Bullying And Bloody Letters

Memaafkan



Memaafkan

0Meski merasa senang mendengar kata Larisa bahwa Ratih sangat panik saat dirinya pingsan tadi, tapi Wijaya kembali harus gigit jari karna Ratih kembali mengabaikannya lagi.     
0

      

"Yang sabar ya, Yah. Ayah pasti bisa, Ayah 'kan pantang menyerah," lirih Larisa.     

"Iya, Larisa, makasi ya atas dukungannya."     

"Sip, Ayah, ayo semangat! Ayah pasti bisa! go Ayah! go Ayah go!" teriak Larisa memberikan yel-yel penyemangat kepada Wijaya.     

"Ssst, jangan berisik nanti, Ibu kamu tambah ngambek," bisik Wijaya.     

"Ow, iya ya," Larisa menutup mulutnya sendiri.     

"Yasudah Ayah pulang dulu ya,"     

"Iya, Yah. Hati-hati ya,"     

"Iya, jangan lupa, bantu Ayah bujuk Ibu ya,"     

"Siap, Yah,"     

"Ok,"     

"Semangat, Yah,"  dengan nada berbisik.     

"Siap," jawab Wijaya dengan nada yang berbisik juga.     

 Dan Wijaya pun akhirnya pulang, dari warung Larisa.     

      

      

Dan baru saja Wijaya pergi, sekarang gantian Alex datang menyambangi warung Larisa.     

"Hay, Larisa," sapa Alex.     

"Eh, Alex,"     

"Gimana dagangan hari ini?"     

"Lumayan, seperti biasanya,"     

"Syukurlah, memang sate dagangan kamu itu yang paling enak,"     

"Wah, terima kasih, Alex."     

"Oh, iya, Mama tadi pesan sate kamu dua  porsi, jangan lupa di buatkan ya,"     

"Ok, siap, Tuan Alex," sambil formasi hormat.     

"Huh dasar," Alex mengacak-acak rambut Larisa.     

      

Sambil menunggu Larisa melayani para pelanggannya, Alex pun duduk sambil main game lewat ponselnya.     

"Hay, Nak Alex, sudah lama?" sapa Ratih.     

"Ah, baru saja, Bu Ratih,"     

"Mau minum apa? biar Ibu buatkan,"     

"Gak, usah deh, Bu Ratih, nanti kalau haus saya buat sendiri."     

"Ow, yasudah kalau begitu. Ibu ke belakang dulu ya,"     

"Iya Bu."     

Alex masih asyik dengan ponselnya. Lalu  Larisa pun datang menghampirinya.     

"Ini, udah jadi satenya," ucap Larisa.     

"Wah, terima kasih,"     

"Iya, kamu mau langsung pulang,?"     

"Nanti ah, masih panas,"     

"Aku buatin es teh ya?"     

"Ah, gak usah, aku pengen ngobrol sebentar mumpung pelanggannya lagi sepi sekarang," ucap Alex.     

"Oh, boleh, silakan mau bicara apa, Alex?"     

"Aku tadi tidak sengaja bertemu dengan Bu Tyas di jalanan.     

"Terus?"     

"Dia mengundang kita buat acara doa bersama di Superior High School."     

"Doa bersama? dalam rangka apa?"     

"Bu Tyas bilang untuk mengenang Larasati, lagi pula tepat di hari itu, adalah hari ulang tahun Larasati," jelas Alex.     

"Oww, begitu ya, kapan?"     

"Minggu depan, Larisa,"     

"Dan minggu depan kamu juga akan berangkat ke Kanada ya?"     

Alex terdiam sesaat, dia seolah bingung harus bicara apa.     

Kembali sekilas dia melihat wajah bersedih dari Larisa.     

Sungguh dia benar-benar tak tega melihatnya.     

Lalu Larisa memegang tangan Alex, "Sudah jangan bersedih, aku tidak apa-apa kok," ucap Larisa yang sok kuat.     

Dia mulai mengembangkan senyuman di depan Alex, seperti apa yang dia janjikan waktu itu, bahwa dia akan baik-baik saja.     

"Aku sudah gak sedih lagi, kok, Lex. Jadi kamu jangan sedih lagi ya," ucapnya menghibur Alex.     

Alex merasa sangat terharu, karna Larisa mengatakan hal itu.     

Dia tahu sebenarnya Larisa juga bersedih akan berpisah, tapi Larisa terus menutupinya, agar Alex tidak lagi menghawatirkannya.     

"Larisa,"     

"Iya,"     

"Aku benar-benar bangga,"     

"Terima kasih,"     

Alex kembali tersenyum, "Kamu adalah wanita hebat, aku percaya itu. Dan aku yakin, jika Tuhan menakdirkan kita bersama, suatu saat nanti kita akan bertemu lagi."     

"Iya, Alex. Aku harap begitu."     

"Ok, yasudah, aku pulang dulu ya. Kasihan Mama sudah menungguku pulang,"     

"Iya, Alex. Hati-hati ya," masih dengan senyuman.     

      

Setelah itu Alex pun pulang, dan Larisa melihat dari kejauhan langkah Alex yang semakin menjauh hingga dia menaiki mobilnya.     

"Aku pasti akan selalu merindukanmu, Alex." Ucap Larisa.     

Tak sadar air mata itu mengalir begitu saja, tapi Larisa segera menyekanya, karna dia tidak mau kalau sampai sang ibu mengetahui dirinya yang sedang menangis.     

      

"Loh, Nak Alex, sudah pulang ya?" tanya Ratih yang tiba-tiba muncul.     

"Iya, baru saja Bu."     

"Oww,"     

"Yasudah, Bu. Larisa cuci piring dulu ya,"     

"Iya,"     

'Pasti dia habis menangis lagi,' batin Ratih.     

      

***     

      

Tak terasa hari yang di tunggu pun telah tiba, yaitu acara doa bersama yang di lakukan di Superior High School.     

Acara doa itu terlihat sangat ramai, ada beberapa tokoh agama yang sengaja di undang oleh Tyas dan pihak sekolah.     

Tampak Wijaya dan Seruni juga hadir dalam acara itu.     

Lagi-lagi Seruni mendapat keringanan dan izin untuk menghadiri acara tersebut.     

      

Bahkan beberapa anak alumni Superior High School pun juga turut hadir. Seperti Audrey dan kedua sahabat Larisa yaitu Cindy dan Nathasya.     

Bahkan Ratih juga hadir menemani Larisa, sementara Alex juga hadir bersama Rani sang Ibu.     

Mereka semua berkumpul di tempat itu.     

Dan doa sudah hampiri di mulai, namun mereka masih menunggu kedatangan Bu Salamah dan Sari putri angkatnya. Yang saat ini tengah di jemput oleh Tyas.     

Dalam keadaan yang ramai itu sekilas, Seruni menatap ke arah Wijaya, yang saat ini sedang duduk dan tampak sedang melamun.     

Sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan Wijaya, sejak dia dan Wijaya gagal menikah dulu.     

      

Seruni sangat lah menyesal, andai saja waktu itu dia tidak membunuh Larasati hanya karna dia yang tergila-gila dengan Wijaya. Mungkin hubungan Wijaya dengannya saat ini akan baik-baik saja. Walau hanya sekedar menjadi teman. Karna dia sekarang sadar jika Wijaya memang tidak di takdirkan berjodoh dengannya.     

Tapi jika dia tidak memaksakan kehendak dan egonya. Setidaknya dia akan hidup tenang tanpa beban.     

Sekarang hidupnya sudah hancur, semua karna ulahnya sendiri, dan saat ini dia sedang memperbaikinya secara perlahan.     

      

Seruni masih menatapnya dengan penuh penyesalan.     

Dia mulai berjalan perlahan dan hendak menghampiri Wijaya, dia ingin meminta maaf kepadanya.     

Tapi tepat saat itu juga Ratih pun datang, dan melihat hal itu Wijaya pun tak mau menyia-nyiakan kesempatannya.     

Wijaya langsung menghampiri Ratih dan Larisa.     

Tentu hal itu juga membuat Seruni menghentikan langkahnya untuk menghampiri Wijaya.     

'Siapa dia? apa dia mantan istrinya Wijaya? tapi kenapa dia datang bersama Larisa?' batin Seruni mulai bertanya-bertanya.     

Ingin rasanya Seruni mendekat kearah Wijaya dan menanyakan siapa Wanita itu, dan apa hubungannya dengan Larisa.     

Tapi itu semua bukan lagi urusannya.     

Dan dia tidak mau Wijaya akan semakin membenci dirinya.     

"Mami, kenapa?" tanya Audrey yang mulai bingung dengan gelagat ibunya.     

Lalu Audrey pun turut memandang apa yang sedang di lihat oleh Seruni. Dan di sana dia melihat ada Wijaya, Ratih dan juga Larisa.     

Seketika Audrey tahu apa yang menyebabkan Ibunya menjadi murung.     

Dan terlihat jelas jika ibunya sangat penasaran dengan Ratih.     

"Mami, ingin mendekati pak Wijaya ya?"     

"Iya,"     

"Apa perlu Audrey antarkan ke sana?"     

"Tidak usah Audrey, Mami tidak mau mengganggu mereka, hanya Mami sedikit penasaran dengan siapa Wanita itu dan mengapa bisa bersama Larisa?"     

"Oh, soal itu, maaf ya Mi, Audrey belum sempat bercerita soal ini, jadi sebenarnya kalau Larisa itu adalah anak kandung dari Pak Wijaya,"     

"Apa?!"     

"Iya, benar. Pak Wijaya dulunya adalah istri sah dari Bu Ratih, tapi karna suatu hal mereka bercerai dan Bu Ratih menikah lagi,"     

"Ja-jadi benar ya, kalau Wanita itu adalah mantan istri dari Wijaya?"     

"Iya, benar, Mi. Jadi Pak Wijaya menikah setelah beliau gagal menikah dengan, Mami,"     

"Hufft... jadi begitu ya,"     

"Apa perlu Audrey berbicara kepada Pak Wijaya, agar beliau bisa berbicara dengan Mami?"     

"Jangan Larisa, Ibu takut, jika Wijaya akan marah kembali dengan Ibu,"     

"Tenang saja, pasti enggak kok,"     

"Jangan,"     

"Sudah Ibu tenang saja," Audrey pun hendak berjalan menghampiri Wijaya, tapi Seruni menarik tangan Audrey, dan berharap agar dia tidak jadi menghampiri Wijaya.     

"Kenapa, enggak boleh?"     

"Mami, belum siap,"     

"Mi," Audrey menggenggam tangan sang Ibu, "gak papa, Mi. Bicara saja dengan pak Wijaya, katakan apa yang ingin Mami katakan, biar Mami menjadi lega,"     

"Tapi Mami takut, Audrey,"     

"Jangan takut, Mi. Tidak apa-apa, lagi pula ini adalah kesempatan Mami, untuk bicara, kalau tidak kapan lagi Mami akan berbicara?"     

Sejenak Seruni terdiam, dan apa yang di ucapkan oleh Audrey itu memang ada benarnya.     

Ini adalah kesempatannya untuk kembali meminta maaf kepada Wijaya, karna hari-hari esok belum tentu dia akan bisa melakukannya.     

Dia harus kembali ke penjara, sementara Wijaya juga sudah pasti tidak akan mungkin untuk menemuinya di lapas.     

"Bagaimana, Mi? apa Mami mau berbicara sekarang?"     

Dan Seruni pun menganggukkan kepalanya.     

"Baiklah kalau begitu, sini ikut Audrey." Audrey pun menarik tangan sanga ibu.     

Dan mengajaknya mendekat ke arah Wijaya dan yang lainnya.     

      

"Ehem," Dehem Audrey, yang mengalihkan pandangan mereka kearahnya.     

"Iya, ada apa Aud ... dry,"     

Seketika Wijaya langsung terperangai melihat sosok wanita yang ada di sampingnya.     

"Seruni," tukas Wijaya.     

"Iya, Wijaya,"     

"Kamu mau apa?"     

"Aku, hik ...." Seruni tak bisa lagi membendung air matanya, "aku minta maaf, Wijaya, untuk ke sekian kalinya, aku minta maaf Wijaya," tukas Seruni.     

Wijaya pun mematung mendengarnya.     

Kalau di pikir, perbuatan Seruni dulu itu, baginya sudah pasti tidak akan pernah termaafkan.     

Tapi melihat Seruni yang sekarang sangatlah berbeda.     

Dia benar-benar sudah bertobat, bahkan sampai rela memenjarakan dirinya sendiri.     

"Wijaya, aku mohon maafkan aku kali ini, aku tidak akan lagi mengejarmu seperti dulu. Aku hanya ingin kamu memaafkan aku. Aku ingin hidup tenang, aku sudah cukup mendapatkan karma ku,"     

Dan Wijaya pun akhirnya mau memaafkan Seruni. Karna dia sadar, bahwa tidak ada gunanya akan terus begini. Kebencian malah akan membuat jiwanya terasa kotor. Dia butuh ketenangan, apa lagi Seruni sudah bersungguh-sungguh seperti ini.     

      

"Iya, Seruni, aku sudah memaafkanmu, sekarang tidak ada lagi permusuhan di antara kita," ucap Wijaya.     

"Benarkah, Wijaya?!"     

"Iya, Seruni,"     

Seruni pun langsung memeluk Wijaya karna saking bahagianya.     

"Terima kasih, Wijaya, terima kasih,"     

Seruni sangat bahagia mendengar bahwa Wijaya sudah memaafkannya.     

      

Lain halnya dengan Ratih, entah mengapa saat melihat Wijaya yang sedang berpelukan dengan Wanita lain membuatnya merasa sesak.     

Dan karna sudah tak tahan melihatnya, Ratih pun langsung menjauh dari mereka berdua.     

      

"Loh, Ibu mau ke mana?" tanya Larisa.     

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.