Bullying And Bloody Letters

Ketahuan



Ketahuan

0Tubuhnya kini mulai gemetaran, suasana terasa mencekam dan bulu kuduknya sudah mulai berdiri.     
0

Si gadis berwajah pucat itu terus memandanginya dengan tatapan yang sangat menyeramkan, Sandra tahu jika gadis itu bukanlah manusia.     

Tubuhnya melayang dan ekspresinya terlihat sangat marah kepadanya.     

"Siapa kamu! ayo cepat pergi! jangan menggangguku!" teriak Sandra.     

Tapi gadis itu tak bergeming sorot matanya masih tajam tertuju kepada Sandra.     

Dan itu membuat Sandra semakin merasa terancam, lalu Sandra pun reflect melemparkan buku diary itu kearah si gadis.     

Bruak!     

"Pergi! pergi sana!" teriak Sandra yang terus mengusirnya.     

Kemudian Cinta pun menghilang dari hadap  Sandra.     

Sedikit lega di hati Sandra. Tapi entah mengapa ada yang aneh dalam tubuhnya, dia seperti sedang melayang, lalu karna penasaran dia pun melihat ke bawah, dan benar saja, rupanya tubuhnya kini sedang terbang melayang.     

Dia berdiri di awang-awang, kepalanya hampir menyentuh plafon rumahnya, dan dia melihat kasurnya berada tepat di bawah kakinya yang sedang terbang itu.     

      

Kambali adrenalinnya menjadi naik. Sandara semakin ketakutan.     

"Akh! tolong! Mama!" teriaknya.     

Dan dari luar terdengar ada yang tengah mengetuk pintu kamarnya.     

      

Tok tok tok!     

"Sandra! kamu sedang apa, Sayang?"     

"Ah itu Mama!" Sandra pun langsung berteriak sekencang-kencangnya, "Mama! tolongin Sandra, Ma!" teriaknya.     

Dan seketika Karina yang berada di luar pun langsung memanggil suaminya untuk mendobrak kamar Sandra. Karna Karina merasa khawatir dengan keadaan Sandra.     

"Sandra! kamu tidak apa-apa, 'kan, Sayang?!" tanya Karina yang panik,     

"Ma! tolongin Sandra, Ma!"     

Dan tak lama Dinas pun berhasil mendobrak kamar Sandra.     

Brak!     

Dan tepat saat itu juga, Sandra yang tubuhnya masih melayang-layang itu terjatuh dan pingsan.     

Mereka semua tidak tahu jika Sandra baru saja melayang-layang di udara, karna ketika mereka sudah berhasil membuka pintunya, tahu-tahu Sandra sudah pingsan di atas Lantai.     

      

"Sandra! kamu tidak apa-apa, 'kan?" tanya Karina.     

"Ini bagaimana, Mas, aku takut terjadi apa-apa dengan Sandra, Mas!"     

"Tenang, Mah, kita bawa Sandra ke rumah sakit saja sekarang ya!"     

Dan Dimas langsung menggendong tubuh Sandra dan membawanya masuk ke dalam mobil menuju rumah sakit.     

"Mama, takut, Pa! gimana kalau Sandra kenapa-kenapa?" Karina benar-benar panik kali ini.     

"Sabar, Mah, pasti Sandra baik-baik aja kok, Papa yakin, kita berdoa saja ya," tukas Dimas yang menenangkan hati istrinya.     

      

Sementara itu di rumah tampak Mentari mulai terbangun, dan dia mulai bingung karna tiba-tiba saja suasana rumah menjadi sangat sepi, dia sama sekali tak mendengar kegaduhan yang terjadi, karna tadi dia sedang berada di dalam toilet yang ada di dalam kamarnya.     

"Loh, kenapa sepi sekali? dan kenapa Om dan Tante tidak ada?"     

Lalu dia pun mencoba mendekat ke kamar Sandra, untuk mengambil kembali buku diary-nya.     

Tapi ketika dia sudah berada di depan kamar, tiba-tiba saja pintu kamar Sandra sudah terbuka dan di dalam kamarnya juga tampak berantakan.     

"Loh, ada apa ini?" Mentari tampak bingung, dan dia melihat di sudut tembok ada buku diary-nya, yang bekas di lemparkan oleh Sandra tadi.     

      

Mentari pun meraihnya dan membawanya kembali ke kamarnya.     

"Kenapa buku ini bisa ada sana? apa Kak Sandra sudah melemparkannya?"     

Kembali Mentari merebahkan tubuhnya di atas kasur, sambil membuka bukunya.     

      

Mentari ingin menuliskan sesuatu di dalam buku itu, tapi lagi-lagi dia menemukan tulisan aneh berupa peringatan.     

'Sandra, akan mati,'     

"Hah!  apa maksudnya?!"     

Mentari menggelengkan kepalanya, "Tidak! tidak mungkin!" dan dia melihat-lihat keadaan sekitar untuk menemukan Cinta, tapi dia tidak melihat tanda-tanda kehadiran Cinta.     

      

"Cinta! ayo keluar! Aku ingin bicara kepadamu!" teriak Mentari.     

Dan Cinta pun benar-benar muncul di hadapannya.     

"Ah, syukurlah kamu datang!"     

Cinta menatap Mentari dengan tatapan datarnya seperti biasa.     

"Kenapa kamu melakukan ini? aku tahu kamu yang sudah menulis dalam diary ini, dan yang sudah melakukan hal buruk kepada Romi, dan kamu juga yang membuatku mencekik Aldi dan Deni, Kan?!"     

Dan Cinta masih terdiam, dia juga masih menatap Mentari dengan tatapan datarnya.     

"Cinta, kenapa kamu melakukan itu?! dan kenapa kamu juga akan membunuh Kak Sandra?!"     

Mentari berjalan mendekat ke arah Cinta.     

"Tolong jangan bunuh, Kak Sandra, karna dia adalah keluargaku, aku tidak mau kehilangan keluargaku," mohon Mentari.     

"Aku bisa memaklumi, saat kamu membuatku mencekik, Aldi dan Deni, tapi aku mohon, jangan bunuh Kak Sandra, karna bagaimana pun dia adalah keluargaku,"     

Lalu tanpa sepatah kata dan juga bahasa isyarat, Cinta pun mengilang dari hadapan Mentari.     

      

"Lagi-lagi dia menghilang," gerutu Mentari.     

Entah apa akan terjadi kepada Sandra, Mentari tidak tahu, tapi karna tulisan ancaman tadi membuatnya merasa tidak tenang.     

Akhirnya dia menelpon pamannya, untuk menanyakan keberadaan Sandra dan mereka semua.     

      

Tuut....     

"Halo, Om, Kalian ada di mana?" tanya Mentari.     

"Maaf, Tari, Om , Tante dan juga, Sandra sedang berada di rumah sakit, Sandra mengalami patah tulang di lehernya," jelas Dimas.     

"Apa?! patah tulang leher?!"     

"Iya, Tari,"     

"Ta-tapi bagaimana bisa, Om?"     

"Entalah, Om dan Tante juga tidak tahu, bagaimana kronologinya,"     

"Yasudah, di rumah sakit mana? biar Tari juga ikut ke sana!"     

"Ow, iya nanti, Om kirimkan alamatnya ya,"     

"Iya, Om,"     

      

Mentari pun langsung berganti pakaian dan langsung menyusul Om dan Tantenya itu.     

"Aduh, gimana ini, Kak Sandra mengalami patah tulang leher, bagaimana itu bisa terjadi, semoga saja Cinta tidak benar-benar membunuhnya,"     

Mentari berjalan cepat setengah berlari, dan menunggu mobil taksi yang lewat di depan rumahnya.     

"Aduh, lama banget sih, gak ada taksi lewat ya,"     

Sambil melihat jam di tangannya, "Aduh, lama, apa aku pesan online aja ya?"     

Mentari langsung meraih ponsel di sakunya.     

Tapi belum sempat dia memesan Taksi online, tiba-tiba malah sudah ada taksi yang lewat di depannya.     

"Eh, pak stop!"     

Dan Mentari pun langsung masuk ke dalam mobil itu.     

"Untung saja, Om Dimas baru saja memberikan uang jajan kepadaku, jadi aku bisa pesan taksi," tukasnya.     

"Kemana, Dik?" tanya sopir taksi.     

"Rumah sakit, Pak,"     

      

      

Dan setelah sampai di rumah sakit, dia langsung menghampiri Dimas dan juga Karina, serta melihat Sandra yang masih terkulai lemas dengan leher yang masih di gips.     

"Kak Sandra," Mentari memegang tangan Sandra.     

"Kaka, kenapa bisa begini?" tukasnya lagi, dengan tangan masih menggenggam tangan Sandra.     

"Om, juga tidak tahu, Tari, saat kami memasuki kamarnya, tiba-tiba Sandra sudah pingsan," jelas Dimas.     

      

'Dasar, sok peduli, berani-beraninya sok baik dengan putriku hanya untuk merebut perhatian dari suamiku,' batin Karina.     

      

"Yasudah, kalian tunggu di sini dulu ya, aku pergi ke toilet sebentar ya," ujar Dimas.     

"Iya, Pa," jawab Karina.     

Melihat Dimas yang sekarang tidak ada di sisinya membuat Karina mempunyai kesempatan untuk memarahi Mentari.     

Dan saat di lihat Dimas sudah menjauh, perlahan Karina berjalan mendekat kearah Mentari.     

Dia langsung memegang tangan Mentari dengan kasar dan menariknya     

"Mau apa kamu kemari?!" tanya ketus Karina.     

"Sa-saya, ingin melihat keadaan Kak Sandra, Tante," jawab Mentari dengan polos.     

"Halah, bohong!" Karina menjewer telinga   Mentari, "kamu itu kemari hanya untuk mencari perhatian kepada suami ku, 'kan?!"     

"Enggak, Tante, enggak! Tari benar-benar ingin melihat keadaan Kak Sandra karna Tari juga khawatir kepadanya.     

"Waw, benarkah?" Karina melepaskan jewerannya dari telinga Mentari dengan kasar dan setengah menoyor kepala Mentari.     

"Terus aku harus percaya dengan kata-kata, bohongmu itu?!, hah?!"     

"Ampun Tante,"     

Lalu tak lama Dimas pun kembali dari toilet.     

"Ada apa sih, kok dari luar kalian kayak sedikit ribut, kalian sedang apa?" tanya Dimas yang terlihat sangat polos dan benar-benar tak tahu apa pun.     

"Ah, enggak kok, Mas, tadi saya kira Sandra sadar makanya ribut, tapi ternyata enggak." Alibi Karina.     

"Oh, benar begitu?"     

"Iya, Mas, masa saya bohong,"     

"Tapi saya dengar yang lain juga, bahkan saya melihat kamu menjewer telinga Mentari, kamu pikir saya tidak tahu hah?!"     

Seketika Karina langsung terdiam, dia tak bergeming, rupanya diam-diam suaminya melihat perlakuannya tadi kepada Mentari.     

      

Dimas sendiri sebenarnya mulai curiga, saat melihat  Mentari  yang sering menangis sendirian, dan tak pernah terlihat wajah bahagia di matanya.     

Dia melihat jika Mentari sedang bersedih setiap waktu, bahkan saat tersenyum menatapnya.     

Sebenarnya Dimas tahu jika keponakan tercintanya itu sedang menyimpan kesedihannya di depannya.     

      

Tak hanya itu, dia juga sering mendengar tetangga-tetangganya yang melapor kepadanya tentang perlakuan istrinya kepada Mentari.     

Hanya saja Dimas tidak bisa mengambil kesimpulan lebih jauh tanpa melihatnya langsung dengan mata kepalanya sendiri.     

Dan sekarang dia melihatnya secara langsung, perlakuan istrinya kepada Mentari benar-benar sangat kasar.     

"Tari, ayo bicara dengan Om, apa saja yang sudah di lakukan oleh Tantemu kepadamu?" desak Dimas kepada Mentari?     

Dan Mentari pun terdiam sambil menatap ke arah Karina,     

Tentu saja dengan wajah ketakutannya.     

"Sudah tidak apa-apa, ayo katakan apa saja, jangan takut, ada Om di sini, dia tidak akan berani menyakitimu lagi," tukas Dimas yang meyakinkan Mentari.     

Tapi tetap saja, Mentari masih takut untuk bicara jujur, dia benar-benar takut jika setelah ini, Karina akan menghajarnya lebih parah lagi.     

      

"Mas, tadi itu tidak seperti yang, Mas lihat, aku benar-benar hanya sekali itu melakukannya," sangkal Karina yang membela diri.     

"Sayangnya aku lebih tertarik dengan penjelasan dari Mentari langsung dari pada penjelasan mu!" ketus Dimas.     

"Tapi, Mas—"     

"DIAM!" bentak Dimas.     

Seketika Karina langsung terdiam dan menundukkan kepalanya.     

Dan Dimas kembali bertanya kepada Mentari.     

"Tari, apa yang sudah Tantemu lakukan kepadamu, ayo jujur saja sama Om, tidak usah takut,"     

"Sebenarnya, Tante Karina itu ...."     

Karina melirik tajam ke arah Mentari.     

"Iya, apa? katakan saja,"     

"Tante ...."     

"Ayo katakan sekarang Mentari,"     

"Tante Karina tidak jahat kepadaku, Om. Mungkin perlakuannya tadi karna Tante, sedang hilaf akibat Kak Sandra yang sedang sakit," jelas Mentari.     

"Tuh kan, Mas, benarkan?!" Karina memegang pundak suaminya, "aku tadi hanya sedang hilar saja, Mas,"     

"Lepas!" bentak Dimas.     

"Tari, Om tahu kalau kamu sedang berbohong, kamu itu gadis baik dan tidak bakat berbohong, jadi tolong bicara jujur saja dengan Om,"     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.