Bullying And Bloody Letters

Mencari Perhatian Ratih



Mencari Perhatian Ratih

Masih berada di warung satenya dan tengah mempersiapkan dagangannya.     

Larisa masih mengobrol dengan ibunya dan membahas tentang sang ayah.     

"Bukanya ibu sendiri yang bilang bahwa kebencian itu tidak ada gunanya dan justru malah membuat hati kita semakin  tersiksa?" tanya Larisa dengan nada sedikit menyindir sang ibu.     

Dan mendengar ucapan Larisa itu pun membuat Ratih sedikit tertohok.     

Karna apa yang di ucapkan oleh Larisa itu bersumber dari mulutnya sendiri, karna dulu dia selalu menasehati Larisa seperti itu.     

Hingga membuat Larisa tumbuh dan berpegang teguh serta masih mengingat apa kata-kata yang pernah di ucapkan oleh sang ibu.     

      

"Bu, kok diam?"     

Ratih pun tak bergeming.     

"Dulu Ibu selalu bicara begitu kepada  Larisa. Sampai sekarang Larisa masih mengingatnya dan mempraktikkannya dalam kehidupan Larisa, tapi kenapa Ibu malah melupakannya?"     

"Sudah, Larisa cukup. Jangan bahas itu lagi, tolong hargai keputusan Ibu!" tegas Ratih.     

      

Larisa pun kembali terdiam, dia memang sangat menginginkan ayah dan ibunya bisa bersatu kembali. Tapi dia tidak boleh seegois itu, karna dia juga harus menghormati keputusan dari sang ibu.     

Bagaimana pun apa yang di lewati ibunya dulu cukuplah sulit, dan luka yang sudah di goreskan ayahnya di hati sang ibu cukuplah dalam, sehingga masih membekas hingga kini.     

Bisa jadi tidak akan pernah sembuh, tapi Larisa yakin, jika di lihat dari kegigihan sang ayah, pasti suatu saat nanti hati ibunya yang terluka itu bisa sembuh total, walau masih ada bekasnya.     

Dan mereka akan kembali bersatu dan hidup bahagia.     

Tapi sekali lagi itu hannyalah sebuah harapan, yang tidak pasti akan terwujud atau tidak.     

      

Dan setelah itu, Larisa tampak sedikit murung karna ucapan yang baru saja ibunya lontarkan.     

Terlihat jelas ada raut kecewa di wajah gadis itu.     

Ratih pun yang saat ini sedang kesal, diam-diam dia memperhatikan ekspresi sang anak.     

Dia tidak mau anaknya merasa tertekan karna ucapannya tadi. Apalagi sampai membuatnya bersedih karna kecewa terhadap dirinya yang tidak mau lagi menerima sang ayah.     

Tapi di sisi lain  Ratih benar-benar tidak bisa lagi menerima Wijaya, baginya pengalaman hidupnya dulu saat bersama Wijaya sudah cukuplah membuatnya merasa trauma. Dia tidak mau merasakan hal yang sama untuk kedua kalainya.     

Meski pun saat ini Wijaya, terlihat sangat berbeda dan tampak memerhatikannya dan Larisa. Akan tetapi keraguan itu masih ada.     

      

"Bu, satenya sudah ada?!" terdengar dari depan warung seseorang memanggilnya.     

"Iya, sudah, Bu! sebentar ya!" sahut Larisa  sambil berjalan menghampiri pelanggannya itu.     

Sementara Ratih masih duduk memasang daging dalam tusukannya, dan kembali dia memikirkan apa yang telah di ucapkan oleh Larisa tadi.     

'Masa iya aku harus kembali dengan, Mas Wijaya lagi?' batinnya.     

      

Dan tak lama, lagi-lagi mobil sedan mewah terparkir di depan warungnya.     

Dan sudah pasti pemilik mobil itu adalah orang yang sangat dia kenal, yaitu Wijaya.     

Dan Wijaya pun keluar dari dalam mobilnya seorang diri, tanpa diantarkan oleh Tarso sang sopir.     

Dan penampilan Wijaya pun hari ini juga terlihat berbeda, dia tidak lagi terlihat menggunakan syal dan juga membawa tongkat kemana-mana.     

Dia berpakaian sangat rapi, menggunakan jas, sepatu Pantofel dan tak lupa lengkapi kemeja dan dasi serta beberapa item lainnya, yang membuat dirinya lebih gagah dari biasanya.     

Sambil berjalan memasuki warung sate Larisa, Wijaya melepaskan kaca mata hitamnya.     

"Hai, anak Ayah," sapa Wijaya kepada Larisa.     

"Hah! Ayah!?" Larisa pun seketika menjadi kaget, saat melihat sang Ayah terlihat rapi sekali.     

"Ayah keren banget sih? mau ke mana?" tanya Larisa dengan mata yang masih terperangai.     

"Masa, sih, dulunya Ayah memang keren sih," ucap Wijaya memuji dirinya sendiri.     

Dan di belakang, Ratih mengintip Wijaya secara diam-diam, karna dia tidak mau menampakkan dirinya secara langsung menemui Wijaya. Dia takut nanti Wijaya akan menjadi besar kepala.     

      

Sesaat Ratih tersenyum ketika melihat Wijaya dengan penampilan yang berbeda.     

Mengingatkan pada dirinya dulu, saat awal bertemu dengan Wijaya.     

Dan tak berselang lama, Ratih langsung menutup mulutnya yang tak sadar sedang tersenyum itu.     

Rasanya sangat menyebalkan, hanya dengan penampilan saja, Ratih hampir saja luluh hatinya.     

Padahal dia sadar betul jika saat ini dia sedang membenci Wijaya.     

      

"Ayah bawa apa itu?" tanya Larisa.     

"Oh, ini ada makanan, kesukaan Ibumu, Ayah akan memberikannya kepadanya," jawab Wijaya.     

"Wah, jadi buat Ibu saja ya, aku tidak," tukas Larisa sambil cemberut tapi dengan nada yang bercanda.     

"Ssst, jangan iri dong, kan Ayah sedang berusaha," lirih Wijaya kepada Larisa.     

"Oh, iya ... yasudah, selamat berjuang ya, Ayah," ucap Larisa yang juga masih dengan nada yang pelan.     

      

Lalu Wijaya meninggalkan Larisa dan masuk kebelakang beralih mendekati Ratih.     

"Selamat siang Ratih," sapa Wijaya dengan ramah.     

"Hmm,"     

"Kamu sedang apa?"     

"Mas gak lihat, saya sedang apa?!"     

"Ah, iya sedang nusuk-nusuk sate, hehe," Wijaya menggaruk-garuk kepalanya.     

Dan Ratih masih terfokus dengan pekerjaannya, tanpa sedikit pun memandang wajah Wijaya.     

"Ratih,"     

"Hmm,"     

"Ini aku bawa makanan kesukaan kamu,"     

"Hemm,"     

"Jangan lupa di makan ya,"     

"Hemm,"     

"Kamu gak pengen lihat aku?"     

"Enggak!" ketus.     

"Aku hari ini ganteng banget lo,"     

"Bodo amat!"     

"Ah, yasudah aku pergi ke kantor dulu,"     

"Iya!"     

Wijaya mulai melangkahkan kakinya untuk pergi, namun dengan langkah yang masih ragu-ragu.     

Karna masih berharap Ratih akan menoleh dan melihat penampilannya hari ini.     

Tapi, meski dia sudah memperpelan langkahnya, Ratih masih juga tak memperhatikan dirinya.     

Bahkan pandangan Ratih juga masih tak beranjak dari tusukan satenya,     

'Yah, nasib-nasib, laki-laki yang terkena karma,' batin Wijaya.     

      

Wijaya benar-benar memantapkan langkahnya kali ini untuk pergi meninggalkan Ratih. Namun telat di depan pintu Warung, tiba-tiba, Wijaya pun malah jatuh pingsan.     

Bruk!     

"Ayah!" teriak Larisa.     

Dan seketika orang-orang pun menolong Wijaya.     

"Ayah, Ayah! kenapa?!" teriak Larisa yang panik.     

Dan hal itu membuat Ratih pun langsung beranjak keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi.     

Dan melihat  Wijaya yang terjatuh pingsan, Ratih pun menjadi sangat panik, apalagi dia tahu jika tubuh Wijaya itu sangat ringkih saat ini.     

Hanya khusus  hari ini saja Wijaya tampil sok kuat, bahkan sampai pergi tanpa di antarkan oleh sopir pribadinya.     

      

"Mas, Mas Wijaya! kamu gak apa-apa, 'kan?!" tukas Ratih yang panik.     

"Bu, gimana ini, aku takut Ayah kenapa-kenapa?"     

"Yasudah telepon sopirnya, biar dia bisa di jemput sekarang!"     

"Ah, iya, Bu!"     

Larisa pun langsung menghubungi Tarso, si sopir pribadi Wijaya, dan memberi kabar kepadanya, jika Wijaya sedang pingsan.     

      

Sambil menunggu Tarso datang, Larisa dan Ratih pun mencoba membangunkan Wijaya, dengan mengoles-oleskan minyak kayu putih di bagian hidung dan kening Wijaya.     

Dan tak berselang lama Wijaya pun terbangun.     

"Aduh, ada apa ini kok, ramai sekali?" ucapnya yang kebingungan.     

"Tadi Ayah pingsan," jawab Larisa.     

"Hah?" Wijaya masih sangat bingung sambil mengusap-usap keningnya karna kepalanya masih terasa pusing.     

      

Dan tak lama Tarso sang sopir pun datang menjemputnya.     

"Pak Wijaya! apa Bapak, baik-baik saja?"     

"Iya, saya baik-baik saja." Jawab Wijaya.     

"Perlu di bawa ke RS?" tanya Tarso.     

"Ah, tidak usah."     

"Tapi pak Wijaya tadi pingsan, saya takut akan terjadi apa-apa dengan Bapak," Tarso tampak panik.     

"Tidak apa-apa Tarso, saya pingsan hanya karna lupa belum sarapan dan belum minum obat," jelas Wijaya.     

"Yasudah, sebaiknya cari makan dulu. Pak Wijaya mau makan apa? biar saya yang belikan,"  tanya Tarso.     

"Ah, saya hanya mau makan sate saja, dan kalau bisa bikinan Ratih," ucap Wijaya sambil melirik ke arah Ratih, dengan wajah yang sedikit di melas-melaskan agar Ratih kasihan kepadanya.     

"Sate? apa tidak apa-apa kalau makan sate? pak Wijaya kan sakit—"     

"Sudah tidak apa-apa, asal bukan sate kambing,"     

      

Dan akhirnya dengan terpaksa, Ratih pun mau menuruti ucapan Wijaya, dan dia membuatkan sate, untuk mantan suaminya itu.     

"Apa perlu Larisa bantu, Bu?"     

"Tidak usah!" ketus Ratih.     

Meski melihat ibunya membakar sate dengan mulut yang manyun, tapi Larisa sangat senang karna sang ibu masih mau melakukannya demi ayahnya.     

Apalagi Larisa tadi juga sempat melihat ibunya yang sangat panik ketika ayahnya sedang pingsan.     

Dan dari situ terlihat jelas bahwa ibunya masih punya hati untuk sang ayah walaupun hanya sedikit.     

      

Dan perlahan Larisa pun menghampiri sang ayah yang saat ini masih duduk di bangku warungnya.     

"Ayah, beneran tidak apa-apa?" tanya Larisa.     

"Tidak, Ayah tidak apa-apa kok,"     

"Ayah, tadi beneran pingsan ya?"     

"Ya, tentu saja, Larisa. Masa iya pingsan bohongan?"     

"Hehe, kirain,"     

"Kenapa! Kenapa! tadi Ibu mu menghawatirkan Ayah ya?" tanya Wijaya dengan wajah penuh penasaran dan antusias.     

Dan Larisa berbisik di telinga sang Ayah, "Iya," Sambil tersenyum dan mengacungkan jempolnya, "keren, Yah," bisiknya lagi.     

Dan Wijaya pun kembali tersenyum, rasa pusing di kepalanya itu pun kian memudar, dan nyaris tak terasa lagi, saat dia mendengar, jika Ratih diam-diam menghawatirkannya.     

Dan merasa penyakit yang di deritanya ini, ternyata ada gunanya juga, karna berkat dirinya yang pingsan, dia dapat merebut sedikit perhatian dari Ratih.     

      

Dan tak lama Ratih pun datang menghampirinya dengan membawa seporsi sate lengkap dengan lontongnya.     

Tanpa berbicara apa pun Ratih langsung meletakkan sate itu di atas meja.     

"Terima kasih ya, Ratih," tukas Wijaya.     

"Hemm," jawab Ratih.     

"Aduh rasanya masih lemas walaupun hanya menyendok makanan saja," tutur Wijaya yang sedang mencari perhatian  kepada Ratih.     

Tapi Ratih pura-pura tak mendengarnya.     

Lalu Larisa menyenggol lengan ibunya.     

"Bu, Ayah minta di suapi tuh," bisiknya.     

"Dia bisa makan sendiri!" ketus Ratih.     

"Aduh, lemas sekali, nasib-nasib gak punya istri," keluh Wijaya dengan wajah  yang memelas.     

Tapi Ratih tak menghiraukannya dan dia pun berjalan menjauh lalu kembali mengurusi bahan dagangannya yang ada di belakang.     

Wijaya pun hanya bisa gigit jari, karna dia tidak berhasil merayu Ratih.     

      

"Biar saya saja yang menyuapi Pak Wijaya," ucap Tarso.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.