Bullying And Bloody Letters

Surat Ancaman



Surat Ancaman

0Pagi yang sangat cerah, terdengar kicauan burung yang menyejukkan pikiran.     
0

Mentari mulai bersiap berangkat ke sekolah. Hari ini Mentari sudah mulai merasa sehat, tubuhnya tak lagi demam.     

Berdiri di trotoar jalan sambil menunggu mobil angkot yang lewat.     

Padahal bisa saja dia berangkat dengan Sandra saat bersekolah, namun sayangnya, Sandra dan ibunya tidak mengizinkannya. Mereka merasa malu jika berangkat bersama Mentari.     

Tentu semua itu karna penampilan Mentari-lah yang membuat mereka menjadi malu.     

Padahal kalau di pikir-pikir, Mentari terlihat dekil, jelek, dan kucal karna mereka juga.     

Mereka sangat pelit untuk membelikan pakaian yang layak dan memberikan uang bulanan yang cukup untuk Mental, padahal mereka mempunyai banyak uang, dan tentu saja, harta yang mereka miliki sebenarnya adalah milik Mentari.     

Karna ketika kedua orang tua Mentari meninggal mereka meninggalkan banyak warisan untuk Mentari, namun karna Mentari masih di bawah umur jadi  semua harta kekayaan orang tuanya di kelola oleh Dimas sang paman.     

Bahkan perusahaan yang saat ini dia pegang adalah warisan dari Rio kakaknya atau ayah dari Mentari.     

      

Tapi harta kekayaan milik orang tuanya itu sama sekali tidak dia rasakan.     

Dia di perlakukan layaknya pembantu serta tampil layaknya orang tak mampu.     

Sebenarnya Dimas sang paman sangat menyayanginya, hanya saja Dimas tidak tahu jika anak dan istrinya bertingkah semena-mena kepada keponakannya.     

      

      

Sambil berjalan santai, tiba-tiba Fanya si kaka kelas menghampirinya.     

"Eh, Mentari! kenapa dua hari ini kamu tidak masuk ke sekolah?!" tanya Fanya dengan nada ketus.     

"Saya sakit, Kak,"     

"Hah! sakit?" Fanya tampak mengernyitkan dahinya, "kamu takut kena hukuman lagi ya?!"     

"Enggak, Kak, saya beneran sakit."     

"Ah, terserah lah mau sakit atau enggak bodo amat!"     

Mentari terdiam, lalu Fanya merik lagi ke arah Mentari dengan ekspresi melecehkan.     

"Aku heran, cewek dekil kayak begini, bisa masuk selolah ini. Seandainya kemarin kamu masuk aku pasti akan mengerjaimu habis-habisan, karna wajah mu itu tipe orang yang pantas di bully, haha!"     

Lalu Fanya pun pergi meninggalkan Mentari.     

Mentari hanya bisa menggelengkan kepala sambil mengelus dada karna melihat perlakuan Fanya terhadapnya.     

Bisa-bisanya Fanya membencinya hanya karna melihat fisiknya.     

Lalu Mentari duduk di dalam kelas sambil mempersiapkan bukunya.     

Lalu datang tiga pria berandal yang waktu itu menghampirinya.     

      

"Eh, Aldi, pacarmu sudah berangkat tuh," ledek Deni kepada sahabatnya.     

"Wah, mangsa baru ni," imbuh Romi.     

"Yasudah kita sikat aja, lumayan buat isi amunisi," timpal Aldi.     

Lalu mereka bertiga pun tanpa permisi langsung menghampiri Mentari, dan Romi langsung menggebrak meja Mentari.     

Brak!     

Seketika Mentari tersentak karna kaget.     

"Ka-kalian mau apa?" tanya Mentari.     

"Mau apa lagi? ya mau duit lah," jawab Romi.     

"Iya, cepat serahkan uang jajanmu sekarang!" sergah Deni.     

Mentari menggelengkan kepalanya, "Tidak! kalau nanti aku serahkan kepada kalian maka aku akan pulang jalan kaki lagi," tutur Mentari.     

"Ya, itu si urusan kamu! jadi kami tidak mau tahu lah!" tegas Aldi.     

"Tidak! jangan! aku mohon jangan!" Mentari mencoba mencegah mereka, tapi, mereka tidak mau mendengarnya.     

Mereka tanpa rasa sopan menggeledah saku dan tas Mentari.     

Dan setelah uang di dapatkan mereka bertiga langsung pergi.     

Kemudian 3 preman itu pun pergi dan setelah pergi menjauh, datang seorang gadis dengan penampilan sederhana dan bersahaja menghampirinya.     

"Mentari kamu tidak apa-apa?" tanya gadis itu. Mentari pun menggelengkan kepalanya, tapi dengan wajah yang memelas.     

"Bagaimana bisa kamu berkenalan dengan mereka?! ucap gadis itu.     

"Memangnya siapa mereka?"     

"Mereka itu bernama, Deni, Aldi dan juga Romi. Mereka itu para preman sekolah dan tukang buat onar,"     

Mentari pun terdiam, karna dia tidak heran jika mereka adalah preman sekolah karna dari tingkah mereka sudah sangat terlihat jelas.     

"Nama kamu siapa?" tanya Mentari kepada gadis itu.     

"Oh, iya, perkenalkan namaku Laras," gadis itu mengulurkan tangannya.     

"Hay, Laras, perkenalkan aku Mentari."     

"Iya, aku sudah tahu kok, kamu kan yang di hukum oleh, Kak Fanya saat hari pertama MOS, 'kan?"     

"Iya, Laras, dan terima kasih ya, kamu sudah peduli dengan ku,"     

"Iya, Mentari, sama-sama, aku juga senang bisa berteman dengan mu."     

      

Dan tak lama bel masuk pun terdengar, dan ini adalah hari pertama Mentari belajar normal.     

Semua berjalan lancar, seperti biasa, Mentari selalu dengan muda memahami pelajaran. Apa lagi ketika di dalam kelas, tak ada yang mengganggu dia.     

      

      

Dan tak terasa bel istirahat kembali terdengar, tampak seluruh isi kelas berbondong-bondong keluar, dan menyerbu kantin.     

Namun Mentari hanya bisa gigit jari saja.     

Dia tidak memiliki uang lagi untuk membeli makan siang, karna uangnya sudah di ambil oleh ketiga preman tadi.     

Dia kembali membuka diary pemberian dari Cinta.     

Dia kembali menuliskan seluruh isi hatinya,     

      

'Dear diary.     

Lagi-lagi mereka, para anak-anak nakal, Aldi, Deni, dan juga Romi, mengambil uang jajanku. Aku sekarang kembali kelaparan, kenapa mereka jahat kepadaku?'     

      

Setelah itu dia kembali menutup buku diaryanya.     

"Hay, Tari!" panggil Laras, yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya.     

"Eh, Laras, ada apa?" tanya Mentari.     

"Ini," Laras menyodorkan kotak makanan kepada Mentari.     

"Apa ini?"     

"Tadi, Mama bawain aku bekal, dan aku sedang malas memakannya, jadi ini untuk kamu saja ya," jelas Laras.     

"Wah, terima kasih, Laras, kebetulan aku belum sempat makan sejak pagi, dan uangku sudah di ambil oleh preman-preman tadi,"     

"Iya, aku tahu makanya ini aku kasihin ke kamu," dan Mentari pun meraihnya dengan senang hati.     

"Terima kasih,"     

"Iya, Tari, jangan lupa di makan ya, aku mau ke toilet dulu ya," ucap Laras.     

"Iya, Laras."     

      

Mentari sangat bahagia sekali mendapatkan makanan dari Laras, dan bukan hanya karna makanan yang membuatnya bahagia, tapi karna dia juga mendapatkan teman baru yang sebaik Laras.     

      

      

***     

      

Sementara itu Aldi, Deni dan juga Romi, sedang asyik merokok di lorong sepi.     

"Wah, abis ini kita bakal malak siapa lagi nih?" tanya Romi.     

"Kita, palak si Cupu kelas sebelah saja," usul Deni.     

"Kalau tidak, kita hampiri, si Gendut anak sultan tapi beloon itu  saja," tambah Aldi.     

"Wah ide bagus tu,"     

"Kita harus cari mangsa yang lebih  banyak lagi,"     

"Bener banget, Rom, biar kita bisa beli minuman keras dan juga itu ...." Aldi memberi kode.     

"Haha, pastinya biar kita bisa pesta lagi malam minggu." timpal Deni.     

Lalu tiba-tiba saja Romi ingin mengambil korek dalam sakunya, dan di dalam sakunya itu, dia merasa ada sebuah lipatan kertas di dalamnya.     

"Ini kertas apa ya?" tukas Romi.     

"Jangan-jangan duit, Rom?" kelakar Deni.     

"Haha, kalau duit beneran lumayan tuh," imbuh Aldi.     

"Hhaha bisa aja kalian ini!"     

Dan setelah itu, dia mengambil dan melihatnya. Ternyata adalah sebuah surat yang bertuliskan.     

'SIAP-SIAP MATI!'     

"Ini apa-apaan sih?!" ucap Romi yang heran.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.