Bullying And Bloody Letters

Teman Dunia Lain



Teman Dunia Lain

0Meskipun Mentari sudah mengaku jika bibinya selama ini tidak berbuat kasar kepadanya, tapi Dimas masih tidak percaya begitu saja, dia yakin jika Mentari sedang berbohong, dan hal itu membuatnya semakin membenci Karina sang istri.     
0

"Tari, Om masih akan tetap menunggu kejujuranmu," lirih Dimas.     

Dan Mentari terdiam tak bergeming. Sejujurnya dia ingin mengatakan semuanya, tapi dia takut nanti Karina akan memarahinya dan akan berbuat kasar lagi kepadanya, apa lagi sang paman tidak selalu ada di dekatnya.     

Pasti ketika pamanya pergi mereka akan kembali menyiksa Mentari lagi.     

      

"Yasudah, Mas, tolong jangan di bahas lagi, sekarang anak kita sedang sakit, tolong jangan buat keadaan menjadi tambah runyam." Tutur Karina.     

Dan tak lama Sandra pun mulai siuman.     

"Mama ...." Panggil Sandra.     

"Iya, Sayang!" Karina langsung berjalan mendekat ke arah Sandra.     

"Bagaimana keadaanmu, Sayang apa sudah mendingan?" tanya Karina.     

"Ma, aku ada di mana?"     

"Kamu ada di rumah sakit, Sayang,"     

"Tadi, aku jatuh, Ma, aku melayang," jelas Sandra yang terdengar sedikit ngelantur.     

"Melayang, bagaimana sih, Sayang? Kamu itu bikin Mama khawatir saja,"     

 "Tubuh Sandra beneran melayang, Ma. Ada gadis berwajah pucat dan dia seperti ingin menghabisi ku, tapi tiba-tiba dia menghilang dan tubuhku melayang lalu aku terjatuh," jelas Sandra lagi.     

      

Karina dan juga Dimas merasa bingung mendengar cerita dari Sandra itu.     

Karna semua itu terdengar sangat tidak masuk akal.     

Lain halnya dengan Mentari, sama sekali Mentari tidak heran akan hal itu. Karan dia juga sudah mengalami hal aneh saat di sekolah kemarin.     

Tentu saja dia menduga jika ini adalah perbuatan Cinta.     

Dan di luar kamar perawatan Sandra, Mentari melihatnya Cinta tengah menatap ke arahnya dengan tatapan datar.     

Dan setelah itu Cinta pergi begitu saja.     

Dan melihat hal itu, Mentari pun langsung mengejarnya.     

      

"Log, Tari, kamu mau kemana?" tanya Dimas.     

"Sebentar ya, Om, Tari, sedang ada perlu sebentar."     

"Mau kemana?!"     

"Sebentar, Om!"     

      

Dan Mentari pun langsung berlari, dan setelah itu Karina menghampiri Dimas.     

"Kamu lihat kan, tingkah keponakanmu itu sangat aneh, jadi wajar kalau aku tadi hilap dan sampai menjewer telinganya," lirih Karina kepada Dimas,     

"Diam kamu, dan hentikan omong kosong mu!" bentak Dimas.     

Seketika Karina kembali terdiam.     

Lalu Dimas menghampiri Sandra.     

"Gimana perasaan kamu sekarang, Sandra?" tanya Dimas.     

"Sakit, Pa. Leher Sandra sakit banget, Papa,"     

"Sabar ya, Sayang,"     

"Dan Sandra juga takut, Pa. Sandra takut gadis itu datang kembali,"     

"Kamu itu sedang berhalusinasi Sayang, tidak ada gadis mana pun di sini,"     

"Sandra gak, bohong, Pa, Sandra ngomong yang sebenarnya."     

"Iya, iya, Sayang Papa tahu, sekarang kamu istirahat dulu ya," ujar Dimas yang mencoba menenangkan Sandra.     

"Tapi, Pa—"     

"Ssst, udah istirahat, dan jangan takut, karna di sini ada Papa,"     

"Iya, Sandra di sini kana ada, Papa dan Mama, jadi kamu jangan takut lagi ya," timpal Karina yang menyela pembicaraan mereka.     

Akhirnya Sandra pun merasa sedikit tenang, karna di sampingnya ada papa dan mamanya yang menjaganya.     

      

      

Sementara itu Mentari masih mengejar Cinta, yang tidak tahu dia akan membawa Mentari kemana.     

"Stop! berhenti, Cinta!" teriak Mentari.     

Dan Cinta pun menghentikan langkahnya. Dan Cinta membalik tubuhnya menghadap ke arah Mentari.     

"Cinta, aku mohon, jangan sakiti, Kak Sandra lagi, apa lagi sampai membunuhnya, tolong, apa pun yang terjadi, biarlah dia hidup," Mentari.     

Cinta kembali menatap Mentari, tapi kali ini sedikit ada ekspresi.     

Yah, Cinta tersenyum kepada Mentari.     

"Aku mohon ya, Cinta, jangan sakiti Kak Sandra lagi ya,"     

Dan Cinta kembali tersenyum, lalu dia pun menghilang dari hadapan Mentari.     

"Huuft, lagi-lagi, dia menghilang begitu saja,"     

Tapi setelah Cinta pergi Mentari melihat ada selembar surat yang tergeletak di atas lantai, tepat di mana Cinta berdiri tadi.     

      

"Surat lagi, apa itu dari Cinta?"     

Mentari langsung mengambilnya lalu membuka dan membacanya.     

Dalam surat itu bertuliskan, 'KALI INI AKAN AKU BIARKAN DIA HIDUP, TAPI TIDAK JIKA DIA MENYAKITIMU LAGI,'     

      

"Ternyata benar ini dari, Cinta. Cinta melakukan semua ini rupanya untuk melindungiku. Harusnya aku bersyukur masih ada yang peduli denganku, selain, Laras dan Om Dimas. Tapi tidak begini caranya." Gumam Mentari.     

Lalu setelah membaca surat itu, Mentari pun kembali menghampiri paman dan bibinya.     

"Tari, kamu habis dari mana?" tanya Dimas.     

"Dari, luar Om,"     

"Tari, sebaiknya kamu pulang saja ya, biar Om pesankan taksi, karna kamu besok kan harus sekolah,"     

"Tapi, Om, Tari juga ingin menjaga, Kak Sandra,"     

      

'Sok baik,' batin Karina yang kesal.     

"Sudah, Tari, kamu pulang saja, kalau perlu biar Om antarkan ya?"     

"Eh, jangan Om, biar Tari pulang sendiri,"     

"Ya sudah kalau begitu biar Om pesankan taksi ya,"     

"Iya, Om."     

      

Lalu Mentari pun akhirnya pulang sementara Dimas dan juga  Karina masih berada di rumah sakit menunggu Sandra.     

      

Dan setibanya di rumahnya, Mentari sudah di sambut oleh Cinta.     

Tiba-tiba saja, Cinta sudah berada di depan pintu dan tersenyum menyambut kepulangan Mentari.     

"Eh, Cinta! kenapa kamu sudah ada di sini sih?!" tanya Mentari yang merasa kaget.     

Dan tentu saja, Cinta tak menjawabnya dengan sepatah kata pun.     

Mentari sudah mulai terbiasa dengan hal itu, akhirnya dia tak mau menghiraukan kehadiran Cinta lalu dia membuka kunci pintu rumahnya dan langsung masuk begitu saja.     

Cinta pun mengikutinya dari belakang.     

"Cinta, tolong biarkan aku sendiri Cinta, aku tidak nyaman dengan kehadiranmu," keluh Mentari.     

Tapi Cinta tak peduli, dia masih mengikuti Mentari.     

"Kamu tahu tidak, setiap sekat denganmu, tubuhku jadi merinding tau!"     

Cinta pun malah tersenyum mendengar keluhan dari Mentari itu.     

"Kamu itu benar-benar keterlaluan ya, Cinta, aku lumayan takut denganmu, tapi kamu malah menertawakanku!"     

      

Hufft ... Mentari mulai menaiki tangga atas untuk masuk ke kamarnya.     

"Aku dan Sandra, selalu saja bertukar kamar, aku jadi bingung harus tidur di mana, walau sebenarnya dulu kamar ini adalah kamarku juga,"     

      

Masih mengikuti Mentari dari belakang, Cinta, mulai memegang tangan Mentari.     

"Ngapain kamu pegang-pegang tanganku? tangan mu itu dingin tahu, aku jadi tambah merinding," keluh Mentari.     

Dan Cinta pun kembali tersenyum, lalu dia menghentikan langkah Mentari dengan berdiri tepat di hadapannya.     

"Astaga! Cinta! kamu itu bikin aku kaget tau!" bentak Mentari.     

"Tolong jangan ganggu aku dong, please ...."     

Kemudian, Cinta pun berbicara dengan Mentari tapi menggunakan bahasa isyarat.     

Yang artinya, (Bahwa dia tidak akan pergi dan akan terus berada di sisi Mentari dan akan menjaganya, karna dia sekarang adalah temannya)     

Mentari hanya mengerti beberapa kata saja yang lainnya dia tidak tahu, dan hanya, teman, menjaga dan pergi. Itu saja arti yang dia ketahui dari yang sampaikan oleh Cinta.     

      

"Hah, yasudah kamu boleh deh menemaniku sekarang, tapi ingat ya, Cinta, kamu tidak boleh berbuat macam-macam apalagi sampai mencelakai orang," tegas Mentari yang mewanti-wanti Cinta.     

Cinta menjawabnya dengan anggukan kepala sambil tersenyum.     

      

Kemudian Mentari pun berbaring di atas kasur, dan di sebelahnya ada Cinta yang juga turut ikut berbaring.     

Rasanya sangat menyenangkan memiliki sahabat dan bisa tidur bersama begini.     

Hanya saja, sayangnya Cinta bukanlah seorang manusia, sehingga membuat Mentari merasa sedikit kurang nyaman.     

"Ngomong-ngomong, sampai kapan aku harus tidur dalam keadaan bulu kuduk yang berdiri begini?" tanya Mentari dengan polos.     

      

***     

      

Malam pun tak terasa berganti pagi, dan Mentari terbangun dalam keadaan Cinta sudah tidak ada di kamarnya.     

"Syukurlah dia sudah pergi," ucap Mentari yang merasa lega.     

Tapi saat dia mulai membuka pintu, tiba-tiba di dalam kamar mandi sudah ada Cinta yang sudah menyambutnya dengan senyuman.     

"Cinta! kamu kok sudah ada di sini saja sih, Cinta!?" teriak Mentari yang kaget.     

      

Dan Cinta pun tersenyum, dan setelah itu menghilang dari hadapan Mentari.     

"Uhh, akhirnya hilang juga! dah sana pergi jauh!"     

Mentari pun mulai mandi dan bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.     

Hari ini terasa sepi, dan dia juga merasa bebas melakukan apa pun.     

Tidak ada yang mengocehinya, tidak ada yang menyuruh-nyuruh dia untuk bangun pagi dan memasak untuk sarapan.     

Serta dia juga bisa sarapan dengan tenang dan memilih lauk apa pun  yang dia mau tanpa sisaan dari Sandra dan juga Karina.     

Karna biasanya, Mentari lebih sering tidak sarapan saat berangkat ke sekolah.     

Karna tidak kebagian makanan atau bahkan tidak sempat karna takut telat masuk sekolah, karna sejak pagi terlalu sibuk mengerjakan pekerjaan rumah.     

      

"Hari ini memang tidak ada yang mengocehi, dan tidak ada menyuruh-nyuruh untuk melakukan pekerjaan rumah. Tapi entah mengapa aku merasa kesepian dan masih mengkhawatirkan, Sandra," gumam Mentari sambil menggigit roti tawarnya.     

"Ah, sudahlah, sebaiknya aku segera berangkat sekolah saja,"     

      

Dan setelah sampai di sekolahan, tiba-tiba saja dia bertemu dengan Fanya, si kaka kelas yang jahat itu.     

"Eh, Dekil! kita ketemu lagi ya?" sapa Fanya dengan nada yang menghina.     

"Eh, Kak Fanya," sapa balik Mentari dengan sopan.     

"Eh, tumben hari ini kamu agak  dikit? rambutnya juga di kuncir gak kayak biasanya yang awut-awutan mirip gembel," tanya Fanya sekaligus menghinanya.     

Dan Mentari pun tak menjawabnya, hanya sedikit menunduk saja.     

"Ehem, tapi walaupun kamu serapi apa pun, tetap saja, muka kamu itu jelek, dan kamu akan terus terlihat menyebalkan di mataku, dan sebaiknya orang menyebalkan seperti kamu itu sudah sepatutnya untuk di tindas,"     

      

Bruk!     

Fanya mendorong tubuh Mentari hingga terjatuh, dan kaca mata milik Mentari pun sampai terlepas dari wajahnya.     

Melihat hal itu, Fanya bukannya mengambilnya, tapi dia malah menendangnya, hingga kaca mata itu terpental jauh.     

      

Setelah itu Fanya  tertawa-tawa sendiri melihat Mentari yang kesulitan menemukan kaca matanya itu.     

"Kamu itu nyaris buta ya?! haha!" tertawa-tawa sambil melipat kedua tangannya, "tidak bisa melihat dengan benar tanpa kaca mata!"     

      

Dan tepat saat itu juga, datang seorang pria bertubuh tinggi berkulit putih, berhidung mancung, terlihat gagah dan tampan. Tengah lewat di depan mereka.     

Seketika Fanya menghentikan tertawaannya.     

Dan matanya tertuju kearah pria itu.     

      

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.