Bullying And Bloody Letters

Bukan Suka Tapi Kagum



Bukan Suka Tapi Kagum

0Dan tepat saat itu juga, datang seorang pria bertubuh tinggi berkulit putih dan juga tampan lewat di depan mereka.     
0

Seketika Fanya menghentikan tertawaannya.     

Dan matanya tertuju kearah pria itu.     

      

"Alvin," sapa Fanya kepada pria itu.     

Rupanya pria itu bernama Alvin, anak pindahan yang kurang lebih baru satu minggu ini berada di sekolah ini.     

Dan dia adalah teman satu kelas dengan Fanya.     

Fanya rupanya sangat tertarik dengan Alvin sejak awal bertemu dengannya.     

Tapi Alvin tampak cuek melihatnya, dia sama sekali tidak peduli dengan Fanya. Meski Fanya seorang ketua OSIS dan sangat popular di sekolah tapi semua itu tak membuat Alvin tertarik kepadanya.     

"Alvin, kamu mau ke kelas ya?" tanya Fanya.     

Tapi Alvin tak menjawabnya, hanya sedikit senyuman sinis kepadanya.     

Fanya tak peduli akan hal itu dan dia kembali mengajak bicara Alvin.     

"Alvin kita ke kelas bareng yuk!" ajak Fanya penuh antusias.     

Alvin masih tak menjawabnya lalu dia berjalan melewati Fanya begitu saja, dan meraih kaca mata milik Mentari kemudian memberikan kepada Mentari dan membantu Mentari bangun.     

"Ini kaca matanya, lain kali jadi cewek itu jangan bodoh, kalau masih sama-sama manusia di lawan aja," ketus Alvin.     

Mentari menjadi terdiam mematung, lidahnya seolah keluh dan tak bisa bergeming.     

Dia hampir tak percaya, seorang pria setampan Alvin ternyata memiliki hati yang baik dan mau menolong orang sepertinya, di depan Fanya, gadis yang memiliki paras cantik dan sangat popular.     

      

Alvin pun langsung pergi begitu saja dari hadapan, Mentari dan juga Fanya, sementara Fanya, hanya melihat kepergian Alvin dengan tatapan nanarnya.     

Masih tak bergeming, dia masih tak percaya dengan kejadian ini.     

Dan seorang Fanya yang selalu jadi pusat perhatian itu, kali ini hanya di abaikan begitu saja.     

      

Semakin geram Fanya melihat Mentari, di tambah lagi, Alvin mengabaikannya dan malah membantu Mentari menemukan kaca matanya.     

"Oh, kamu itu benar-benar menyebalkan ya!" teriak Fanya sambil menjambak rambut Mentari.     

"Aww! sakit, Kak!" teriak Mentari.     

"Heuehh! MENYEBALKAN!" teriak Fanya sambil berlalu pergi.     

      

Sementara Mentari masih berada di tempat sendiri dan berdiri mematung sesaat.     

Dan tepat saat itu ada yang menepuk punggungnya dari belakang.     

Mentari menoleh dan melihat siapa yang sedang menepuk pundaknya itu.     

"Cinta,"     

Dan Cinta pun tersenyum, dia memberi bahasa isyarat kepada Mentari, seperti sebuah ledekkan, tentang kejadian yang baru saja dia alami itu.     

Cinta, meledek karna Mentari baru saja di tolong oleh Alvin tadi.     

Tapi Mentari, tidak begitu paham dengan apa yang sudah di katakan oleh Cinta itu.     

"Ah, Cinta, kamu bicara apa sih? aku tidak tahu," cerca Mentari.     

Dan Cinta pun menggandengkan tangan Mentari, lalu mereka berjalan beriringan.     

      

Layaknya seperti sebuah persahabatan pada umumnya, Cinta tampak sering mengajak Mentari berbicara, tapi Mentari  terkadang tidak tahu apa yang  di maksud dari ucapan Cinta.     

"Cinta, aku sekarang mau masuk ke kelas, jadi tolong jangan ganggu aku ya," pinta Mentari.     

Dan Cinta pun mengangguk kepadanya.     

Kemudian Cinta pun menghilang dari hadapan Mentari.     

Dan Mentari  mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas.     

Dan di dalam kelas sudah ada Laras yang sejak tadi sudah menunggunya,     

"Tari!" panggil Laras.     

Segera Mentari melepas tas gendongnya, lalu dia duduk di samping Laras.     

"PR udah selesai?" tanya Laras.     

"Udah kok," jawab Mentari.     

"Ajari nomor 9 dong, aku masih bingung rumusnya."     

"Ow, iya, mana bukunya," Mentari mulai membuka tutup bolpoinnya, sementara Laras mulai mengeluarkan bukunya.     

Dengan sabar Mentari mengajarkan rumus fisika yang sedang di tanyakan oleh Laras itu.     

      

Ketika dua sahabat itu sedang asyik membahas rumus Fisika, tiba-tiba saja ada Alvin yang lewat tepat di depan kelas mereka.     

Dan tentu saja hal itu mengundang perhatian seisi kelas terutama bagi anak-anak perempuan.     

      

"Ya ampun itu anak baru kelas 11A, 'kan?"     

"Iya, namanya Alvin,"     

"Ganteng banget ya?"     

"Ih, parah,"     

Para siswi mulai membahas tentang Alvin dan hal itu tentu saja, membuat Mentari dan Laras jadi menengok ke arahnya.     

Dan tak teras bibir Mentari pun mengukir sebuah senyuman saat melihatnya.     

"Tari," panggil Laras.     

Tapi Mentari tidak menghiraukannya, dia masih asyik melihat Alvin sambil tersenyum -senyum sendiri.     

"Tari, kamu gak apa-apa, 'kan?" tanya Laras.     

Dan Mentari masih juga melamun dan pandangannya terarah ke Alvin, padahal Alvin sudah mulai menjauh dari kelasnya.     

"Tari!" Laras sampai melambai-lambaikan tangannya di depan mata Mentari.     

Seketika Mentari pun kaget dan mulai tersadar.     

"Eh, iya, ada apa, Laras!" ucapnya yang reflect.     

"Duh, kamu lihat Alvin sampai bengong dan kayak orang kesurupan tau," oceh Laras.     

"Ah, masa sih?" ucap Mentari yang sedikit gugup.     

"Kamu suka ya sama, Alvin?" tanya Laras yang terang-terangan.     

Dan seketika Mentari langsung menggelengkan kepalanya secara heboh.     

"ENGGAK!" ucapnya dengan tegas.     

"Duh, ngomong enggaknya biasa aja dong," cerca Laras.     

"Eh, tapi...."     

"Tadi aku lihat kamu itu senyum-senyum sendiri pas lihat, Alvin,"     

"Ah, itu ...."     

"Udah ngaku ajalah, kita, 'kan teman!"     

"Ah, sebenarnya aku bukannya naksir ke dia tapi karna aku ...."     

"Iya, kamu kenapa?"     

"Aku lebih kagum kepadanya, kalau naksir sudah pasti enggaklah, aku tahu diri kok, aku ini siapa dan Alvin itu siapa,"     

"Yah, jangan gitu dong, Tari, kita juga berhak jatuh cinta ke siapa pun,"     

"Iya, tapi harus lihat-lihat kondisi jugalah, gak boleh asal jatuh cinta,"     

"Ow, iya, Tari. Kamu bilang hanya kagum sama Alvin, memangnya kagum karna apa?"     

"Karna dia baik." jawab singkat Mentari.     

"Baik?"     

"Iya, baik,"     

"Dari mana kamu tahu kalau Alvin itu baik? kamu kan gak kenal dia!"     

"Aku memang gak kenal dia, tapi aku tahu kok, kalau Alvin itu orangnya sangat baik hati,"     

"Waw, pakai hati, maksudnya? bisa bicara dengan detail?"     

"Ah, jadi gini, tadi aku bertemu Kak Fanya dan—"     

"Dan apa? dia ganguin kamu ya?!" tebak Laras yang spontan.     

"Tunggu dong, aku lanjutin dulu ceritaku," tahan Mentari.     

"Oh ok, maaf. Silakan di lanjutkan."     

"Jadi Kak Fanya memang benar mengangguk, bahkan dia mendorongku sampai terjatuh—"     

"Oh my God! terus kamu gak apa-apa?!" Laras meraba-raba dan memeriksa seluruh keadaan Mentari.     

"Laras! aku belum selesai cerita!"     

"Oh, iya maaf... terus?"     

"Aku terjatuh, lalu kaca mata ku terjatuh juga, dan dia menendangnya,"     

"Gila, Kak Fanya itu jahat banget ya!" lagi-lagi tak sadar Laras menyela pembicaraan Mentari.     

"Uppss, maaf ...." Laras pun kembali tersenyum karna menyadari kesalahannya.     

"Hufft ... Laras,"     

"Lanjut, hehe,"     

"Terus aku tidak bisa menemukan kaca mataku, dan datanglah Alvin menolongku, dia mengambilkan kaca mataku yang terlempar jauh lalu membantuku bangun," jelas Mentari.     

"WHAT?! TARI! KAMU BERUNTUNG BANGET, DI TOLONGIN SAMA, ALVIN!" tak sadar tingkah reflect Laras memancing perhatian seisi kelasnya.     

"Upps!"     

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.