Bullying And Bloody Letters

Season2 Buku Diary



Season2 Buku Diary

0Pagi yang cerah di hari Senin.     
0

Tampak hiruk-pikuk para siswa dan siswi yang lalu lalang.     

Jam menunjukkan pukul 07:30, dan mereka semua bersiap untuk mengikuti kegiatan sebagai siswa baru. Dan sekarang mereka sudah berbaris rapi di sebuah lapangan.     

      

Tampak seorang siswa berkaca mata, berambut ikal dan berjalan sedikit pincang mendekati kerumunan para siswa itu.     

Gadis itu mempercepat langkahnya karna dia sudah terlambat.     

Namanya Diana Mentari, atau yang akrab di sapa Mentari.     

Mentari adalah siswa baru di sekolah SMA Jaya Santosa.     

Dia adalah gadis pendiam dan penakut, dan memiliki sedikit kelainan fisik, karna dia pernah mengalami kecelakaan.     

Saat usia 10 tahun dia dan keluarganya hendak pergi bertamasya untuk mengisi hari libur mereka.     

Namun naas sebuah kecelakaan terjadi akibat rem mobil yang blong, sehingga menyebabkan mobil yang mereka tumpangi masuk ke dalam jurang.     

Kemudian kedua orang tua Mentari meninggal.     

Dan Mentari di asuh oleh  Paman dan Bibinya, yang saat ini tinggal di rumah besarnya.     

      

Walaupun sekitar 5 tahun sudah berlalu, tapi sisa kecelakaan itu masih menyisakan traumatic dan membuat Mentari menjadi cacat akibat patah tulang dan sekarang kakinya menjadi pincang.     

      

      

      

"Maaf, Kak, saya telat," ucap Mentari sambil menunduk.     

"Wah, anak baru saja sudah berani telat ya, terus gimana kalau udah lama di sini, pasti kamu bakalan berangkat telat terus-terusan! dasar gak disiplin!" bentak Fanya, seorang kaka kelas yang saat ini menjabat ketua OSIS dan ketua panitia MOS (masa orentasai siswa)     

"Maaf, Kak, tapi tadi beneran lagi macet, jadi saya telat," ucap Mentari masih dengan kepala menunduk.     

"Ah, gak terima alasan apa pun! dan pokoknya kamu harus squat jump 10 kali sekarang juga! " perintah Fanya.     

"Tapi, Kak, aku gak bisa squat  jump, kaki ku sakit,"     

"Halah, alasan aja! pokoknya gak mau tahu dan kamu harus tetap squat jump!"     

"Tapi, Kak!"     

"Ayo!"     

Dan akhirnya Mentari pun menuruti apa yang di ucapkan Fanya si kaka kelas.     

Padahal, dia tidak boleh melakukan hal itu, meski kejadian itu sudah cukup lama, tapi kakinya yang patah dan pernah tertanam pen di dalamnya itu masih terasa sakit jika dia terlalu banyak melakukan aktivitas berat.     

Apalagi sampai squat jump seperti ini.     

Setelah melakukan hal itu, Mentari kembali masuk ke dalam barisan dan ikut bersama yang lainnya.     

Banyak teman-temannya yang berisik-bisik membicarakan Mentari.     

Tentu saja mereka membahas soal penampilan.     

Mentari memang tidak pandai merawat wajah dan menjaga penampilannya.     

Sebenarnya bukan tidak bisa, tapi karna dia memang tidak ada waktu dan kesempatan untuk melakukannya.     

Sang bibi yang bernama Karina, selalu memaksanya untuk bekerja dan tidak memberikan uang bulanan yang cukup, untuk keperluannya, terutama untuk membeli pakaian yang layak. Mentari hanya menggunakan pakaian bekas dari putri-putrinya.     

      

"Itu, lihat dekil banget pakaiannya,"     

"Iya, mirip gembel, haha!"     

"Ssst... jangan keras-keras dong bicaranya."     

"Upps, maaf mulut aku emang sedikit comel haha,"     

Suara para teman-teman barunya yang tengah membicarakannya.     

      

Yah, Mentari mendengar jelas mereka membicarakannya dari belakang, tapi dia berpura-pura untuk tidak mendengarnya.     

Tidak hanya satu kali dua kali dia mendengarkan semua itu, bahkan sejak dia baru masuk SMP pun ucapan seperti itu sudah sering ia dengar.     

      

Sakit memang, tapi dia sudah terbiasa dan tak peduli.     

Dia hanya ingin bersekolah dengan benar, dan mendapatkan nilai terbaik, seperti apa yang di bilang oleh mendiang Ibunya dulu, bahwa dia harus bisa menggapai cita-citanya.     

      

Sekitar dua jam berlalu dan bel istirahat pun mulai terdengar.     

Mereka mulai beristirahat, dan mulai berlari memasuki kantin. Tapi tidak dengan Mentari.     

Mentari tampak berjalan tertatih, dan dia duduk menepi di taman selolah.     

Sambil memijit-mijit kakinya.     

Setelah itu datang seorang gadis dari kelas lain menghampirinya.     

Dan gadis itu bernama Sandra.     

Dia adalah kaka sepupu dari Mentari.     

Dia adalah anak sulung dari Karina sang bibi yang saat ini tinggal bersamanya.     

      

"Hey, gimana hari pertama sekolahnya?" tanya Sandra dengan senyuman sinis dan agak meledek.     

Tapi Mentari tak menjawabnya, dia malah menunduk dengan wajah yang sedikit kesal bercampur sedih.     

"Pasti, kamu di hina lagi ya sama teman-teman kamu?" ledek Sandra, tapi Mentari masih terdiam.     

"Ya, jelaslah kalau di hina. Kamu kan dekil banget kayak gembel, makanya jadi cewek jaga penampilan dong!" hina Sandra.     

Seketika Mentari mengangkat wajahnya dan dia menatap ke arah Sandra dengan tatapan marah.     

"Kenapa kamu melihat ku seperti itu? sudah mulai berani ya kamu?!" tantang Sandra.     

"Kak, bisa tidak jangan menindasku, dannjangan terus menghina penampilanku!"     

"What!? kamu beneran berani ya sama aku?!"     

"Kak, aku seperti ini demi Kak Sandra, aku rela berpakaian seragam bekas milik Kak Sandra, rela tidak bisa merawat diri juga karna Kaka!"     

"Wah, bener-bener kamu ya—"     

"Semua aku lakukan demi Kaka, agar Kaka selalu tampil modis, cantik, sampai aku rela tidak pernah di belikan baju oleh Tante, dan bekerja keras mirip pembantu demi mengurangi pengeluaran rumah kita!"     

      

Plak!     

Tamparan dari tangan Sandra pun langsung mendarat di wajah Mentari.     

"Berani kamu ngomong seperti itu?! kami pikir kamu itu siapa?! kamu mau nanti bakalan dapat hukuman lebih berat?!" Sandra meraih dagu Mentari dan memegangnya kuat-kuat.     

"Jangan pernah bicara seperti itu lagi! kalau kamu masih ingin hidup lebih lama  di dunia ini!" ancam Sandra.     

Setelah itu Sandra mendorong tubuh Mentari hingga terjatuh, kemudian dia pergi meninggalkan Mentari.     

"Jangan panggil aku dengan sebutan, Kaka, karna aku bukan Kakakmu!" ucapnya sesaat sebelum menjauh.     

Dengan tertatih Mentari berusaha bangun dan kembali duduk sambil mengusap-usap kakinya yang luar biasa sakit.     

"Kenapa Mentari harus begini? hik... kenapa Ayah dan Ibu harus pergi meninggalkan Mentari? Mentari sedih, Bu. Yah, Mentari ingin ikut dengan kalian saja,"     

      

Rumah bagi Mentari sudah hampir mirip neraka, dia di perlakukan layaknya pembantu, dan bahkan hampir tidak manusiawi, dia hanya merasa di anggap manusia ketika Dimas, atau sang paman pulang, hanya beliaulah yang menyayanginya dengan tulus.     

Dan bahkan jika beliau datang bibi dan para sepupunya akan langsung berlaku baik kepadanya.     

Mereka seolah-olah benar-benar merawat Mentari dengan baik.     

Namun sayangnya Dimas yang sering dinas keluar kota karna urusan bisnis itu pun sangat jarang sekali pulang ke rumah. Sehingga tidak tahu dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan Mentari.     

      

Masih menangis dan duduk di bangku taman sekolah, tiba-tiba ada sekelompok anak laki-laki yang menghampirinya.     

Mentari yang masih duduk dengan mata sembabnya.     

"Dia cewek yang dekil tadi, 'kan?"     

"Wah iya, tu!"     

"Halo kamu lagi apa?" dengan suara lembut.     

Tapi Mentari hanya terdiam, dia tidak mau berurusan dengan anak-anak berandal ini.     

"Kamu, bawa uang berapa?"     

"Iya, bagi-bagi dong buat kita,"     

"Mulutnya asem banget, belum merokok, dari pagi,"     

Dengan wajah ketakutan Mentari menatap ketiga pria itu.     

"Hey, kok malah bengong," mencolek dagu Mentari.     

"Iya, kamu gak bisa ngomong ya?"     

"Aduh, jangan-jangan dia budek lagi,"     

"Haha, kalau gitu kita langsung geledah aja, saku cewek dekil ini,"     

"Jangan, Rom, kita kan tidak boleh asal geledah, apa lagi dia perempuan, bisa berbahaya nanti kalau pegang-pegang,"     

Nama salah satu dari sekelompok anak lelaki itu adalah Romi, dan yang saat ini berbicara dengan Romi adalah Aldi.     

Sedangkan yang satunya lagi adalah Deni.     

Mereka adalah para siswa yang bermasalah dan suka membuat onar di sekolah ini.     

Dan boleh di bilang mereka adalah preman sekolah.     

"Hey, Aldhi. Kita gak boleh asal ngeraba itu kalau ceweknya cantik, karna bisa berbahaya untuk kejantanan kita, tapi kalau ceweknya jelek begini sih gak masalah haha!" cerca Romi.     

"Iya, Di, bener apa kata Romi. Kalau ceweknya begini mau telanjang, di depan kita langsung juga gak bakal berpengaruh, karna gak ada nafsu sama sekali haha!" timpal Deni berkelakar.     

      

Dan setelah itu Romi pun merogoh paksa saku Mentari dan mengambil uang jajannya.     

"Jangan di ambil, itu uang jajanku satu-satunya, sejak pagi aku belum sarapan, dan kalau tidak ada uang itu, aku nanti bakalan pulang jalan kaki," keluh Mentari.     

"Terus, kita harus peduli gitu?!" ucap Romi dengan mulut setengah terbuka, "itu kan urusanmu, bukan urusanku!" Romi menoyor kepala Mentari.     

      

Dan setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan, ketiga preman sekolah itu pun pergi meninggalkan Mentari.     

Kini penderitaan Mentari semakin bertambah saja.     

Sudah kakinya sakit, di tambah lagi harus kelaparan karna tidak ada uang untuk membeli makanan.     

Dan di tambah lagi pulangnya dia harus berjalan kaki.     

"Kenapa sih semua ini harus terjadi kepadaku? salahku apa Tuhan?"     

Kembali butiran air mata menetes dari sudut mata sipitnya.     

Dan perlahan dia melepas kaca matanya lalu dia menghapusnya.     

Hari ini akan terasa berat baginya, memang hari-harinya yang dia lewati selalu berat, semenjak kepergian kedua orang tuanya.     

Dan tepat saat itu, seorang gadis berseragam sekolah menepuk pundaknya dari belakang.     

Mentari pun menjadi kaget, lalu dia langsung menengok ke arah gadis itu.     

Wajah yang pucat dengan ekspresi yang datar menyambutnya tanpa sepatah kata.     

"Ka-kamu siapa?" tanya Mentari.     

Gadis berseragam sekolah dan berwajah pucat itu pun berbicara dengan bahasa isyarat.      

Rupanya gadis itu bisu, dan berbicara dengan bahasa isyarat membuat Mentari  sulit memahaminya.     

"Kamu bicara apa?" tanya Mentari lagi.     

Lalu gadis itu memberikan sebuah buku diary yang berwarna merah jambu.     

"Ini buat aku?" tanya Mentari.     

Lalu gadis tuna wicara itu  mengangguk sambil tersenyum.     

Mentari merasa sangat senang sekali akhirnya dia mendapatkan teman baru di sekolah ini, walaupun dia adalah seorang gadis tuna Wicara.     

Tapi baginya tidak masalah. Mendapatkan teman saja sudah bahagia.     

"Bukunya diaryanya bagus sekali, tapi kok gak ada kuncinya, dan ngomong-ngomong nama kamu siapa?" Mentari kembali menengok ke arah gadis itu.     

Tapi gadis itu sudah pergi entah kemana, Mentari pun merasa bingung.     

Tapi buku diary-nya masih ada di tangannya.     

Dan tampak di belakangnya dua orang siswi tengah membicarakannya.     

      

"Eh, itu gadis yang tadi,' 'kan?"     

"Iya, anak baru yang habis di hukum oleh, Kak Fanya,"     

"Barusan ngomong sendiri ya?"     

"Iya, haha, sepertinya selain dandanannya aneh, dia juga gila,"     

"Ah, kamu itu bisa aja!" mencubit lengan temannya.     

"Lihat tuh mukanya, kocak banget sumpah,"     

      

Lagi-lagi dia mendengarkan orang-orang yang membicarakan dengan terang-terangan.     

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.