Bullying And Bloody Letters

Rayuan Wijaya



Rayuan Wijaya

Dan tak lama muncullah Larisa dari dalam pasar dan membawa sebuah tentengan.     

Ratih pun sampai kaget melihat Larisa membeli banyak sekali makanan.     

"Larisa, kamu beli makanan sebanya ini buat apa?"     

"Bu...at di makanlah, Bu."     

"Memangnya bakalan habis?"     

"Em... hehe," sambil menggaruk-garuk kepalanya.     

Ratih sampai  menggeleng-menggelengkan kepalanya, karna heran melihat kelakuan ajaib anaknya.     

"Larisa, kamu kan sudah besar, terus kenapa kamu beli begituan?" Ratih melirik ke arah tangan kiri Larisa yang membawa sebuah sangkar kecil dan di dalamnya ada sebuah burung kecil jenis emprit yang sudah di cat warna merah muda.     

      

Seketika Larisa langsung menyembunyikan sangkar burung itu di belakang tubuhnya, dengan sedikit cengiran yang tak berdosa.     

"Larisa, Larisa, cek cek cek," Ratih menggelengkan kepalanya, "kamu ini ada-ada saja, sih,"     

"Hehe, maaf, Bu, tapi Larisa gemas pas lihat tadi, Larisa jadi teringat masa kecil Larisa, jadi Larisa beli aja deh, hehe,"     

"Ah, ya sudah deh, ayo pulang," ajak Ratih.     

"Iya, Bu."     

Akhirnya mereka berdua pun pulang dengan berboncengan motor tua peninggalan sang ayah.     

      

Dan sampai di depan rumahnya, mereka malah sudah di sambut oleh Alex.     

"Hay, Larisa," sapa Alex.     

"Hay, Alex. Tumben udah ke sini?"     

"Iya, mumpung belum pindah ke Kanada,"     

"Ah, iya deh,"     

"Ayo masuk ke dalam, Nak Alex," ajak Ratih yang menyela pembicaraan mereka.     

"Iya, Bu Ratih, terima kasih," sahut Alex.     

      

Dan setelah itu Alex dan Larisa pun berpisah dan mengobrol ke dalam rumah.     

"Larisa, hari ini aku ingin mengajakmu pergi,"     

"Hah, harus hari ini ya?"     

"Iya, kenapa? kamu sedang sibuk ya?"     

"Ya, aku sih, paling sibuk bantu Ibu jualan,"     

"Wah, iya ya, aku sampai lupa, sebenarnya, Mama yang ingin bertemu denganmu,"     

"Tante Rani, memangnya ada apa?"     

"Ya, mungkin sebagai salam perpisahan, jadi dia ingin mengajakmu makan siang bersama,"     

"Oh, sayang sekali, tapi aku kan kasihan dengan Ibu ku,"     

      

"Udah pergi aja, Ibu gak papa kok, jualan sendirian, lagian Ibu sudah terbiasa," ujar Ratih yang tiba-tiba muncul sambil membawakan minuman untuk Alex.     

"Tapi, Ibu gak—"     

"Udah gak papa, kamu datang saja, kasihan, Bu Rani,' kan ingin bertemu, nanti kalau sudah ke luar negeri kamu gak bisa ketemu Bu Rani lagi lo," tutur Ratih.     

      

Dan akhirnya Larisa pun mau menerima ajakan Alex, untuk menemui ibunya Alex.     

Sementara Ratih seperti biasa siang ini dia berjualan sendirian, dan mungkin sorenya nanti baru akan di bantu oleh Larisa sepulangnya dari rumah Alex.     

      

"Bu, Larisa berangkat dulu ya,"     

"Iya, hati-hati ya,"     

"Nanti, sore kalau Larisa sudah pulang, Larisa bantuin Ibu,"     

"Udah, gak usah mikirin itu, Ibu gak papa kok, kamu nikmati saja makan siangnya ya,"     

"Ya sudah kami pergi dulu ya, Bu Ratih," ucap Alex sambil mencium tangan Ratih.     

      

      

***     

Setelah berada di warung satenya, Ratih tampak mempersiapkan kembali dagangannya, siang itu memang masih terasa sepi, hanya satu atau dua orang saja yang datang.     

Tapi ketika hari semakin sore, pelanggan Ratih mulai membeludak, dan saat itu dia mulai kewalahan, sementara Larisa belum juga datang.     

      

"Bu bisa agak cepetan dikit enggak, soalnya saya sedang buru-buru nih!" ucap salah satu pelanggannya.     

"Iya, Bu, maaf sabar ya!" jawab Ratih sambil mengipas-ngipas satenya.     

'Aduh, gimana ini, mana pelanggan lagi rame banget, Larisa malah  belum pulang,' keluh Ratih di dalam hatinya.     

      

Kemudian muncul sebuah mobil mewah yang terparkir di hadapannya.     

Dan keluarlah, Wijaya dari dalam mobilnya.     

Lalu Wijaya langsung memasuki warung sate itu, dan dia melihat Larisa sedang tidak ada di dalamnya, sementara Ratih sedang sibuk melayani pelanggannya yang sampai berjubel.     

Dan perlahan dia menghampiri Ratih.     

"Ratih, apa perlu bantuan?" tanya Wijaya.     

"Enggak usah, Mas. Mendingan Mas pergi aja biar saya tidak terganggu," ucap Ratih.     

"Tapi—"     

"Pergi, Mas, saya bisa sendiri kok!" bentak Ratih.     

Akhirnya dengan ragu-ragu bercampur tidak tega melihat Ratih yang terus mengibas-ngibas satenya kewalahan itu pun, Wijaya memutuskan untuk pergi. Tapi langkahnya pelan-pelan, dan setelah dia baru melangkah sekitar beberapa langkah saja, tiba-tiba terdengar suara sesuatu yang jatuh.     

      

Glebuk!     

"Eh, Bu Ratih, jangan pingsan!"     

"Eh, tolongin dong!"     

"Iya tolong di angkat!"     

Suara gaduh orang-orang yang sedang panik itu pun membuat Wijaya menolehkan kembali kepalanya.     

Dan dia melihat Ratih sedang pingsan dan di kerumuni para pelanggannya.     

Seketika Wijaya langsung menghampirinya dan di bantu para pelanggannya, membopong Ratih masuk ke dalam mobilnya.     

Wijaya terpaksa membawa Ratih ke klinik terdekat.     

      

Setelah beberapa saat berlalu, Ratih pun mulai tersadar.     

"Loh, aku ada di mana?" ucap Ratih yang bingung.     

"Kamu sedang ada di klinik," jawab Wijaya.     

Ratih pun kaget karna di sampingnya ternyata sudah ada Wijaya.     

"Loh, Mas Wijaya! kenapa kamu ada di sini?!"     

"Tadi kamu pingsan, Ratih. Jadi aku terpaksa membawamu kemari."     

"Hah?" Ratih pun langsung terbangun sambil memijit-mijit keningnya yang terasa sedikit pusing.     

"Terus bagaimana dengan warungku?"     

"Tenang, tadi aku menyuruh sopir ku untuk mengurusnya, sampai Larisa pulang."     

"Hufft ...."     

"Tenang Ratih, aku sudah menghubungi Larisa, agar dia cepat pulang,"     

      

Wijaya terus mengoceh dan mengajak Ratih berbicara, tapi Ratih seolah tak menghiraukannya, dan hanya menjawab beberapa kata yang menurutnya penting saja.     

Sejujurnya Ratih merasa sedikit heran, dan ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Wijaya, karna dia sudah menolongnya dan membawanya sampai ke klinik ini.     

Tapi ada sedikit rasa gengsi dan sedikit rasa kesal ketika dia mengingat masa lalunya dengan Wijaya, sehingga dia merasa sedikit berat untuk mengatakan sebuah kata maaf.     

      

"Ratih, apa kepalamu sudah mendingan?"     

"Hemm." Jawab singkat Ratih.     

"Syukurlah, akun tadi sangat khawatir, karna kamu tiba-tiba pingsan, dan wajah mu sangatlah pucat. Dokter bilang kamu itu anemia, jadi saran saya agar kamu itu lebih menjaga kesehatanmu,"     

'Halah sok menasihatiku lagi,' batin Ratih.     

"Ratih, kenapa sejak tadi diam saja? apa sebesar itu rasa bencimu kepadaku, sampai kamu tidak pernah menganggap aku di sini?" tanya Wijaya dengan wajah yang memelas.     

Seketika Ratih melirik ke arah Wijaya dengan sinis.     

Seolah sebuah isyarat kata-kata tajam bak sebuah samurai akan segera menghantam Wijaya.     

"Mas, kamu sekarang sudah tahu, 'kan rasanya di abaikan, dan bagaimana kalau itu di lakukan setiap hari?" tanya Ratih dengan nada pelan tapi terkesan menohok.     

"Iya, Ratih aku tahu, dan aku menyesal sudah melakukan hal itu kepadamu, aku memang sangat bodoh sudah melakukan hal itu, maka dari itu aku sekarang ingin memperbaikinya,"     

"Memperbaikinya? maksudnya?"     

"Ya aku ingin, kita memulai semuanya dari awal, aku ingin menjadi Wijaya yang sangat baik dan peka kepada kalian, terutama kepada kamu, Ratih,"     

Ratih langsung terdiam dan seolah-olah tidak mendengarnya.     

"Ratih, apa kamu mau menjadi istriku lagi?" tanya Wijaya secara terang-terangan.     

Dan mata Ratih kembali terbuka lebar mendengarnya pertanyaan Wijaya yang sangat terang-terangan itu.     

"Aku tahu kesalahan ku sangatlah besar kepadamu, tapi aku berjanji akan memperbaiki semuanya, aku tidak akan lagi menjadi Wijaya yang dulu, aku ingin hidup bahagia dengan kalian dan aku ingin menjalani kehidupan nyata tanpa bayang-bayang wanita yang sudah meninggal,"     

"Tidak, Mas, aku tidak mau!" ketus Ratih.     

"Kamu boleh bicara begitu, karna kamu memang pantas untuk mengatakanya, tapi aku akan tetap terus berusaha sampai kamu menerima ajakan ku ini!" ucap Wijaya penuh percaya diri.     

      

Wijaya masih tak mau  menyerah dam terus merayu serta mengajak Ratih berbicara.     

Meski dalam wajahnya terasa sangat kesal dan terganggu oleh ucapan Wijaya yang terus mengoceh mengucapkan kata pamungkasnya.     

Tapi jauh dalam lubuk hatinya yang terdalam Ratih merasa bahagia.     

Karna seumur hidupnya baru kali ini dia melihat Wijaya, yang begitu banyak berbicara, apalagi sampai merayu dan memohon kepadanya.     

      

Bagi Ratih Wijaya sedang mendapatkan Karma terbesar dalam hidupnya.     

Karna dulu dia yang selalu mengabaikan Ratih, kini berbalik mengejar Ratih. Dulu Ratih yang harus bersabar karna cintanya bertepuk di sebelah tangan, kini Wijaya lah yang harus bersabar menghadapi Ratih yang sudah tidak lagi tertarik kepadanya.     

Dan tak lama Larisa dan Alex pun datang menghampiri mereka.     

"Ibu!" teriak Larisa dan langsung berlari menghampiri ibunya.     

"Ibu gak papa, 'kan?"     

Ratih menggelengkan kepalanya, "Tidak. Ibu baik-baik saja, Larisa."     

"Huh, untung saja ada Ayah, kalau tidak gimana jadinya coba?"     

"Huff ...," Ratih menghela nafas panjang dengan wajah kesal.     

"Maaf ya, Bu Ratih, gara-gara saya mengajak Larisa ke rumah saya, Bu Ratih jadi kecapean dan pingsan," ucap Alex.     

"Ah, tidak apa-apa, Nak Alex, Ibu tidak apa-apa kok,"     

"Yasudah mari kita pulang saja,"  ajak Larisa.     

"Iya, sebaiknya, Bu Ratih pulang dengan Pak Wijaya, karna lebih nyaman saat menaiki mobil di bandingkan naik motor, apalagi sedang sakit begini," tutur Alex.     

"Iya, benar, Ibu pulang dengan Ayah saja ya, saya dan Alex mengikuti dari belakang," imbuh Larisa.     

      

Tapi Ratih merasa keberatan dengan usul Larisa dan juga Alex itu.     

Tentu dia akan merasa tidak nyaman jika harus pulang bersama dengan Wijaya.     

"Saya pulang naik motor saja dengan, Nak Alex, biar Larisa yang pulang dengan Ayahnya," bantah Ratih.     

"Wah, tidak bisa begitu, Bu. Nanti saya malah takut terjadi apa-apa di jalan, Bu Ratih, 'kan masih lemah,"     

"Saya sudah sehat kok!" ucap Ratih dengan gaya sok kuat.     

"Udah Ibu, pulang dengan Ayah saja ya, biar aman,"     

 Ratih terus menolaknya tapi mereka terus memaksanya, agar mau pulang dengan Wijaya.     

Dan akhirnya dengan penuh perasaan terpaksa Ratih pun mau pulang satu mobil dengan Wijaya.     

      

"Butuh di gendong lagi tidak?" tanya Wijaya dengan nada agak bercanda.     

Sementara Ratih melihat tubuh Wijaya yang kurus itu dari atas ke bawah.     

"Memangnya Mas Wijaya, kuat gendong saya?"     

      

'Jlep'     

Wijaya langsung terdiam mematung.     

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.