Bullying And Bloody Letters

Tidak Ada Gunanya Saling Membenci



Tidak Ada Gunanya Saling Membenci

0Di siang hari yang begitu terik, sinar matahari siang ini seakan memancarkan kekuatannya dengan penuh.     
0

 Alex dan Larisa mulai membuka warung satenya.     

Baru saja buka dan baru melayani satu orang pelanggan saja, keringat Alex sudah bercucuran deras.     

"Cape, Lex?" tanya Larisa.     

"Ah, enggak," jawab Alex.     

"Yakin?"     

"Iya!" sok kuat.     

"Sini, biara aku yang gantiin,"     

"Ah, jangan, baru juga satu pelanggan," ucap Alex.     

Larisa terdiam mematung dan menahan untuk tidak mengatakan apa pun, padahal dia sudah tidak tahan lagi melihat Alex yang sejak tadi tidak selesai-selesai mematangkan satu porsi sate.     

      

Sementara, dia melihat di depan warungnya, sudah ada satu pelanggan lagi yang bertambah.     

"Mbak! satenya masih lama ya?!" teriak pelanggannya yang sejak tadi sudah menunggu.     

"Alex, aku aja ya yang gantiin," tukas Larisa dengan pelan, agar Alex tidak tersinggung.     

"Tapi tanggung, Larisa," Alex menaikkan kecepatan kipas satenya, dan berharap dengan begitu satenya akan segera matang.     

Tapi sayangnya malah kejadian tak terduka terjadi.     

Tak sengaja, kipas Alex malah menyabet sate yang sedang di orang itu. Dan si sate pun akhirnya terjatuh.     

"Yah ... jatuh ...." Ucap Alex dengan wajah kecewa.     

Dan Larisa pun langsung melotot ke arah sate dan juga ke arah Alex.     

Dia hampir marah kepada Alex, tapi dia mengurungkan niatnya itu, karna dia tidak tega melihat wajah Alex yang memelas dan juga kelelahan itu,     

"Emm ...." Tersenyum terpaksa, "kamu udah dulu ya, biar aku aja yang bikin satenya, kamu bantuin bungkusin sate aja ya," ucap Larisa dengan suara sabar yang terpaksa.     

Dan Alex pun akhirnya mengiyakan ucapan Larisa karna dia tidak mau keberadaannya di sini bukannya membantu Larisa tapi malah mengacaukan usaha Larisa.     

Meski jauh di dalam hatinya dia merasa sangat gengsi karna tadi dia sudah percaya diri bahwa dia bisa berjualan dengan baik.     

Tapi nyatanya, jualan sate tidak semudah yang dia bayangkan.     

Dan melihat Larisa yang sangat lihat mengipas sate-satenya membuat Alex semakin kagum.     

"Huh, calon istri idaman," gumamnya.     

Tak sadar Alex pun sampai tersenyum melihat Larisa.     

Dan dari depan warung terdengar suara memanggil mereka berdua.     

"Larisa! Alex!"     

Suara cempreng Cindy membuatnya langsung menengok untuk melihatnya.     

Dan Cindy datang bersama Nathasya.     

"Alex, kamu bantuin Larisa jualan ya?" tanya Cindy.     

"Iya," jawab Alex.     

"Aduh, kalian so sweet banget, sih!" imbuh Natashya dengan wajah gemasnya.     

"Duh, kapan aku nemuin cowok kayak kamu ya," ucap Nathasya.     

"Iya, Cindy juga mau dong kayak kalian, Cindy udah bosan jadi jomblo,"     

"Ugh sabar ya Cindy kamu gak sendiri kok, kita senasip," Nathasya dan Cindy pun saling berpelukan sementara, Alex hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah dua bocah yang sedang meratapi nasibnya ini.     

      

Akhirnya kedatangan Cindy dan Nathasya pun tidak sia-sia karna akhirnya mereka membantu Larisa dan Alex berjualan sate.     

Dan seperti biasa, hari ini pun pelanggan sate Larisa pun lumayan banyak, karna sate jualan Larisa terkenal sangat enak.     

      

Lalu setelah hari sudah hampir sore Larisa langsung menutup warungnya.     

"Maaf, Ibu-ibu, satenya sudah habis," ucap Larisa.     

"Yah!" keluh para pengunjung itu.     

      

Lalu Cindy pun menghampiri Larisa, "Kan, dagangannya masih, kok sudah tutup sih?"     

"Yang ini, kita makan sendiri saja, kalian pasti lapar, 'kan?" tanya balik Larisa.     

"Ah, iya juga sih," Cindy menggaruk-garuk kepalanya.     

"Yes  makan sate!" Nathasya tampak girang.     

"Sejak tadi aku mencium aromanya, tapi belum sempat memakannya, karna pengunjung warung Larisa terlalu ramai,"     

"Iya, Thasya, aku juga sejak tadi sudah menelan ludah, kalau di lihat para pelanggan yang ramai, pasti sate jualan Larisa ini sangat enak," imbuh Cindy.     

"Iya, dong, pastinya!" imbuh Alex.     

      

Dan mereka bertiga pun asyik memakan sate bikinan Larisa di warung yang sudah tutup.     

Mereka menutup bagian depan warungnya, agar tidak ada lagi pelanggan yang datang dan menanyakan satenya.     

Karna memang satenya sudah habis dan tinggal sisa yang sudah mereka makan.     

"Wah, gila! ini enak banget sih," puji Cindy.     

"Iya, ampun... pantesan pelanggan Larisa ramai banget." tambah Nathasya.     

"Kan, aku udah bilang," imbuh Alex     

"Iya, usah kalau begitu, habiskan ya," ujar Larisa.     

"Baik, Bos! siap!" ujar Cindy bersemangat.     

      

***     

Esok harinya,  Tyas mendatangi rumah Bu Salamah.     

Dia ingin menengok keadaan, ibu dari mendiang sahabatnya itu.     

      

Tok tok tok!     

      

Ceklek!     

"Eh, Nak Tyas," sapa Bu Salamah dengan senyuman hangatnya.     

Tyas pun juga menyambut senyuman Bu Salamah itu dengan senyuman yang tak kalah hangat. Tak lupa Tyas juga mencium tangan wanita tua itu.     

"Bagaimana keadaan, Ibu?" tanya Tyas,     

"Ibu, baik-baik saja, Nak Tyas,"     

"Syukurlah, saya senang mendengarnya, apa lagi, Bu Salamah terlihat sangat semeringah dan ceria begini,"     

"Hehe, iya, Nak Tyas, yasudah ayo kita masuk saja," ajak Bu Salamah.     

"Ah, iya, Bu, mari,"     

      

Mereka pun duduk dan mengobrol bersama, lalu muncullah Sari sambil membawakan nampan berisi teh manis hangat.     

"Owh, iya, Nak Tyas, kenalkan ini, Sari. Anak saya," tutur Bu Salamah sambil menggenggam tangan Sari penuh bangga.     

Tyas pun  sedikit kaget, karna dia tahu betul jika Sari adalah orang yang di kirim oleh Seruni untuk membantu Bu Salamah.     

Meski dia tidak mengenalnya, tapi Tyas paham betul karna sekilas dia pernah melihat Sari, hanya saja belum sempat berkenalan dengannya.     

"Kamu bukanya—"     

"Iya, Nak Tyas, dia yang di kirimkan oleh Nak Seruni, untuk membantu saya, tapi saya sudah menganggap Sari sebagai anak kandung saya sendiri," tutur Bu Salamah, sambil melirik kearah Sari.     

Sari pun tersenyum, tapi dia menundukkan kepalanya, dia takut jika Tyas tidak menyukainya.     

      

Dan perlahan-lahan Bu Salamah pun menjelaskan apa yang sudah terjadi. Dan bagaimana beliau bisa mengangkat Sari sebagai anak.     

Dan baru saja Tyas turut bahagia mendengarkan.     

Apa lagi dalam pandangan Tyas, Sari asalah sosok yang terlihat lugu dan sangat baik.     

Apalagi sikapnya yang polos dan lembut, membuatnya yakin, jika Sari benar-benar tulus menyayangi Bu Salamah layaknya seorang ibu kandung.     

      

"Aku turut bahagia mendengar Bu Salamah, dan juga Sari, bisa akrab begini,  akhirnya saya bisa bernafas lega, Bu Salamah sudah tidak lagi sendirian," ucap Tyas.     

      

Tentu ucapan Tyas itu membuat hati Sari juga merasa lega. Karna terlihat Tyas tidak keberatan dengan hubungannya dan Bu Salamah.     

Karna melihatinya yang terlalu akrab dengan Bu Salamah. Tentu sebagian orang akan beranggapan buruk kepadanya, apalagi, Bu Salamah sekarang hidupnya sudah terjamin, bahkan ada beberapa aset yang di berikan khusus dari Seruni kepadanya.     

Tentu hal itu bisa saja, menganggap dia hanya berpura-pura baik kepada Bu Salamah hanya untuk mendapatkan harta warisannya.     

      

Tapi ternyata dugaannya salah, karna Tyas sangat setuju, dan bahkan walau baru pertama berkenalan, Tyas sudah mempercayainya  bahwa dia benar-benar tulus menyayangi Bu Salamah.     

      

"Terima kasih, Bu Tyas, karna sudah mempercayai saya, dan saya berjanji sekuat tenaga saya, akan menjaga Bu Salamah. Karna saya benar-benar sudah menganggap beliau sebagai Ibu kandung  saya sendiri," ucap Sari dengan mata yang berkaca-kaca.     

Lalu Tyas pun mendekat kearah Sari.     

"Sari, meskipun saya baru melihatmu, tapi saya sangat yakin jika kamu itu adalah anak yang baik. Terlihat dari wajah polos dan senyuman yang tulus itu." Tutur Tyas.     

"Terima kasih, Bu Tyas,"     

Dan Tyas pun memeluk Sari, "Jangan Panggil, Bu, panggilnya Kaka saja ya," bisiknya.     

Dan Sari pun mengangguk sambil tersenyum.     

"Baik, Bu, eh, Kak Tyas,"     

"Nah, gitu dong,"     

"Yasudah, ayo di minum tehnya, Nak Tyas, mumpung masih hangat," ucap Bu Salamah.     

Sambil mengobrol bersama, tentu Tyas tak lupa juga membahas tentang Larasati.     

Dan untuk mengenang kepergian Larasati, Tyas ingin mengadakan acara doa bersama di Superior High School, tentunya di tempat bekas gudang tua yang saat ini menjadi lapangan tenis itu. Dan Tyas ingin Bu Salamah dan Sari turut hadir ke sana.     

Apa lagi di hari yang sudah di tentukan oleh Tyas itu, adalah tepat hari ulang tahun Larasati.     

"Ibu dan Sari bisa hadir, kan?" tanya Tyas.     

"Tentu saja, bisa, Nak Tyas, apalagi ini acara untuk mendoakan anak saya," ucap Bu Salamah.     

"Kalau, Sari?" tanya Tyas sambil melirik ke arah Sari.     

"Kalau, saya sih, mau-mau saja, apalagi, Ibu juga ikut," jawab Sari.     

"Yasudah, nanti tepat di hari itu saya akan menjemput kalian berdua," ucap Tyas.     

"Iya, Kak Tyas,"     

"Iya, Nak Tyas. Dan saya sangat berterima kasih kepada Nak Tyas, karna selalu ada dan memperhatikan saya, dari dulu sampai sekarang, bahkan Nak Tyas, sampai mau mengadakan acara doa bersama untuk mendiang putri saya Lara,"     

"Itu bukan apa-apa, Bu Salamah, karna saya dan Lara itu kan bersahabat baik."     

Bu Salamah tersenyum hangat.     

      

      

      

***     

      

Esok harinya.     

Keadaan Ratih sudah mulai membaik, dan dia pun sudah mulai berjualan kembali.     

"Ibu yakin sudah gak apa-apa?" tanya Larisa.     

"Iya, sudah kok, Ibu sudah baikkan,"     

"Ya sudah tapi kalau Ibu merasa lelah istirahat aja, ya, karna Larisa gak mau lihat Ibu sakit lagi," tutur Larisa mewanti-wanti.     

"Iya, Larisa! anak Ibu yang bawel."     

"Hehe," Larisa menjawab dengan cengirannya.     

      

Tampak sang ibu sedang memasuk-masukan daging dalam tusukan, dan Larisa masih memotong-motong cabe dan yang lainnya untuk membuat sambal kecapnya.     

Larisa kembali menyindir tentang ayahnya kepada Ratih sang Ibu.     

"Ibu,"     

"Iya,"     

"Memangnya kalau Ibu dekat dengan Ayah itu tidak ada perasaan apa pun ya?"     

"Hah?!" Ratih langsung melotot tajam.     

"Ah, maksudnya, gak ada gitu rasa dag-dig-dug ser, atau grogi gitu, Bu, hehe," Larisa tertawa garing  sambil garuk-garuk kepala.     

Dan Ratih hanya menjawabnya singkat dengan nada ketus, "Enggak!     

Larisa langsung mendengus kecewa sambil memanyunkan bibirnya.     

      

"padahal Larisa, juga pengen gitu punya keluarga yang utuh, sama seperti saat Ayah Adi masih hidup." Gerutu Larisa.     

Tapi Ratih pura-pura tidak mendengarnya.     

"Waktu Larisa masih kecil, Ibu selalu bilang, bahwa kita harus memaafkan orang yang sudah menyakiti kita sekali pun, karna tidak ada gunanya menyimpan benci terlalu lama, yang ada hanya akan menyakiti hati dan membuat kita semakin tersiksa," tutur Larisa.     

Dan sejenak Ratih langsung terdiam.     

      

      

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.