Bullying And Bloody Letters

Salah Paham



Salah Paham

0Dimas dan Mentari pun pergi ke sebuah mal yang tak jauh dari rumah mereka, sementara, Sandra dan juga Karina, sedang periksa lanjutan ke rumah sakit hari ini.     
0

Mereka datang berdua saja, tanpa adanya Dimas.     

      

Sedangkan Dimas malah asyik-asyikan jalan-jalan bersama Mentari.     

"Kamu pilih saja, baju yang pas untukmu ya," tukas Dimas kepada Mentari.     

"Tidak usah beliin, Mentari baju mahal, Om. Mendingan uangnya di tabung aja, lumayan bisa buat keperluan sekolah," tukas Mentari.     

Bahkan Mentari malah masih memikirkan keperluan sekolahnya di banding kesenangannya.     

Terlihat jelas jika selama ini, Mentari sampai harus memikirkan pula kebutuhan sekolahnya dengan uang jajan pas-passannya.     

      

"Urusan sekolah itu urusan Om, kamu hanya tinggal belajar saja, tidak usah memikirkannya!" tegas  Dimas.     

"Tapi, Om—"     

"Sudah, pilih saja baju-baju yang bagus, bila perlu biar Om bantu," cantas Dimas     

Dan Mentari pun akhirnya menuruti apa yang di ucapkan oleh Dimas itu.      

      

Beberapa jam kemudian.     

"Om, ini gak salah, belanja baju sebanyak ini?" tanya Mentari yang keheranan, karna ini adalah kali pertamanya dia di belikan baju baru dan sebanyak ini.     

"Apa, ini sebagian untuk, Kak Sandra?" tanya Mentari lagi.     

Dan Dimas dengan tegas menggelengkan kepalanya.     

"Tidak, itu hanya untuk kamu, Sandra sudah terlalu sering beli baju, lagi pula baju yang saya belikan untuk mu juga di pakai Sandra kan?"     

Mentari kembali terdiam, apa yang di ucapkan Dimas memang benar, tapi Mentari tidak bisa mengatakan, 'iya' karna dia merasa tidak enak kepada Dimas dan takut kepada Karina.     

"Aku tahu Mentari, kamu tidak akan pernah mau mengatakan keburukan istri dan anakku, entah apa pun alasanmu itu aku sudah tidak peduli, yang jelas sekarang aku hanya ingin menjagamu, seperti janjiku kepada kedua orang tuamu dulu," tutur Dimas.     

Mentari kembali menunduk, dia begitu terharu dengan ucapan pamannya itu, tak sadar sampai menjatuhkan air matanya.     

"Terima kasih, Om." Tukas Mentari.     

"Sudah-sudah jangan menangis lagi ya," tukas Dimas menenangkan Mentari.     

"Ayo kita ke tempat selanjutnya," ajak Dimas.     

"Kemana lagi, Om?"     

"Udah, ayo ikut saja,"     

      

      

Tempat yang di kunjungi selanjutnya adalah, ke sebuah salon kecantikan.     

"Nah, di sini," ucap Dimas.     

"Hah, apa ini tempat apa? bukanya ini salon ya, Om?"     

"Iya, betul,"     

"Terus kita, mau ngapain? dan sejak kapan, Om Dimas pergi ke salon?" tanya Mentari dengan polosnya.     

Benar-benar seumur hidupnya dia hampiri tidak pernah pergi ke salon kecantikan, terakhir dulu saat ibunya masih hidup.     

      

"Om, ngapain nagajakin aku ke sini? aku gak biasa ke tempat seperti ini,"     

"Udah, pokoknya masuk aja," jawab Dimas, "Mbak, tolong buat keponakan saya ini menjadi cantik ya," tukas Dimas, kepada karyawan salon.     

"Baik, Pak," jawab karyawan salon dengan sangat ramah.     

      

Mereka pun langsung makeover Mentari, habis-habisan.     

Di mulai dari rambut ikal Mentari yang panjang kusut dan tak terawat itu, mereka mulai memotongnya dengan gaya rambut yang sedang tren serta di sesuaikan denagn bentuk wajah Mentari yang sedikit oval.     

Lalu mereka langsung, mengangganti jenis rambutnya yang awalnya kriting menjadi lurus.     

Mereka melakukan itu, karna Dimas ingin penampilan Mentari benar-benar berubah drastis dari sebelumnya.     

Sehingga mereka sampai merubah model rambut asli, milik Mentari.     

Setelah, itu mereka juga mewarnainya dengan warna yang di sesuaikan dengan warna kulit dari Mentari juga.     

Kemudian dari model rambut kini berpindah kebagian wajah, mentari di rias dengan gaya, makeup natural tapi elegan seperti tren anak remaja masa kini.     

Bahkan mereka juga merekomendasikan beberapa skin care untuk perawatan wajah Mentari.     

      

***     

Beberapa jam kemudian, Mentari keluar dari ruangan salon dan menemui sang paman, dengan penampilan barunya.     

Seketika, Dimas di buat syok dengan penampilan baru Mentari.     

"Mentari, ini beneran Mentari ya?" tanya Dimas yang merasa tidak percaya.     

"Iya, Om. Kenapa?" Mentari melihat ke dirinya sendiri, "Tari, aneh ya, Om?" Mentari merasa tidak percaya diri.     

Dimas langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat dan langsung menjawab pertanya Mentari dengan cepat.     

"Enggak sama sekali, justru kamu cantik banget, Tari!" jawab Dimas.     

"Yang bener, Om? tapi kok, Tari ngerasa gak percaya diri ya?"     

"Udah, kamu cantik banget, harus percaya diri dong?" Dimas mengacungkan kedua jempolnya.     

"Ini baru keponakan, Om Dimas!" puji Dimas kepada Mentari penuh bangga.     

"Masa sih, Om?"     

"Udah diam saja, sekarang kamu tunggu di sini, Om mau bayar dulu," ucap Dimas.     

"Iya, Om."     

      

      

Setelah itu mereka pun hendak pulang, dan sebelum memasuki mobilnya, Mentari tampak sangat resah.     

"Tadi, pasti Om Dimas, ngeluarin banyak uang ya, buat Tari?"     

"Enggak, juga, hanya beberapa juta, saja," Jawab Dimas santai.     

"Hah?! Jutaan?!" Mentari langsung syok mendengar ucapan Dimas.     

"Udah, biasa aja lah, gak usah syok begitu," tukas Dimas lagi, yang masih  denagn gaya santainya.     

"Tapi, hanya untuk hal yang tidak penting seperti ini, Om Dimas sampai menguarkan uang jutaan, itu sangat kebanyakan, Om,"     

"Itu, gak seberapa, Tari. Uang Ayah kamu itu masih banyak, bahkan kamu belum seberapa merasakan harta dari orang tuamu sendiri, justru Anak, Istri, Om yang malah sudah menikmatinya." Tutur Dimas.     

"Tapi, bagaimana kalau nanti, Tante Karina marah karna hal ini, aku tidak mau di pukul lagi, Om!" Upss ... seketika Mentari menutup mulutnya yang keceplosan itu.     

Tentu saja hal ini membuat Dimas semakin kesal dan semakin membenci Karina.     

      

"Jadi, selain di perlakukan tidak adil, kamu juga sering di pukuli ya?" tanya Dimas.     

Seketika Mentari terdiam, "Walaupun kamu tidak mau jujur. Om tidak peduli, toh Om akan mengetahui kebenarannya sendiri," lirih Dimas.     

"Tari," Dimas mengelus, rambut Mentari dengan lembut.     

Dan tak sadar air mata Dimas mulai terjatuh.     

Hatinya terasa sakit, melihat Mentari seperti ini, dia benar-benar menyesal sudah mempercayai istrinya.     

Padahal selama ini Mentari melewati hari-hari yang sulit sendirian.     

Dimas merasa sudah karna sudah  mempercayakan semua kepada istrinya.     

Dia sudah terkena tipu daya Karina yang seolah-olah baik seperti malaikat.     

Padahal pada kenyataannya sangatlah jahat.     

"Loh, Om Dimas, kenapa nangis?" tanya Mentari.     

Dan Dimas langsung memeluk Mentari dengan lembut, dengan nafas yang terisak-isak.     

"Om, benar-benar merasa bersalah, Tari, Om tidak becus mengurusmu,"     

Perlahan Mentari melepaskan pelukan Dimas, lalu dia memberikan sebuah sapu tangan untuk pamannya.     

"Jangan menangis, Om. Om gak salah, Mentari malah merasa sangat beruntung memiliki Om Dimas,"  tutur Mentari.     

Dimas merasa terharu mendengar ucapan Mentari.     

"Tari, kamu itu benar-benar anak yang baik, hati kamu itu entah terbuat dari apa,  Om masih heran kenapa anak dan istri Om jahat kepadamu,"     

"Sudah lah, Om, jangan bahas itu lagi, kita pulang yuk,"     

"Iya," Dimas mengangguk.     

      

Mereka berdua mulai memasuki mobil, dan pelan-pelan mobil pun mulai berjalan.     

Sambil pelan-pelan mengendarai mobilnya, Dimas masih mengajak Mentari mengobrol.     

"Gimana dengan sekolahmu, Tari?"     

"Emm, lancar si, Om."     

"Bagus, gimana dengan teman-temanmu?"     

"Teman-teman?"     

"Iya,"     

Mentari tampak bingung menjawabnya, karna sesungguhnya, di sekolah tak banyak orang yang mau menjadi temanya. Dan semua itu tentu saja karna fisik dan penampilannya.     

"Kenapa diam, Tari? apa teman-temanmu juga berlaku buruk kepadamu?" tanya Dimas.     

"Akh, enggak kok, Om. Tari punya teman, ada beberapa," jawab Mentari.     

'Eh, ngomong-ngomong soal teman, kenapa Cinta sejak tadi tidak ada, tumben,' batin Mentari.     

"Oh, begitu ya, pokoknya kalau ada teman kamu yang jahat dan tidak sopan denganmu, apa lagi sampai menyangkut soal fisik, jangan segan-segan untuk bilang, kepada, Om ya," pinta Dimas.     

"Iya, Om." Jawab Mentari.     

      

Dan di tengah-tengah perjalanan mereka, tiba-tiba, Mentari melihat Alvin tengah berada di bengkel yang kemarin.     

"Eh, itu salah satu teman baik, Tari, Om," tukas Mentari sambil menunjuk Alvin.     

Dimas berpikir orang yang di maksud oleh Mentari itu adalah seorang gadis yang juga ada di bengkel itu.     

"Kanu mau menemuinya?" tanya Dimas.     

"Gak usah, Om. Kita pulang aja, Om kan capek," jawab Mentari.     

Meskipun Mentari tidak mau berhenti, tapi Dimas tahu kalau sebenarnya, Mentari ingin menemui temannya itu.     

Dan tanpa berpikir panjang, Dimas menghentikan laju mobilnya.     

      

Ckiiit....     

"Loh, kok berhenti, Om?" tanya Mentari.     

"Ayo, turun," ajak Dimas.     

"Loh, kenapa?" Mentari masih tampak bingung.     

"Ayo perkenalkan, Om, dengan  temanmu itu, karna Om juga ingin mengenalnya," tukas Dimas.     

"Tapi, Om,"     

"Sudah ayo!"     

Dan mereka pun turun lalu menghampiri orang yang di maksud oleh Mentari itu.     

"Temanmu, gadis yang menggunakan baju warna merah itu ya?" tanya Dimas.     

"Bukan, Om, tapi yang pakek, jaket warna hitam," tukas Mentari sambil menunjuk kearah Alvin.     

Dimas pun sedikit kaget, saat melihat ternyata, teman Mentari itu seorang laki-laki.     

"Dia?!" tanya Dimas sambil menunjuk Alvin.     

Mentari pun tersenyum sambil mengangguk, "Iya, Om,"     

"Hah?!" Dimas syok.     

"Alvin!" teriak Mentari memanggil Alvin.     

Dan Alvin pun langsung menengok ke arahnya.     

"Eh, siapa?" tanya Alvin yang tak mengenali wajah Mentari.     

"Alvin, kamu beneran gak kenal aku?" tanya Mentari.     

"I-iya sih, emang kamu siapa?"     

"Aku, Mentari!" jawab Mentari tegas.     

"Hah?!"     

"Kenapa? kamu kaget ya karna melihat keponakanku yang cantik ini!?" cantas Dimas.     

"Terus ini siapa?" Alvin menunjuk ke arah Dimas.     

"Oh, dia Om ku," jawab Mentari dengan ramah.     

"Om?"     

"Iya!"     

'Apa jangan-jangan Om, yang dimaksud Mentari itu Om yang—' pikiran Alvin mulai ke mana-mana.     

"Om, kenalin, ini adalah Alvin sahabat, Tari, sejak SD," jelas Mentari.     

Dimas tidak langsung mengulurkan tangannya, dan dia masih melihat ke arah Alvin. Dia menatap Alvin dari atas ke bawah, dia takut jika Alvin adalah pria yang tidak baik untuk keponakannya.     

Begitu pula dengan Alvin, dia masih berpikiran yang tidak-tidak kepada Dimas.     

'Masa iya, Mentari jadi sugar bdar?' batin Alvin.     

"Loh, kok malah pada melamun sih?" Mentari memegang tangan mereka masing-masing dan memaksa mereka untuk saling berkenalan.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.