Bullying And Bloody Letters

Pantang Menyerah



Pantang Menyerah

0Masih tentang Wijaya dan Ratih, yang saat ini sedang pulang bersama dalam satu mobil.     
0

Sepanjang perjalanannya, Ratih terus terdiam sambil memanyunkan wajahnya.     

"Ratih mohon maaf, bisa tidak kalau tersenyum sedikit saja," ledek Wijaya.     

Kemudian Ratih menoleh ke arah Wijaya, dengan pandangan yang sama sekali sungguh tidak enak untuk di lihat.     

Seketika Wijaya langsung menunduk sesaat dan berfokus ke arah setir mobilnya.     

Wijaya mulai merasa sedikit tidak enak, karna firasatnya sebentar lagi Ratih akan mengeluarkan ucapan yang menohok lagi.     

      

"Kamu ingin aku tersenyum, Mas?"     

"I-iya," Wijaya seketika menunduk lagi,"     

"Baru berada di dalam mobil 10 menit dengan orang tanpa senyum saja tidak enak, bagaimana kalau hal itu kamu rasakan setiap hari selama bertahun-tahun?"     

'Jlep' kembali perasaan Wijaya seakan tertusuk.     

Lagi-lagi Ratih selalu mengungkit masa lalunya, dan itu terasa sangatlah menyayat hatinya.     

Entah bagaimana caranya agar dia bisa meluluhkan hati Ratih yang sudah terlanjur membeku.     

Padahal dulu Ratih adalah sosok yang sangat lembut dan baik hati.     

Dulu Ratih selalu ada untuknya, menjaga dan mengurusnya tanpa pamrih.     

Dia yang selalu menyiapkan sarapannya, dia yang selalu menyiapkan baju kantornya  dan dia juga yang sudah mempertaruhkan nyawanya, melahirkan Larisa, putri semata wayangnya.     

      

Entah sampai kapan Wijaya akan terus di hantui rasa bersalahnya itu, meski semua karna dia yang tak bisa melupakan Larasati, tapi berkat Larasati lah yang mendorongnya untuk kembali dengan Ratih.     

      

'Yah, aku tidak boleh menyerah, dan aku akan terus mendapatkan Ratih kembali, agar aku bisa menebus segala kesalahanku dulu.' Batin Wijaya.     

"Ratih, mau sampai kapan kamu akan membenciku?"     

Ratih hanya memandang sesaat wajah Wijaya, lalu dia kembali menunduk dan cemberut lagi.     

"Ratih, meski pun sekarang kamu acuh kepadaku, tapi aku tidak akan pernah menyerah untuk merebut hatimu. Karna dengan hatimu kembali untukku, maka tepat saat itu juga aku akan mulai menebus kesalahanku dulu. Dengan cara membuat hidup kalian bahagia." Tutur Wijaya.     

      

Sedikit terenyuh hati Ratih, dia merasa terharu dengan ucapan Wijaya itu.     

'Apa benar yang di ucapkan oleh Mas Wijaya itu?' batin Ratih.     

Tapi meski hatinya sedikit tersentuh, tapi dia tidak mau memperlihatkan perasaannya itu.     

Dia tidak mau Wijaya menjadi besar kepala. Akhirnya dia memilih terdiam dan masih teguh dengan ekspresi sinisnya.     

      

Dan tak terasa mobil Wijaya pun sudah berhenti tepat di depan rumahnya Ratih.     

"Sudah sampai Ratih, apa kamu butuh bantuan untuk turun?" tanya Wijaya masih dengan kesabarannya.     

"Sejak aku memasuki mobil mu, memangnya aku butuh bantuan mu?!" ketus Ratih.     

"Iya, Ratih, maaf ya," Wijaya menunduk.     

      

Dan tak lama di belakang mereka muncul  Alex dan Larisa yang tengah berboncengan motornya.     

"Ayah, ayo mampir dulu, biar Larisa buatkan teh hangat," ucap Larisa.     

"Ah, tidak usah, Larisa. Ayah langsung pulang saja, lagi pula ini sudah malam."     

"Pak Wijaya, apa ingin saya antarkan, karna saat ini Pak Wijaya sedang menyetir mobil sendirian, saya takut terjadi apa-apa!" ucap Alex.     

"Ah, tidak usah, saya bisa pulang sendiri kok, tidak apa-apa," jawab Wijaya.     

"Pak Wijaya, yakin tidak apa-apa pulang sendirian?"     

"Tidak, Alex, tidak apa-apa!" tegas Wijaya.     

Lalu dia kembali masuk kedalam mobilnya dan sesaat melambaikan tangannya ke arah Alex, Larisa dan Ratih. Mereka semua juga turut melambaikan tangannya, sambil tersenyum dan mengatakan 'hati-hati'     

Kecuali Ratih yang malah tampak terdiam dan seolah tak merespon kepergian Wijaya  dan dia seakan-akan sedang tidak melihatnya.     

      

      

Wijaya pun pulang dengan bayangan wajah Ratih yang cemberut dan juga sinis itu mengiringi di sepanjang perjalanannya.     

      

"Kenapa perasaan normalku ini baru muncul sekarang, dan di saat Ratih sudah tidak mau lagi melihatku," gumam Wijaya.     

Lalu muncullah Larasati di sampingnya.     

"Wijaya, kamu harus berjuang ya," ucapnya.     

Dan Wijaya pun menjadi kaget karna tiba-tiba saja Larasati muncul di sampingnya.     

"Lara, kamu itu mengagetkan saja!" bentak Wijaya yang reflect.     

"Aku di bentak ya?" Larasati tampak bersedih.     

"Ah, maaf Lara, aku tidak sengaja membentakmu," Wijaya tampak menyesal.     

Lalu  perlahan Larasati pun tersenyum kepada Wijaya.     

"Iya, Wijaya aku tidak marah,"     

Wijaya pun juga turut tersenyum mendengar ucapan Larasati itu.     

"Lara, kamu datang lagi ... aku pikir setelah malam itu kamu tidak akan menemuiku lagi,"     

Larasati menggenggam tangan Wijaya, "Aku akan benar-benar pergi setelah urusanku benar-benar selesai," ucapnya.     

"Urusan? urusan apa?" tanya Wijaya yang kebingungan.     

 "Urusan tentang mu,"     

"Aku?" Wijaya menunjuk ke arah dirinya sendiri.     

"Iya,"     

"Ada apa dengan diriku?"     

"Kamu belum bahagia, Wijaya,"     

"Huuft  ...." dengus Wijaya.     

"Yah, aku harus bagaimana lagi? kalau aku boleh memilih, aku ingin terap bersamamu, dan pergi saja meninggalkan dunia ini. Tapi kamu bilang itu tidak biasa, dan kamu malah ingin aku tetap hidup di sini dan kembali bersama Ratih,"     

"Memang itu yang aku mau, Wijaya, karna hanya dengan Ratih lah aku mempercayakan kebahagiaanmu,"     

"Dari mana kau tahu itu? sedang kan kamu sendiri tidak pernah merasakan bahagia?"     

"Kata siapa aku tidak bahagia? aku bahagia kok,"     

"Bahagia? bahagia yang bagaimana?"     

"Kamu bisa lihat, aku di sini tersenyum bersamamu, itu artinya aku bahagia,"     

"Tidak. Kamu hanya pura-pura bahagia saja, Lara,"     

"Sungguh aku bahagia, Jaya," Larasati kembali menggenggam tangan Wijaya, "hanya saja bahagiaku belum lengkap, jika kamu juga tidak bahagia,"     

Wijaya seketika menoleh menatap wajah Larasati.     

"Belum lengkap karna apa?"     

"Karna kamu belum bahagia dengan Ratih, jadi aku mohon kejar dia dan jangan sampai dia terlepas lagi,"     

Senyuman itu kembali terukir di wajah Wijaya.     

"Terima kasih Lara, kamu masih saja perhatian dengan ku, dan berkat ucapanmu itu, kini aku benar-benar yakin jika aku pun juga berhak untuk bahagia, dan Ratih pun juga begitu, maka aku akan mengejarnya dan membuat keluarga kecil ku kembali lagi dan hidup bahagia."     

"Nah, seperti itulah, Wijaya yang aku kenal,"     

"Terima kasih, Lara."     

Sambil menyetir mobilnya satu tangan Wijaya menggenggam tangan Larasati.     

      

Perjalanan malam itu terasa sangat menyenangkan bagi Wijaya, dengan kehadiran Larasati di sampingnya.     

      

Larasati bisa hadir dan berbicara dengan jelas tanpa jarak hanya saat bersama Wijaya     

Walau dia selalu membantu Larisa, tapi dia tidak bisa berbicara langsung seperti saat bersama Wijaya, seperti ada sebuah tembok yang menghalanginya, sehingga dia hanya bisa menulis segalanya lewat surat saja.     

      

      

Dan tak terasa mereka pun sampai di rumah Wijaya, dan tepat saat itu juga Larasati menghilang.     

Wijaya yang hendak turun dari atas mobil dan melihat di sampingnya, Larasati sudah tidak ada, tentu membuatnya sedikit kecewa.     

Tapi mau bagaimana lagi, memang ini yang selalu terjadi.     

      

"Nasib-nasib punya kekasih hantu," gumam Wijaya.     

"Ada apa, Pak?" tanya Juki Scurity rumahnya yang menyambut kedatangannya.     

"Eh, enggak kok," jawab Wijaya     

"Bapak tidak apa-apa 'kan?" tanya Juki yang sedikit khawatir.     

"Enggak, saya gak apa-apa kok, ni malah tambah sehat," tukas Wijaya sok kuat.     

"Hah, syukurlah," Juki mengelus dadanya, "saya sangat khawatir dengan  Bapak. Apa lagi Tarso bilang Pak Wijaya pulang sendirian,"     

      

"Owh, iya, tadi Tarso saya suruh urus warung dulu, dan setelah selesai saya suruh pulang saja, makanya saya pulang sendirian." Tutur Wijaya menjelaskan.     

      

"Owh, begitu, tapi mohon maaf ya, Pak Wijaya, seharusnya Bapak, tidak boleh seperti itu, harusnya Bapak pulang dengan Tarso saja, kalau seperti ini kan berbahaya,"     

"Tidak apa-apa, Juki." Wijaya menepuk-nepuk pelan punggung Juki, "yasudah saya masuk dulu ya,"     

"Iya, Pak,"     

Juki memandang langkah Wijaya yang mulai memasuki rumah itu, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, "Di bilanginnya susah banget," keluhnya.     

      

***     

      

Esok harinya, Larisa terpaksa belanja ke pasar sendirian, karna sang ibu sedang sakit. Dan siang nanti pun dia juga akan berjualan sendirian.     

Larisa tetap memaksakan diri untuk berjualan walaupun hanya sendiri, tapi tentu saja, jumlah dagangan hari ini di kurangi olehnya, karna dia tidak mau pulang terlalu malam. Apa lagi sang ibu sedang sakit.     

 Dengan motor tua peninggalan Adi sang ayah, Larisa melaju dengan kecepatan sedang menuju pasar.     

"Duh, beli ayam dulu atau bumbu dulu ya?" Larisa tampak bingung sambil menggaruk-garuk kepalanya.     

Dia belum terbiasa belanja ke pasar sendirian.     

Dan pandangannya malah kembali tertuju ke arah tukang gulali yang kemarin dia beli itu.     

"Gulali," matanya terperangai dan kakinya mulai akan melangkah mendekat, tapi tiba-tiba dia teringat dengan tujuan awalnya datang kemari.     

"Ow iya, aku kan harus belanja dulu,"     

Seketika Larisa menghentikan dan memutar bakik langkahnya.     

Dengan menahan air liur saat melihat jajanan favoritnya itu  Larisa memantapkan hatinya untuk kembali berbelanja dagangan satenya.     

      

Dan setelah semua bahan sudah di dapat, barulah Larasati menghampiri tukang gulali itu, dia membeli beberapa gulali untuk di bawa pulang, sebagian sudah ia makan sambil berjalan sebagian lagi dia masukkan dalam kantong keresek untuk nanti.     

      

Untung Larisa sudah tidak kalap lagi seperti kemarin.     

Dan dia pulang dengan belanjaan seperlunya tidak seperti kemarin yang sampai memborong jajanan pasar dan pada akhirnya dia tidak sempat menghabiskannya.     

      

Sesampai di parkiran pasar, tiba-tiba Alex sudah tersenyum menyambutnya.     

"Loh, Alex, kok kamu ada di sini sih?" tanya Larisa yang kaget.     

"Ya, kan aku pengen lihat pacarku lagi berbelanja,"     

"Ah, kurang kerjaan banget,"     

"Ya, enggak dong. Justru hari ini aku akan bekerja membantumu berjualan," ujar Alex.     

"Benarkan?"     

"Iya,"     

"Tapi, cepek lo jualan sate, udah gitu kamu harus panas-panasan ngipasin sate, belum lagi badan kamu bakalan bau sangit lo,"     

"Gak masalah tuh,"     

"Lebih, capek dari main basket loh,"     

"Gak maslah, kan aku kuat!" ucap Alex penuh percaya diri.     

"Huufft... Ok kalau gitu, mari kita lihat, kamu bisa atau tidak jualan sate,"     

"Ok, siapa takut,"     

Lalu Larisa pun pulang dan di belakang Alex mengikutinya dengan motornya.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.