Bullying And Bloody Letters

Tahu Diri



Tahu Diri

0Bel istirahat nyaring terdengar, kini Mentari dan Laras pun berjalan keluar kelas.     
0

"Tari, kantinnya ramai banget, gak usah ke sana ya?"     

"Ya, sudah, kita ke bangku taman aja ya, aku bawa bekal kok," jawab Mentari.     

"Wah, serius?"     

"Iya,"     

"Tumben banget,"     

"Uya, karna, aku kemari  masaknya kebanyakan, dan di rumahku hanya ada aku, Om dan Tante masih menunggu, Kak Sandra di rumah sakit,"     

"Kaka?"     

"Ah, bukan Kaka sih, lebih tepatnya sepupu,"     

"Oh, iya, Tari, kamu kan belum cerita banyak kepadaku, terutama tentang keluargamu. Apa sepupu yang kamu. Maksud itu adalah Sandra anak kekas 12B ya?" tanya Laras.     

"Iya,"     

"Oh, jadi dia sepupumu. Tapi aku lihat kalian tidak pernah sekalipun berangkat atau pun pulang bersama-sama, kalian tinggal dalam satu rumah kan?"     

"Iya,"     

"Terus kenapa dia tidak mau pulang dan berangkat satu mobil saja denganmu?" cecar Laras yang merasa sangat penasaran,     

Sementara Mentari hanya terdiam.     

"Bahkan aku tak sengaja, sempat dengar kamu memanggilnya dengan sebutan, Non?" Laras menatap lekat Mentari, "itu kan panggilan untuk seorang pembantu kepada majikan, kenapa kamu mau melakukan hal itu?" cecar Laras     

Mentari menarik nafasnya dalam-dalam.     

"Sebenarnya aku tidak mau menceritakan ini semua kepada siapa pun, tapi berhubung kamu adalah sahabatku, jadi aku akan bercerita sekarang."     

Dan Mentari akhirnya menceritakan segala sesuatu yang sudah di alaminya selama ini,     

Terkait segala perlakuan Sandra dan juga Karina kepadanya.     

      

"Ya ampun, Tante sama sepupu kamu itu tega banget sih, Tari," Laras tampak bersedih mendengar cerita dari Mentari itu.     

"Harusnya kamu itu bicara saja sama Om kamu, dia harus tahu, kalau kamu di perlakukan tidak baik," tutur Lara yang menasehati Mentari.     

"Aku gak berani, Ras, karna Om ku sering pergi, aku lebih sering bersama Tante, maka dari itu, Tante dan Sandra akan lebih parah menyiksaku jika akan berbicara dengan Om Dimas."     

"Tapi Om kamu itu kan sangat sayang sama kamu, Tari, jadi kamu tidak usah takut, Om kamu pasti akan melindungimu."     

"Aku tidak yakin, karna Om Dimas sering pergi, bisa saja kan Tante dan Sandra akan mengambil kesempatan menyiksaku saat Om pergi?"     

"Enggak, pasti enggak, kamu harus bilang jujur kepada Om Kamu Dimas, karna ini sudah tidak bisa di biarkan, aku ypakin dia akan melindungimu, meski dia sering pergi,"     

"Tapi ...."     

"Tapi, apa lagi?"     

"Aku takut, karna aki nanti hubungan Om Dimas dan juga istrinya akan berantakan gara-gara aku," Wajah Mentari tampak memelas.     

"Terus mau sampai kapan kamu akan menderita?" tanya Laras sambil melebarkan pupil matanya.     

Laras benar-benar gemas dengan sikap Mentari yang tidak mau tegas ini.     

Dia yang melihatnya saja sudah kesal sendiri, bagaimana jika dia menjadi Mentari, yang harus rela di perlakukan seperti pembantu, di beri uang jajan pas-pasan, tidak pernah di belikan baju baru dan hanya menggunakan baju bekas milik Sandra.     

Padahal kalau di lihat-lihat, Omnya sangat kaya raya, sampai jarang pulang karna mengurus bisnisnya yang ada di mana-mana, bahkan mendengar kata Mentari, jika dahulunya mereka adalah orang miskin, dan semua kekayaan dari Om dan Tantenya adalah peninggalan orang tua Mentari.     

Harusnya mereka tidak berterima kasih kepada Mentari, karna sudah merubah hidupnya yang miskin menjadi sangat kaya raya. Bukannya malah menyia-nyiakan Mentari seperti ini.     

Mereka juga tidak perlu menjadikan Mentari sebagai pembantu, karna kondisi keuangan mereka lebih dari cukup untuk membayar seorang asisten rumah tangga.     

Tapi entah bagaimana bisa Tantenya Mentari memperlakukan Mentari sekejam itu, dia benar-benar tidak habis pikir, dan kenapa juga Mentari selemah ini. Dia tahu Mentari itu orang yang penakut dan sangat pasrah, tapi dia pikir tidak separah ini.     

      

"Tari, aku gak mau tahu, kamu harus berbicara langsung sama Om kamu, kamu harus memberi pelajaran untuk Tante dan juga sepupumu uang jahat itu!" tegas Laras.     

Tapi ada jawaban dari Mentari, dia hanya terdiam dan menunduk saja.     

"Huuft, ok aku gak tahu apa yang membuat mu merasa sulit untuk mengatakan ini, tapi aku selalu berharap suatu hati nanti, dan secepatnya kalau bisa kamu membongkar ini semua, karna aku tidak rela melihat kamu menderita begini, Tari,"     

Tari mengangkat sedikit kepalanya, lalu tersenyum tipis kepada Laras.     

"Iya, Laras, mungkin suatu hari nanti aku akan membongkarnya, tapi entah kapan itu,"     

"Baik, aku akan menunggunya, Tari, dan aku harap secepatnya." Tegas Laras, mencoba mempengaruhi Mentari.     

      

"Yasudah ayo makan, kamu bawa makan apa?" tanya Laras.     

"Aku bawa, spaghetti, karna kebetulan di kulkas ada bahan-bahan ini," jelas Mentari.     

"Wah, kayaknya enak, mau coba dong," Laras langsung meraih tempat makan Mentari.     

"Wah, enak banget loh, padahal usah dingin, tapi rasanya gak kalah, sama yang ada di restoran," puji Laras, sambil menikmati spaghetti-nya.     

"Spaghetti kan masaknya gampang banget, dan hampir semua orang pasti bisa, jadi menurut ku kamu mujinya berlebihan deh," ledek Mentari.     

"Ugh, sombong sekali ya, aku gak bisa masaknya, jangankan buat spaghetti, bikin mie instan aja suka kelembekan," tukas Laras yang begitu jujur.     

"Ah, haha parah banget,"     

"Ih, iya serius, aku gak jago masak, makanya Mamaku ngelarang aku main di dapur, karna jatuhnya malah mubazir buang-buang makanan kalau aku yang masak,"     

"Ya ampun separah itu? haha, kamu itu bisa masak kok, cuman kamu hanya butuh sedikit belajar aja, karna semua itu butuh proses gak langsung instan," kata Mentari.     

"Yah, tapi aku usah nyerah," jawab singkat Laras.     

"Mau aku ajarin?"     

"Emmm," Laras menggelengkan kepalanya, "enggak,"     

"Oh, kok gitu, harus mau dong," paksa Mentari.     

"Enggak ah, aku lebih memilih makan aja, yang gak perlu belajar, hehe," jawab Laras sambil tertawa tidak berdosa.     

"Ugh! dasar!"     

      

Lagi-lagi saat mereka sedang asyik bercanda, Alvin kembali lewat di depan mereka.     

"Ssst...." Laras menyenggol tangan Mentari.     

"Ada apa?" tanya Mentari.     

"Alvin," lirih Laras sambil melirik ke arah Alvin.     

Seketika Mentari langsung melihat ke arah Alvin sesaat, lalu kembali dia menoleh ke arah Laras.     

"Ih kok, diam aja? action dong!" ujar Laras menyemangati sahabatnya.     

"Ah, apaan sih, itu sama aja aku mempermalukan diriku sendiri,"     

"Ih, mempermalukan apa sih, Tari?"     

"Ya mempermalukanlah, masa cewek jelek kayak aku deketin cowok seganteng Alvin, itu namanya gak tahu diri,"     

"Ah ya enggak, dong, apa pun wujud kita, tetap saja kita harus memperjuangkan keinginan kita, terutama saat mengejar cowok yang kita sukai," tutur Laras yang menceramahi Mentari.     

"Ye siapa yang suka dia, aku kan hanya kagum bukan suka!" tegas Mentari.     

"Kok, biasa aja dong jangan ngegas," ledek Laras, "kalau kayak gitu, malah semakin kelihatan sukanya,"     

"Ih, enggak kok,"     

"Eh, udah deh please!"     

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.