalah gadis yang baik, Bu. Dia akan menyayangi Ibu dengan tulus," tukas Larasati.     

"Lalu apa hubungannya? Ibu, 'kan hanya ingin Putri Ibu kembali?"     

Perlahan Larasati mengusap wajah sang Ibu yang terlihat keriput dengan rambut yang sudah memutih.     

"Lara sudah tidak bisa kembali, Bu. Lara sudah punya alam sendiri, tapi Lara akan selalu melihat Ibu dan mendoakan Ibu di sini meski kita tak satu dimensi lagi," tutur Larasati dengan lembut.     

"Lara, kenapa kamu harus pergi, Nak. Selama bertahun-tahun Ibu menunggumu, tapi sekarang saat kita di pertemukan, kamu harus pergi lagi, ibu tidak mau seperti ini, Nak."     

"Sabar, Bu. Kita akan bertemu lagi suatu saat nanti, Lara akan menunggu ibu di sana, dan sekarang Ibu pulang ya,"     

"Tidak Lara, Ibu masih ingin di sini, Ibu tidak mau kamu pergi, Nak,"     

Bu Salamah tidak rela melihat Larasati pergi, dan dia terus memegang tangan putrinya itu.     

Dia terus menangis dan memohon, agar Larasati tetap berada di sini.     

      

      

      

Sementara itu, di atas tempat tidurnya, Bu Salamah tampak sedang mengigau dan menangis sesenggukan, sambil terus memanggil nama, 'Lara' di setiap hembusan nafasnya.     

Hal itu sampai membuat Sari yang kebetulan tidur di sampingnya menjadi terbangun.     

"Ibu, Ibu kenapa?" Sari memegang kening Bu Salamah.     

"Astaga, badan Ibu panas," Sari tampak panik, karna malam-malam begini malah Bu Salamah sedang sakit.     

"Aduh, bagaimana ini,"     

Dan Sari pun langsung mengambil handuk kecil dan memasukkan air hangat itu ke dalam sebuah baskom.     

Dengan segera Sari mengompres kening Bu Salamah dengan air itu, berharap setelah ini panasnya segera turun.     

      

"Kalau, tidak turun juga, terpaksa aku harus membawanya pergi ke dokter malam-malam begini," gumam Sari sambil memeras handuk kecil itu lalu menempelkan kembali ke kening ibunya.     

      

      

Di dalam mimpi Bu Salamah.     

"Bu, Ibu, tetap di sini ya, belum saatnya Ibu pergi, lagi pula kasihan kalau Ibu pergi sekarang, nanti Sari bagaimana?"     

"Tapi, Ibu masih rindu, Nak. Jangan tinggalkan ibu ya. Ibu mohon,"     

Meski pun memohon tapi Larasati tetap akan meninggalkan sang ibu, dan dia melepas pelukan sang ibu pelan-pelan, dan setelah itu dia mencium kening ibunya dengan lembut.     

"Ibu, yang sabar ya, Ibu baik-baik di sini, doakan Lara, dan ikhlaskan Lara pergi dengan tenang," lirih Larasati.     

Sementara Bu Salamah hanya terdiam, tak bisa bicara apa pun lagi. Meski terasa berat dia harus  melepaskan putrinya, dan dia hanya bisa berharap, saat ini dia bisa menghabiskan masa tuanya dengan bahagia, meski tanpa Larasati.     

Dan dia juga berharap, ketika dia mati nanti, Tuhan akan mempertemukan dan menyatukan, dia, suaminya dan putri semata wayangnya yaitu Larasati.     

      

      

Dan perlahan Larasati pun berjalan kian menjauh, dengan sesekali menengok ke arah wajah sang Ibu yang sangat keberatan melihatnya pergi, tapi  Larasati masih terus berjalan, karna dia yakin sang ibu pasti baik-baik saja.     

      

Dengan tatapan sendu yang masih terus meneteskan air matanya, Bu Salamah kembali menarik nafas dalam-dalam sambil mengelus dadanya.     

"Iya, ibu akan merelakanmu, Nak. Iya, Ibu rela asal kamu tenang dan bahagia di alam sana," kembali butiran air mata itu menetes deras.     

Ruangan yang begitu senyap itu hanya di hiasi dengan isak tangis wanita tua itu.     

Lalu semakin lama, dalam ruangan senyap itu, dia mendengar suara lain, selain suara isak tangisnya sendiri.     

      

"Ibu, Ibu, bangun, Bu. Jangan tinggalin, Sari," tangis Sari.     

"Sari," Bu Salamah pun langsung memutar balik langkahnya dan dia pun berjalan melewati sebuah pintu.     

Dan tepat saat itu dia pun langsung terbangun dari tidurnya.     

Dan melihat Sari sedang menangis tersedu-sedu di sampingnya.     

"Ibu!" Mata Sari seketika berbinar, ketika melihat sang ibu kembali membuka mata.     

"Ibu, Ibu sudah bangun!" Sari langsung memeluk tubuh Bu Salamah.     

"Bu, aku sangat khawatir dengan Ibu, Ibu terus mengigau dengan tubuh yang sangat panas, hampir saja, Sari akan membawa Ibu ke rumah sakit,"     

"Tidak perlu, Sari, Ibu baik-baik saja"     

"Tapi, tadi Ibu—"     

"Hussh sudah, Ibu tidak apa-apa hanya minum obat saja, nanti juga sembuh,"     

"Tapi—"     

"Maaf, ya, Ibu sudah membuat Sari jadi panik,"     

"Ibu," Sari memeluk Bu Salamah lagi dengan hangat.     

      

Dan saat itu hati Bu Salamah kembali terbuka, bahwa di dunia ini masih ada yang menyayanginya, dia tidak lagi sebatang kara, dan sekarang yang harus dia lakukan adalah tetap hidup dan terus bahagia bersama Sari.     

Melihat wajah Sari yang khawatir seperti ini saja membuatnya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau dia mati nanti, walaupun itu sudah pasti akan terjadi.     

"Bu, jangan tinggalin Sari dulu ya, Sari masih butuh, Ibu. Sari masih ingin merasakan kasih sayang seorang ibu lebih lama lagi,"     

"Iya, Sari, Ibu janji, Ibu akan menjaga kesehatan Ibu agar Ibu bisa sedikit lama menemani Sari, menyayangi Sari, dan terima kasih, untuk Sari yang sudah hadir dalam hidup Ibu,"     

Setelah itu kondisi tubuh Bu Salamah membaik, dan sudah tidak lagi terasa panas. Demamnya seketika turun, karna bantuan hormon endorfin yang dia rasakan lewat kasih sayang Sari.     

      

      

      

***     

      

      

Malam yang dingin ini terasa sepesial bagi Larisa. Dia sudah tidak lagi menangis, seperti kemarin, dia berhasil memantapkan dirinya bahwa dia benar baik-baik saja.     

Dan ciuman dari Alex tadi berhasil menambah rasa bahagia sekaligus tak karuan.     

Yah, meski dia bahagia dan sudah mantapkan hatinya bahwa dia baik-baik saja, tapi jauh dari dalam lubuk hatinya seakan meronta dan ingin tetap bersama Alex.     

      

Setiap hal itu teringat, bendungan dalam matanya seakan segera jebol. Tapi setelah itu Larisa kembali lagi memantapkan dirinya, bahwa dia baik-baik saja dan tidak akan lagi menangis.     

"Larisa harus kuat," ucapnya lirih sambil menggenggam cincin pemberian dari Alex, lalu dia tertidur.     

      

Dan tak terasa malam pun sudah berlalu begitu cepat, mentari pagi kembali membangunkannya dari celah jendela kamar.     

Terdengar di telinga Larisa, ibunya sedang sibuk memasak sekaligus mempersiapkan dagangannya.     

      

Segera Larisa beranjak dan merapikan kamar serta rambutnya lalu menghampiri sang Ibu.     

"Eh, Larisa, sudah bangun,"     

"Sudah, Bu. Sudah siang begini kok, Ibu tidak membangunkan Larisa?"     

"Ibu, tidak mau mengganggumu, lagi pula kamu kelihatan sangat lelah,"     

"Enggak kok, Bu, sama sekali tidak. Habis ini, Ibu mau ke pasar?"     

"Iya,"     

"Larisa, ikut ya?"     

"Boleh, tapi panas banget lo, Ibu gak mau nanti anak Ibu jadi keling,"     

"Haha! gak papa keling yang penting manis," Larisa menempelkan kedua jari tunjuknya di kedua pipinya.     

"Ih, masa muji diri sendiri," Ratih mencubit pipi Larisa gemas.     

      

Dulu waktu kecil Larisa sering sekali ikut sang ibu berbelanja ke pasar, kadang-kadang juga bersama Adi ayah sambung Larisa.     

Larisa sangat bahagia, jika mengenang masa itu, meski dia tak memiliki satu pun teman, tapi keberadaan Adi sang ayah mampu membuat dirinya tak lagi bosan.     

Larisa memang sejak kecil sudah tidak mau bergaul, dia merasa tidak nyaman jika bergabung dengan orang lain selain keluarganya.     

Sehingga dia memutuskan untuk melewati hari-harinya dengan belajar dan  membantu kedua orang tuanya berjualan.     

Dan dari serangkaikan kegiatan itu, Larisa paling suka saat di ajak pergi ke pasar, karna setiap di ajak ke pasar, ayah dan ibunya selalu membelikan jajanan kesukaannya.     

Hanya mendapatkan kue-kue jajanan pasar dan beberapa mainan khas anak kampung saja, Larisa sudah sangat bahagia.     

      

Namun seiring berjalannya waktu dan dia sudah mulai masuk sekolah. Larisa pun menjadi sangat jarang ikut ayah dan ibunya ke pasar, kalau pun ikut hanya pada saat hari libur saja.     

Dan setelah dia masuk ke jenjang SMU, dia sudah sama sekali tidak pernah ikut ke pasar lagi.     

      

Dan hari ini dia kembali turun ke pasar berbelanja bahan-bagan untuk dagangannya, sekaligus bernostalgia.     

"Bu, sudah lama ya, Risa tidak datang kemari, dan suasananya juga sedikit berbeda sekarang,"     

"Iya, semenjak kamu masuk SMU kan kegiatan kamu sangat padat, jadi Ibu tidak mau mengganggumu."     

"Tapi sekarang Larisa sudah bisa santai, kan Bu,"     

"Iya, tapi sebentar lagi kamu kan harus masuk universitas, apa kamu sudah menentukan akan melanjutkan di mana?"     

"Belum Bu, Larisa memang sudah di terima di beberapa Universitas tapi Larisa masih belum bisa menentukan pilihan yang pas,"     

"Ow, ya sudah, kamu pikirkan baik-baik ya, supaya tidak menyesal,"     

"Iya, Bu."     

      

Lalu mata Larisa pun langsung terbelalak ketika melihat seorang penjual gulali.     

"Ibu, Larisa mau itu," Larisa menunjuk ke arah gulali itu.     

"Iya, sudah sana,"     

Dan seperti orang yang kalap, Larisa langsung membeli gulali itu dan langsung memakannya di saat itu juga.     

Tak hanya itu, Larisa juga memborong beberapa jajanan pasar yang dulu menjadi makanan favoritnya.     

      

Karna saking lamanya, Ratih sampai selesai berbelanja dagangan dan menunggu Larisa di depan parkiran motor.     

"Larisa lama banget, sih, mana udah siang begini," keluh Ratih sambil mengusap-usap keringat di keningnya.     

      

Dan tak lama muncullah Larisa dari dalam pasar dan membawa sebuah tentengan.     

Ratih pun sampai kaget melihat Larisa membeli banyak sekali makanan.     

"Larisa, kamu beli makanan sebanyak ini buat apa?"     

"Bu...at di makan-lah, Bu."     

"Memangnya bakalan habis?"     

"Em... hehe," sambil menggaruk-garuk kepalanya.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.