Bullying And Bloody Letters

Sosok Yang Berbeda



Sosok Yang Berbeda

0"Eh, maksudnya apa?!" emosi Laras pun kembali tersulut.     
0

"Laras, udah dong, jangan emosi," tukas Mentari mencoba menenangkan sahabatnya.     

"Dia itu menyebalkan, sok pahlawan! sudah begitu sok paling capek lagi!" cerca Laras, "kita, Kan juga capek!" timpalnya.     

Sesaat Alvin melirik ke arah Laras dengan sinis, lalu dia melanjutkan pekerjaannya lagi, dia tidak mau memperpanjang masalahnya.     

Dan Alvin juga mempercepat pekerjaannya dua kali lipat.     

Setelah itu dia meninggalkan mereka berdua.     

"Alvin!" teriak Mentari memnaggil Alvin.     

Alvin pun menoleh ke arah Mentari.     

"Tunggu!" teriak Mentari sekali lagi.     

"Ada apa?" tanya Alvin sambil menghentikan langkahnya.     

Mentari berlari menghampirinya, sementara Laras masih di belakang sedang merapikan pakaiannya, bekas terkena debu.     

"Ada apa?" tanya Alvin.     

"Aku, mau berterima kasih kepadamu, sekaligus meminta maaf kepadamu atas sikap Laras," jelas Mentari.     

"Itu aja,"     

Mentari mengangguk, "Ok," jawab singkat Alvin.     

Dan Alvin pun langsung berjalan pergi begitu saja meninggalkan Mentari.     

"Loh, kok main pergi aja," gumam Mentari lalu dia pun kembali mengejar Alvin.     

"Apa lagi?" ketus Alvin.     

"Kamu belum jawab ucapanku tadi," tukas Mentari.     

"Kamu gak dengar, tadi aku sudah jawab OK?"     

"I-iya, aku dengar, tapi itu bukan jawaban yang tepat, Alvin,"     

"Terus maunya di jawab apa?!" cantas Alvin.     

Dan seketika Mentari tertunduk, "Ya paling tidak kamu harus bilang sudah memaafkan kami atau tidak memaafkan kami, begitu mungkin," ucap Mentari ragu-ragu.     

Dan Alvin pun menggelengkan kepalanya, lalu dia pun berlalu pergi begitu saja.     

Mentari kembali mengangkat wajahnya dan gantian dia yang menggelengkan keplaanya. Kali ini dia tak mengejarnya lagi, dan membiarkan Alvin berjalan menjauh.     

Dia tidak habis pikir ada orang seperti Alvin yang sangat cuek tapi baik hati.     

"Ya sudahlah, perkara dia mau memaafkan ku atau tidak, yang terpenting aku sudah meminta maaf kepadanya," ucap Mentari.     

"HEY!" teriak Laras mengagetkan Mentari.     

"Eh, Laras! ngagetin aja, jantungku hampir copot, nih," keluh Mentari.     

"Haha! berlebihan banget, masa jantung segala mau copot!" kelakar Laras.     

"Ih, Laras, nih,"     

"Kamu ngapain ngejar Cowok Jutek, itu?"     

"Ah ...."     

"Pasti bilang terima kasih ya?"     

"Ih, kok kamu tahu sih?"     

"Ya, tahu dong, Tari. Kamu kan orangnya baik banget, pasti kalau belum bilang terima kasih kepada orang yang sudah berbuat baik kepadamu, nanti malamnya kamu gak bisa tidur haha!" ledek Laras.     

"Ya gak gitu juga kali!" sangkal Mentari.     

"Udah, kamu itu minta maafnya gak usah berlebihan kayak begitu, nanti yang ada dia malah besar kepala, cowok belagu macam dia mah, jangan terlalu banyak di puji,"     

"Aku gak muji, Laras, tapi aku ngomong apa adanya ke Alvin, terus kalau aku bilang terima kasih karna dia sudah menolong kita, apa itu termasuk memuji?"     

"Huftt, entalahlah,"     

"Yasudah ayo kita pulang!" ajak Mentari penuh semangat.     

"Ayuk!"     

Mereka berdua pun berjalan sambil bergandengan tangan, melewati lorong sekolahan.     

Dan entah mengapa tiba-tiba saja Laras merasa merinding.     

Bolak-balik dia meraba leher belakangnya yang seluruh bulu sekitanya mulai berdiri,     

"Tari kamu merinding enggak sih? kok aku merinding banget ya?" tanya Laras,     

"Emmm ...." Tiba-tiba tarasa ada sentuhan yang dingin dibagian tangan kanannya, dan rupanya itu adalah Cinta.     

"Hah?! kamu ngagetin aja!" bentak Mentari.     

Tentu hal itu membuat Laras menjadi bingung.     

"Ada apa sih?" tanya Laras.     

"Dia datang, Ras,"     

"Siapa?!" tanya Laras.     

"Cinta," lirih Mentari.     

"Hah! apa?!" Laras mendadak ketakutan mendengarnya, dan pantas saja sejak tadi dia merasa merinding saat bergandengan tangan dengan Mentari.     

"Please, Tari, kamu jangan mengada-ngada, aku beneran takut nih," Laras melirik ke bagian tangan kanan Mentari.     

Memang tidak ada siapa pun, tapi dari hawa merinding yang dia rasa membuat Laras mempercayai ucapan Mentari.     

"Aku, gak bohong, Laras," tegas Mentari.     

"Akh, iya deh aku percaya, tapi hari ini aku gak bisa pulang barsama denganmu," ucap Laras, lalu dia pun langsung berlari terbirit-birit.     

"Eh, Laras! tunggu! kita pulang bareng ya!" teriak Mentari.     

"Maaf, Tari! lain kali aja!" sahut Laras yang ketakutan.     

"Yah, aku pulang sendirian, deh," keluh Mentari.     

"Huuft, Cinta. Kamu itu lagi-lagi, membuat Laras takut, kan kasihan dia,"     

Cinta pun malah tertewa mendengar Mentari yang sedang mengocehinya.     

"Please, jangan tertawa dong, aku lagi kesel nih sama kamu,"     

Cinta Langsung menarik tangan Mentari dan kembali mengajaknya berjalan.     

Mentari melewati gerbang sekolah dengan masih bergandengan tangan bersama Cinta.     

Tak ada yang bisa melihat Cinta, kecuali dirinya sendiri.     

Bahkan orang-orang terkadang melihat Mentari dengan tatapan aneh, karna Mentari yang tak sadar terkadang berbicara sendiri.     

Hingga Mentari juga tak sadar tengah berjalan melewati Alvin yang sedang behenti dan mengotak-atik motornya yang rusak.     

Dan di saat itu Cinta melirik sesaat ke arah Alvin sambil tersenyum.     

Tentu saja Alvin tidak bisa melihat Cinta.     

"Kamu lihat apa?" tanya Mentari.     

Lalu Cinta menunjuk ke arah Alvin.     

"Alvin?"     

Dan Cinta mengangguk, "Sedang apa dia di sini?" tanya Mentari.     

Lalu Mentari melihat dengan teliti terhadap apa yang di lakukan oleh Alvin saat ini.     

"Motornya mogok ya?"     

Dan Mentari pun langsung memutar arah langkah kakinya, lalu menghampiri Alvin.     

"Apa perlu bantuan?" tanya Mentari kepada Alvin.     

Alvin tak menjawabnya, tapi meski begitu, Mentari tak mau menyerah, dan dia kembali bertanya lagi kepada Alvin.     

"Apa butuh bantuan?"     

"Memangnya kamu siap mendorong motorku?" tanya Alvin yang terang-terangan.     

Mentari terdiam sesaat, dan hal itu membuat Alvin merasa yakin jika Mentari tidak akan mau menolongnya.     

Alvin pun tersenyum sinis menyapa Mentari.     

"Kenapa? gak mau kan?" Alvin kembali tersenyum tipis menyepelekan Mentari.     

"Mending kamu pulang sana! sama teman kamu yang ngeselin itu!" cantas Alvin.     

"Teman yang negeselin?" Mentari menarik sedikit alisnya, "maksud kamu Laras?" tanya Mentari.     

"Iya!" Alvin bertolak pinggang, "memangnya siapa lagi!?"     

Huuuft... Mentari menghela nafas berat, "Tadi kan aku sudah minta maaf kepadamu, tapi kamu hanya menjawabnya Ok, apa itu artinya kamu tidak menerima permintaan maafku, untuk temanku?" tanya Mentari.     

"Iya, karna temanmu tidak meminta maaf langsung kepadaku, lagi pula untuk apa kamu meminta maaf untuknya?"     

"Ya, karna dia adalah sahabatku,"     

"Meski sahabatmu, apa kamu harus meminta maaf kepadaku untuk nya?"     

"Iya!"     

"Kenapa?"     

"Karna dia sangat berarti bagiku, teman bagiku adalah segalanya, karna hanya dia orang yang mau menjadi sahabatku," jelas Mentari.     

"Benarkah?!"     

"Iya, kamu tahu aku jelek, aku sering di hina dan aku tidak pandai bergaul!" nada bicara Mentari sedikit tinggi, "dan dia satu-satunya orang yang mau bertan denganku apa adanya!" tegas Mentari.     

Kembali Alvin tersenyum sinis, "Kamu itu terlalu miris ya?" Alvin menggelenglan kepalanya, "Kamu yang ceria dulu sangat berbanding terbalik dengan kamu yang sekarang, Tari," tukas Alvin dengan suara beratnya.     

Mentari sejenak terdiam karna mendengar ucapan Alvin itu, entah mengapa Alvin bisa berbicara begitu kepadanya.     

Ini terasa sedikit aneh seolah-olah Alvin sudah mengenalnya saja sejak lama.     

"Kenapa kamu diam?" Alvin selangkah mendekat dengan Mentari, "kamu kaget ya aku bisa bicara begitu?" tanya Alvin.     

Sekali lagi, Mentari merasa bingung dengan ucapan Alvin.     

"Aku memang sudah mengenalmu sejak lama bahkan sejak kita masih sama-sama duduk di bangku sekolah dasar," terang Alvin.     

Seketika Mentari mendongakkan kepalanya dengan mulut sedikit menganga.     

"Maksudnya apa?" tanya Mentari yang masuh belum mengerti.     

"Apa kamu lupa dengan seorang siswa SD pindahan bertubuh gemuk dan suka di tindas waktu itu?" tanya balik Alvin, yang mencoba memancing ingatan Mentari.     

Mentari masih berpikir keras Mengingat-ingat masa SD-nya dulu.     

Dan melihat Alvin dan Mentari tampak asyik mengobrol, akhirnya Cinta pun memilih untuk oergi menjauh dari mereka berdua. Cinta tidak mau mengganggu mereka berdua.     

"Kamu masih belum ingat juga ya, Tari?" tanya Alvin.     

Dan seketika ingatan Mentari mulai terbuka, diamulai berhasil, mengingat masa lalunya.     

Dulu saat dia mesih duduk di kelas 3 sekolah dasar, ada seorang murid baru pindahan dari luar kota. Tapi dia anak kelas 5.     

Namanya Alvin, anak lelaki bertubuh tambun, bekacamata dan memakai kawat gigi.     

Teman-temannya selalu mengejek fisik Alvin.     

Alvin merasa tidak menyukai perlakuan teman-temannya yang sering mengejeknya itu.     

Tapi Alvin masih berusaha untuk tetap tenang, dan mencoba biasa saja saat mereka terus meledek fisiknya.     

Alvin berusaha untuk tetap tersenyum, meski sejujurnya itu sangat menyakitkan baginya,     

Bahkan mereka yang mendekati Alvin hanya ingin meledeknya saja, dan setelah itu menertawakannya, bahkan kadang ada yang mendekatinya karna ingin mendapatkan di terakrir oleh Alvin.     

Intinya, mereka yang mendekati Alvin hanya menginginkan sesuatu dari Alvin.     

Selama berada di sekolah itu, Alvin merasa sangat tertekan, dan bahkan berkali-kali dia merengek kepada orang tuanya agar bisa pindah sekolah.     

Tapi tentu saja, orang tuanya tidak bisa mengiyakannya begitu saja. Karna untuk pindah sekolah membutuhkan banyak persyaratan.     

Meski begitu, Alvin tak menyerah, dia tetap memaksa orang tuanya agar mau memindahkannya dari sekolah tersebut.     

Hingga akhirnya Alvin berhasil membujuk orang tuanya, tapi dengan catatan ketika dia sudah selesai ujian kenaikan kelas 6 baru orang tuanya akan mengurus surat pindahnya.     

Selama menunggu pindah sekolah tiba, Alvin menahan segala ketidak nyamanannya dan perasaannya.     

Dia hanya bisa melihat teman-temannya yang tampak ceria, tak terkecuali dengan seorang adik kelas perempuan yang bernama Mentari.     

Dia begitu kagum dengan Mentari, dia adalah seorang anak yang sangat manis, ceria, dan juga baik hati.     

Mentari memiliki banyak teman dan tidak pernah memilih-milih dalam berteman, termasuk dengannya.     

Mentari selalu membagikan coklat atau oleh-oleh dari sang ayah kepada teman-temannya ketika ayahnya baru saja pulang dari luar kota.     

Alvin sangat mengagumi sosok Mentari, karna hanya Mentari yang mau mendekati dan berteman dengannya tanpa pamrih, meski mereka beda kelas. Dan tentunya hubungan mereka menjadi semakin dekat.     

Mulai dari situ dia menjadi sedikit betah berada di sekolah itu, namun ketika ujian kenaikan kelas sudah usai, Alvin pun akhirnya pindah sesuai dengan yang dijanjikan oleh kedua orang tuanya.     

Dan hal itu membuatnya merasa bahagia, tapi juga merasa bersedih, karna dia harus rela berpisah dengan Mentari.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.