Bullying And Bloody Letters

Rujuk Dan Keluarga Yang Utuh



Rujuk Dan Keluarga Yang Utuh

0Entah mengapa perasaan Ratih menjadi sakit saat melihat Wijaya berpelukan dengan Seruni.     
0

Padahal jelas-jelas dia dan Wijaya sudah tidak apa-apa.     

Bahkan dia sendiri yang menolak mentah-mentah ajakkan Wijaya untuk rujuk.     

Tapi pada kenyataannya, dari lubuk hatinya yang terdalam, Ratih masih merasa cemburu kepada Wijaya.     

      

"Bu, Ibu kenapa?" tanya Larisa yang mengikutinya dari belakang.     

Dan Ratih pun menengok ke arah Larisa sambil memutar otak untuk mencari alasan atas tindakannya itu.     

"Ah, enggak  tiba-tiba Ibu jadi pengen ke toilet," jawab Ratih beralibi.     

"Ow, kalau begitu, biar Larisa antarkan ya?"     

"Ah, gak usah,"     

"Tapi kan Ibu tidak tahu, letak toiletnya,"     

"Oh iya" Ratih langsung menghentikan langkahnya.     

"Yasudah kalau begitu, Larisa antarkan Ibu saja ya,"     

"Ah, iya, Larisa."     

Sambil melirik sesaat ke arah Wijaya yang masih berpelukan dengan Seruni, Ratih pun berjalan menuju toilet.     

Padahal sama sekali dia tidak ingin pergi ke toilet. Dan ini hanya alasannya saja, agar Larisa tidak curiga jika saat ini dia sedang cemburu kepada Wijaya.     

      

Sementara itu  Alex dan Rani sang ibu tampak sedang asyik berbincang, dengan Tyas, yang kebetulan baru saja sampai dari menjemput Bu Salamah dan juga Sari.     

"Ya ampun senang sekali ya Rani, kita bisa bertemu lagi, dan saya tidak menyangka kalau ternyata kamu adalah orang tua dari Alex,"     

"Iya, Tyas, aku juga senang bisa bertemu dengan mu lagi, dan aku juga tidak menyangka kamu sekarang bisa menjadi kepala sekolah di sini,"     

"Iya, aku pun juga merasa begitu, tapi mungkin ini sudah jalannya, aku menjadi bagian dari sekolah ini,"     

"Wah, selamat berjuang ya,"     

"Iya, Rani, terima kasih,"     

"Oww, sekalian aku dan Alex, akan berpamitan denganmu, karna esok kami akan pindah ke Kanada,"     

"Apa?! pindah ke Kanada?!"     

"Iya, benar, karna sekarang Alex sudah besar, dia harus menjadi penerus Ayahnya. Karna hanya dialah satu-satunya penerus keluarga mendiang suamiku,"     

"Yah, baru saja kita bisa bertemu, dan kamu, Alex, kenapa tidak bulang kepada Ibu?" tanya Tyas sambil melirik ke Alex.     

"Maaf, Bu Tyas, kalau saya belum sempat bicara," ucap Alex.     

"Terus bagaimana dengan Larisa, apa dia juga tahu?"     

"Alex mengangguk, "Iya, Bu, dia juga sudah tahu."     

"Huuft, kasihan Larisa,"     

      

Dan tak lama doa bersama pun di mulai, semua tampak khusus memanjatkan doa sesuai dengan kepercayaan masing-masing tapi di dominasi oleh kepercayaan yang di anut oleh keluarga Larasati.     

      

      

Dan setelah selesai melakukan doa bersama pada malam itu, Seruni pun pulang dengan di kawal oleh pihak lapas.     

Begitu pula dengan yang lain, mereka juga mulai pulang pergi meninggalkan tempat itu.     

Tampak Tyas tengah bersiap-siap untuk mengantarkan pulang Bu Salamah dan juga Sari.     

Sementara Larisa dan juga Ratih sang ibu tampak sedang berdiri di depan gerbang untuk menunggu taksi online.     

Dan melihat hal itu, Wijaya pun langsung menghentikan mobilnya tepat di depan Larisa dan juga Ratih.     

"Ayo, naik biar saya antarkan pulang," ucap Wijaya.     

"Wah, boleh, Yah. Larisa batalkan taksinya dulu ya,"     

Lalu Ratih pun menahannya, "jangan di batalkan!" ucap Ratih tegas.     

"Sudah batalkan saja," pinta Wijaya kepada Larisa.     

"Jangan!"     

"Batalkan saja, Larisa,"     

"Jangan!"     

"Batalkan!"     

"Jangan!"     

Melihat kedua orang tuanya yang sedang berdebat itu pun membuat Larisa menjadi pusing.     

"Stop!" teriak Larisa.     

"Udah, Bu, kita pulang sama Ayah, soalnya jaringannya lagi gangguan, gak bisa pesan taksi online," tutur Larisa.     

"Yasudah pakai ponsel Ibu,"     

"Gak, usah Bu. Kan kita pakai provider yang sama, jadi pasti hasilnya sama saja,"     

Dan Ratih pun menengok ke arah ponselnya, dan benar saja, jaringan di ponselnya sedang gangguan.     

"Huuuftt ...." Tarik nafas panjang.     

Dan dengan perasaan yang sangat terpaksa akhirnya Ratih pun mau mengikuti ajakan Wijaya dan pulang dalam satu mobil.     

Sepanjang perjalanan, Ratih hanya terdiam sambil melipat tangan dan cemberut.     

Sementara Larisa dan Wijaya malah terus mengobrol sepanjang jalan sambil tertawa-tawa.     

Dan hal itu membuat Ratih  sangat kesal karna merasa tak di anggap.     

"Ibu, ayo ikut mengobrol dong," ajak Larisa.     

"Iya, Ratih, biar kita seperti keluarga yang bahagia," ledek Wijaya.     

Dan seketika Ratih pun langsung melirik ke arah Wijaya dengan tatapan tajam yang penuh amarah.     

Dan dia menggebrak mobil wijaya dengan kencang.     

      

Brak!     

      

"Cukup ya! jangan menganggap perasaanku ini main-main!" bentak Ratih.     

Dan seketika Larisa dan Wijaya pun langsung terdiam, kemudian kedua mata Ratih pun mulai berkaca-kaca.     

"Kalian pikir aku ini permainan! dan kamu, Mas!" Ratih menunjuk ke arah Wijaya.     

"Kamu pikir kamu itu siapa?! kenapa kamu menganggap perasaanku ini hanya main-main!" Sorot mata tajam kembali terarah ke Wijaya, sampai Wijaya pun menghentikan laju mobilnya.     

"Dulu kamu mengabaikanku, dan menganggapku seolah-olah tidak ada. Dan sekarang kamu datang bertingkah sebagai lelaki yang lemah dan mengejarku seolah-olah kamu tidak bisa hidup tanpa ku, mau mu itu apa, Mas?!"     

"Ratih, aku minta maaf, tapi aku tidak—"     

"Cukup, Mas! aku mau turun  sekarang!" ancam Ratih  dan Ratih pun langsung turun dari atas mobilnya.     

"Hey! Ratih! kamu mau kemana?!" teriak Wijaya.     

Dan Ratih berjalan cepat tak bergeming.     

"Larisa kamu tunggu di sini ya!" Pesan Wijaya kepada Larisa.     

Dan Larisa pun mengangguk, "Iya Ayah."     

      

Lalu Wijaya pun mengejar Ratih dengan kencang.     

"Ratih! Ratih! tunggu!" teriak Wijaya.     

Dan Ratih masih tak bergeming serta tetap mempercepat langkah kakinya.     

      

Tapi Wijaya tak mau menyerah, dan dia masih terus mengejar Ratih, meski nafasnya engos-engosan dan serasa mau putus.     

"Ratih! tolong dengarkan ucapanku, aku berjanji akan menjadi suami yang baik, jadi tolong kembalilah menjadi Istriku lagi!" teriak Wijaya memohon kepada Ratih.     

Rati masih tidak mau menghentikan langkahnya, tapi diam-diam dia mendengarkan ucapan Wijaya itu.     

Dalam hatinya berkata, 'Bilang mau menjadi suamiku, tapi tadi peluk-pelukan dengan  wanita lain,' batinnya.     

"Ratih! tolong dengarkan aku!"     

Wijaya masih mengejar Ratih, yang masih tetap dengan pendiriannya itu.     

"Ratih! Rat...ih ...."     

Tubuh Wijaya pun mulai melas, dan akhirnya dia pun terjatuh dan pingsan.     

Bruk!     

      

Ratih tak melihat jika Wijaya telah pingsan. Tapi dia merasa aneh, karna suara Wijaya tak terdengar lagi.     

Akhirnya dengan terpaksa dia menghentikan langkahnya dan menengok ke belakang.     

"Loh, Mas Wijaya, kemana?" ujarnya.     

Dan dari kejauhan  terlihat kerumunan orang mulai berdatangan dan menghampiri Wijaya yang sedang pingsan.     

"Loh, siapa yang pingsan?" tanyanya yang penasaran.     

"Jangan-jangan yang pingsan itu, Mas—"     

Seketika Ratih memutar balik langkahnya.     

Dan menghampiri kerumunan itu, dan ternyata benar dugaannya, yang pingsan adalah Wijaya.     

"Hah! Mas Wijaya!" teriaknya.     

Dan akhirnya di bantu oleh orang-orang sekitar, mereka pun membawa Wijaya ke rumah sakit terdekat.     

      

Dan tentu saja hal itu membuat Ratih menjadi sangatlah menyesal.     

Berulang-ulang kali dia meminta maaf dan menangis, di depan Wijaya yang masih tak sadarkan diri itu.     

"Mas, bangun, Mas," Ratih memegang tangan Wijaya, "jangan tinggalkan kami, Mas, kami masih butuh Mas Wijaya, terutama Larisa putrimu, Mas,"     

"Sudah, Bu, jangan menangis, Ayah tidak apa-apa, kata dokter, dia hanya terlalu syok dan kelelahan karna sudah lama tidak pernah berlari," tutur Larisa yang menenangkan ibunya.     

Tapi Ratih masih tak tenang, dia takut terjadi sesuatu dengan Wijaya, apa lagi dia juga tahu, jika tubuh Wijaya itu  sangat ringkih, dan memiliki beberapa penyakit komplikasi.     

"Mas, bangun, Mas, aku janji tidak akan seperti itu lagi. Aku berjanji akan menjadi istri yang baik, tapi Mas Wijaya tolong sadar ya, cepat sadar,"     

Dan tak lama, Wijaya pun mulai membuka mata dan tersadar     

"Loh, aku ada di mana ini?" ucap Wijaya yang masih bingung.     

"Mas Wijaya," Ratih langsung memeluk Wijaya, karna saking bahagianya melihat Wijaya tersadar.     

Sejujurnya tadi dia benar-benar sangat khawatir. Dan dari situ dia menyadari bahwa dirinya belum siap kehilangan Wijaya.     

Dia menyadari jika masih ada perasaan cinta kepada Wijaya, sama seperti yang dulu.     

Dan pelukan Wijaya dengan Seruni tadi, seolah menyadarkannya bahwa dia benar-benar masih cemburu, dan tidak rela jika Wijaya dengan wanita lain.     

"Yah, Mas. Aku mau menjadi istrimu lagi, aku siap menikah lagi denganmu!" ucap Ratih penuh dengan keyakinan, dan tubuhnya masih memeluk tubuh Wijaya.     

      

Tentu Wijaya pun sedikit kaget mendengarnya, karna Ratih benar-benar mengatakan apa yang dia inginkan selama ini.     

Seketika dia melepaskan pelukan Ratih dan menatap wajah Ratih dengan seksama.     

"Apa benar,  yang kamu katakan itu, Ratih?!" tanya Wijaya memastikan.     

"Iya, Mas." Jawab Ratih lirih sambil menunduk.     

"Terima kasih Ratih!" ucap Wijaya dengan penuh semangat.     

Seketika tubuh Wijaya terasa sangat segar, tidak ada rasa lelah dan rasa pusing karna habis pingsan tadi.     

Semua itu karna hatinya yang sedang berbunga-bunga.     

Wijaya kembali memeluk Ratih tepat di hadapan Larisa.     

Dan Larisa pun seolah tidak dianggap keberadaannya.     

Mereka berdua lupa jika di samping mereka ada putri mereka Larisa yang sedang menyaksikan mereka berdua.     

      

Tapi meskipun begitu, Larisa sangat bahagia, akhirnya hati sang ibu menjadi luluh.     

Dan impian kembali memiliki keluarga yang utuh pun akan segera terwujud.     

      

***     

Esok harinya.     

Alex dan Rani sudah bersiap-siap untuk pergi ke bandara.     

Hari ini mereka akan pergi ke Kanada, dan menetap di sana.     

Mereka berdua masih menunggu Larisa dan yang lainnya. Untuk mengantar kepergian mereka ke bandara.     

      

Drrtt ....     

Sebuah pesan masuk di ponsel Alex. Dan dengan segera Alex membukannya.     

"Ada pesan masuk ya?"     

"Iya, Mah,"     

"Dari siapa?"     

"Dari Larisa."     

"Dia bilang apa?"     

"Larisa, bilang dia dan yang lainya sedang menunggu kita di bandara." Tutur Alex.     

"Oww, pantas saja, dari tadi Mama tunggu di sini, mereka tidak datang, rupanya mereka sedang menunggu di sana."     

"Iya, Mah. Yasudah kita langsung berangkat saja ya, taksi sudah ada di depan tuh," Alex menunjuk ke arah di luar gerbang mereka.     

      

Baru akan memasuki mobil taksi saja, hati Alex rasanya sudah mulai sesak, karna harus berpisah dengan Larisa. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah Larisa nanti.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.