Bullying And Bloody Letters

Menghamburkan Uang



Menghamburkan Uang

0Karina masih memutar otak untuk mencari cara menyingkirkan Yuni.     
0

Karna baginya Yuni semakin mempersulit hari-harinya.     

Yuni sudah membuat dia tidak leluasa untuk menghabisi Mentari.     

"Apa aku menyuruh preman saja ya, untuk mencelakai dia?"     

Lalu dari luar kamarnya, terdengar seseorang mengetuk pintu.     

      

Tok tok tok!     

Ceklek!     

"Ada apa, Sandra?"     

"Ma, aku bosan di kamar, ayo kita keluar," ringik Sandra.     

"Tapi apa kamu sudah mendingan?" tanya Karina.     

"Sudah, Ma. Aku sudah baik-baik saja,"     

"Yasudah kalau begitu, kamu siap-siap saja, nanti biar Mama antarkan kamu pergi,"     

"Beneran, Ma?"     

"Iya, beneran dong, lagian Mama juga pusing berada di rumah, Mama ingin cari angin,"     

"Ok, kalau gitu tungguin ya, Ma!"     

"Iya, Sandra!"     

Sandra pun tampak sangat bahagia dia mulai memilih-milih pakaian yang akan dia kenakan.     

Dan dia melihat sebuah dress warna merah jambu, yang selama ini menjadi baju kesayangannya.     

Lalu Sandra meraihnya, dan hendak memakainya.     

Tapi dia baru ingat jika lehernya masih sakit dan masih ada gips yang terpasang di lehernya.     

Seketika dia melempar dress itu ke lantai bersama hanger yang masih terpasang.     

"Ah sialan! kenapa leherku masih sakit sih!" Sandra tampak begitu kesal.     

"Kalau begini aku tidak bisa bergaya, tidak bisa memakai dress kesayangan. Dan rasanya sangat menyebalkan!"     

Lalu dari luar kamarnya terdengar suara ibunya yang sedang memanggilnya.     

"Sandra! sudah belum, Sayang!?"     

"Iya sebentar, Ma ...!"     

"Kok, suara Sandra kayak lagi nangis sih?" tukas Karina.     

Lalu Karina pun membuka pintu kamar putrinya tanpa mengetuk pintunya dahulu,     

Ceklek!     

"Sandra, kamu kenapa nangis?" tanya Karina.     

Tapi Sandra tak menjawabnya dan dia masih terdiam sambil memegangi dress kesayangannya yang dia lemparkan tadi.     

"Kenapa dengan bajunya?" Karina memungutnya, "kok di buang sih?" tanya Karina.     

"Bajunya gak bisa di pakai, Mah!" tukas Sandara dengan mata yang berkaca.     

"Loh kenapa, Sayang?"     

"Mama, gak lihat, leher, Sandra masih sakit?!"     

"Owh, iya." Karina memeluk Sandra. "Sabar ya, Sayang, kita pilih baju yang lain ya?" Sandra pun mulai memilihkan pakaian yang lainnya.     

"Pakai yang ini, Ya?" tanya Karina sambil menjereng sebuah kemeja ke arah Sandra.     

Tapi Sandra pun tak peduli dan dia diam saja dengan wajah kesal sambil melipat kedua tangannya.     

"Sudah sini, biar Mama bantu pakaikan," Karina dengan sabar memakaikan kemeja itu untuk putrinya.     

Sementara, Sandra tampak pasrah dengan wajah cemberutnya.     

"Senyum dong, Sayang, jangan cemberut," rayu Karina.     

"Mau sampai kapan sih, Ma! aku harus memakai benda sialan di leher ini!?"     

"Ya, sampai kamu sembuh, Sayang!"     

"Iya, sampai kapan?!"     

"Ya, sabar, Sayang, sebentar lagi juga di lepas. Sekarang sudah tidak sesakit waktu itu kan, yang artinya sebentar lagi lehermu sembuh dan kamu tidak akan menggunakan gips itu," tutur Karina yang mencoba menenangkan putrinya.     

"Huh, Sandra bosan, Ma! Sandra gak bisa bebas!"     

"Sabar, dan sekarang biar Mama, bantu kamu dandan ya," Karina juga dengan Sabar merias wajah putrinya.     

"Udah sekarang kamu sudah cantik, ayo kita pergi, dan jangan pikirkan apa pun lagi."     

Karina meraih tangan Sandra.     

"Ayo kita pergi sekarang! waktunya kita bersenang-senang!" tukas Karina penuh semangat.     

      

Dan mereka berdua pun akhirnya pergi dengan mengendarai mobil berdua saja.     

"Kita akan pergi kemana, Ma?"     

"Terserah kamu aja, Sayang, Mama akan ikut kemana pun kamu ingin pergi,"     

"Kita ke Mol aja deh, Ma. Sekalian aku juga pengen nonton film terbaru," tukas Sandra.     

"Ok, kita deal." Jawab Karina penuh semangat.     

Dengan mengendarai mobil cukup kencang dan di iringi musik dengan volume yang sangat keras.     

Mereka berdua seolah sedang melepaskan segala kekesalan mereka.     

Terutama Karina, dia rasanya benar-benar ingin melupakan masalahnya sepenuhnya.     

      

      

Dan beberapa saat berlalu, mereka pun sampai di sebuah mol yang cukup besar di daerah Jakarta.     

"Ayo, Sayang, waktunya kita hambur-hamburkan uang hari ini!" ajak Karina sekaligus menyemangati putrinya.     

"Iya, Ma. Kebetulan pakaian Sandra sudah mulai membosankan!"     

"Nah, makanya, kita belanja sesuka hati kita,"     

"Mah, aku beli tas baru ya?"     

"Iya, kan sudah Mama bilang, beli saja apa yang kamu mau,"     

"Ok, siap Ma!     

      

      

Dan mereka berdua pun mulai memborong pakaian-pakaian, tas, makeup, tak lupa Sandra juga membeli beberapa sepatu, yang tentu saja dengan harga yang tak murah.     

"Ma, kayaknya udah cukup deh, kita bayar ke kasir yuk,"     

"Kamu, yakin, segini aja?" tanya Karina.     

"Yakinlah, Ma. Ini sudah banyak banget,"     

"Ok," Karina mulai membawa semua belanjaan mereka ke kasir.     

"Eh, Ma!"     

"Iya, ada apa?"     

"Mama, yakin belanja sebanyak ini?"     

"Loh, ya yakinlah!"     

"Apa, gak apa-apa?"     

"Ya, enggak, emangnya kenapa?"     

"Sandra, cuman takut kalau, Papa, nanti marah, karna kita sudah berbelanja sebanyak ini,"     

"Udah tenang aja, Papa, urusannya sama, Mama!"     

"Tapi ...."     

"Tapi, apa lagi sih, Sandra?"     

"Sandra takut, nanti Mama sama Papa bertengkar lagi, apa lagi sekarang hubungan kalian sedang tidak bagus, terus kalau nanti Papa marah, gara-gara ini bagaimana?"     

"Sudah, kamu jangan mikir yang aneh-aneh! biar itu semua menjadi urusan Mama dan Papamu!"     

"Ah, iya deh, Ma," Akhirnya Sandra pun menuruti apa ucapan ibunya.     

Sampai terhuyung-huyung mereka membawa belanjaan itu ke kasir.     

"Ini semuanya, Bu?" tanya sang kasir yang tampak heran.     

"Iya!" jawab ketus Karina, "kenapa? heran ya lihat orang kaya?"  tanya balik Karina dengan nada-nada menyindir.     

Sang Kasir pun hanya bisa menggelengkan kepalanya dan mengelus dada.     

"Mau, bayar, kes atau debit?" tanya Kasir lagi.     

"Debit!" jawab Karina dengan ketus. Kemudian sang Kasir mulai menghitung belanjaan mereka.     

Setelah beberapa menit berlalu, si Kasir sudah selesai menghitung barang-barangnya.     

"Abil, Bu, total semua belanjaan 100 juta. Bisa di berikan kartu debitnya?" tanya Kasir.     

"Ok, ini!" jawab Karina sambil menyodorkan kartu debitnya.     

Si Kasir pun mulai menggesekkannya di mesin kartu.     

"Maaf, bisa ketik nomor pinnya," kata kasir itu.     

Dan Karina pun juga langsung mengetik nomor pinnya.     

"Maaf, Bu, gagal, kartunya tidak bisa di pakai, ada kartu lain mungkin?" tanya kasir itu lagi.     

"Hah, gagal?!" Karina pun tampak heran, "beberapa hari lalu aku mendapat transferan sekitar 200 juta, bagaimana mungkin tidak bisa di pakai?!" tukas Karina yang mulai bingung.     

Dan si Kasir pun mencobanya kembali, tapi lagi-lagi tidak bisa.     

"Maaf, Bu kartunya benar-benar tidak bisa," tukas Kasir itu dengan sabar.     

"Mesin kamu rusak ya?!" bentak Karina.     

"Maaf, mesin kami tidak rusak, mungkin ada kartu lain?" si Kasir mencoba menanyakan kembali kartu yang lain.     

"Ada, saya pakai kartu kredit aja!" Karina menyodorkan kartunya.     

Tapi lagi-lagi kartunya tidak bisa di pakai, dan ternyata kartu kredit milik Karina sudah di bekukan oleh Dimas.     

"Maaf, ada kartu lain lagi?" tanya Kasir itu     

      

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.