Bullying And Bloody Letters

Gila Harta



Gila Harta

0"Memangnya kenapa?" tanya Alvin lagi.     
0

Dan Mentari pun kembali mengusap air matanya, tapi kali ini dengan kedua tangannya, "Ini adalah, tempat kami dulu saat menghabiskan waktu bersama, kami sering melihat live musik di sini," jelas Mentari.     

"Mentari, maafkan aku ya, karna sudah membuatmu bersedih," Alvin menyeka air mata Mentari.     

Mentari pun kembali tersenyum, "Gak apa-apa kok, Alvin, lagian aku juga seneng kok, bisa datang di tempat ini lagi. Aku bisa bernostalgia," tukas Mentari.     

Dan Alvin turut tersenyum karna melihat Mentari yang juga tersenyum.     

'Senyuman Mentari itu masih sama, tidak berubah sama sekali, sama-sama cantik seperti dulu,' batin Alvin.     

"Yasudah, ayo pesan makanan," Alvin menyodorkan daftar menu kafe itu kepada Mentari.     

"Aku, samain sama kamu aja deh," jawab Mentari.     

"Oh, gitu, ok,"     

      

Suasana malam di kafe itu begitu hangat, kilau lampu dan alunan live musik jazz yang di suguhkan kepada para pengunjung menambah suasana kafe kian romantis.     

Tapi entah mengapa hati Mentari tak bisa tenang.     

Dia masih memikirkan Karina dan juga Sandra. Pasti sepulangnya nanti mereka akan menghajar mentari habis-habisan.     

"Tari, kamu kenapa kayak gelisah gitu sih?" tanya Alvin. "Kamu mikirin apa?"     

"Aku, takut nanti, Tante bakalan marah besar  Vin," jawab Mentari. Dan Alvin pun menggelengkan kepalanya.     

"Tari, Tari, ngapain sih mikirin mereka, biarkan saja, mereka tidak akan berani menghajarmu lagi."     

"Tapi aku takut, Vin. Kita pulang aja yuk,"     

"Nanti, tunggu Om Dimas, pulang,"     

"Kenapa harus nunggu, Om Dimas?"     

"Ya, karna aku sudah mengabari Om Dimas, dan dia bilang akan kemari menjemputmu, jadi aku akan jauh lebih tenang kalau kamu pulang dengan, Om Dimas," jelas Alvin.     

"Kamu sampai mengabari, Om Dimas?"     

"Iya, sengaja, aku juga udah cerita semua kok, tentang perlakuan Tante kamu tadi,"     

"Apa?!"     

"Loh, kenapa? kok kamu kaget sih, Tar?"     

"Ya, aku justru yang kaget, kenapa kamu sampai sejauh itu?"     

"Sejauh itu bagaimana? aku kan hanya ingin melindungimu,"     

"Tapi, kamu tidak perlu melakukan hal itu, Vin,"     

"Tari, kamu masih mikirin dua orang jahat itu ya?" Alvin menatap lekat ke arah Mentari, "udahlah, jangan pikirkan mereka lagi, lupakan mereka!"     

"Tapi, mereka itu keluargaku?"     

"Tari, mana ada keluarga sejahat itu kepada anggotanya. Kamu selalu di sakiti oleh mereka, sudah saatnya kamu bangkit dan melawan mereka!" tegas Alvin.     

"Tapi—"     

"Tari, dengar aku, jangan hiraukan mereka meski mereka memelas sekalipun, karna bisa saja itu semua hanya pura-pura,"     

"Vin—"     

"Jangan pikirkan apa pun kecuali dirimu sendiri. Ingat kamu pun berhak untuk bahagia,"     

Akhirnya, Mentari pun terdiam tanpa bicara, dan kembali menyendok makanannya.     

Dan tak lama Dimas pun datang menghampiri mereka.     

"Eh itu, Om Dimas!" tukas Alvin sambil menunjuk ke arah Dimas.     

Dan dengan senyuman tipis Dimas menghampiri mereka berdua.     

"Hey, sudah selesai makan malamnya?" tanya Dimas.     

"Oh, sudah Om," jawab Alvin sambil meraih tangan Dimas untuk cium tangan, dan di lanjutkan oleh Mentari.     

"Tari, mau pulang sekarang?" tanya Dimas.     

"Ah, boleh, Om," jawab Mentari.     

"Eh, tapi perut Om, agak perih kayaknya Om telat makan, Om makan dulu ya?"     

"Eh, yasudah kalau begitu,"  jawab Mentari.     

"Iya, pesen makan aja Om, kita tungguin kok," sambung Alvin.     

"Ok, kalau begitu, saya pesan makanan dulu, terus kalian mau pesan apa, biar Om yang traktir,"     

"Gak usah, Om, Tari kenyang,"     

"Saya, juga kenyang, Om," imbuh Alvin.     

"Yasudah tunggu sebentar ya,"     

"Ok, santai, Om,"     

      

Mereka bertiga masih tampak asyik berada di kafe, sementara di rumah, Sandra dan Karina sedang uring-uringan.     

"Gimana, Sandra, lehernya masih sakit?"     

"Enggak kok, Ma, udah mendingan," jawab Sandra.     

"Mama, benar-benar gak habis pikir dengan Papa kamu, kenapa dia setega ini," keluh Karina.     

"Ma, udah dong, jangan ngomongin itu, karna itu, Sandra pusing dengarnya," keluh Sandra.     

"Ya, habis gimana Sandra, Mama stres banget mikirin ini semua, Mama harus bagimana? Mama gak punya banyak uang, 500 ribu hari gini buat apa coba?!"     

"Akh, please jangan bicara lagi, Ma Sandra pusing, Sandra pengen istirahat!"     

Lalu Karina pun memilih untuk pergi saja.     

"Yasudah kamu istirahat di kamar aja, Mama mau balik ke kamar Mama sendiri!" ketus Karina.     

Dan Sandra pun sama sekali tak menjawabnya.     

      

      

Ceklek!     

Jediar!     

Karina membuka dan menutup pintunya dengan kasar.     

"Akh, benar-benar hari yang menyebalkan!"     

Karina langsung berbaring di kasurnya.     

Dan dari luar dia mendengar ada sebuah mobil yang masuk ke area garasi.     

Dan tentu saja mobil itu adalah mobil suaminya.     

Karina langsung terbangun dan mengintip suaminya dari jendela kamarnya.     

"Itu, Mas Dimas, sama siapa?" Karina tampak penasaran saat, Dimas tengah membukakan pintu mobilnya untuk seseorang.     

Dan setelah melihatnya, ternyata wanita itu adalah mentari keponakannya.     

Karina pun semakin murka.     

"Dasar sialan! Aku sedang kesulitan begini, tapi dia seenaknya jalan-jalan dengan suamiku!"     

Nafas Karina mendadak menderu kencang, dan terasa sangat sesak di dadanya.     

Kini suaminya yang lembut dan selalu menuruti apa pun kamaunya, kini berubah menjadi sangat kejam, dan tidak mau lagi mendengar ucapannya.     

"Semua itu gara-gara, anak Kamila Sialan itu!" umpatnya.     

      

Karina pun langsung keluar dari kamarnya, lalu menemui anak dan keponakannya itu.     

"Mas!" teriak Karina.     

Dimas pun langsung menoleh ke arah mereka istrinya.     

"Ada apa?" tanya Dimas dengan kaku.     

"Kamu dari mana saja, Mas?!" tanya Karina.     

Huuuuft... Dimas menghela nafas sesaat.     

"Kamu tidak lihat aku baru saja pulang kerja?" jawab Dimas.     

"Iya, tapi kenapa harus pulang dengan dia!?" Karina menunjuk ke arah Mentari dan Mentari menunduk.     

"Terus kenapa kalau aku pulang dengan keponakanku, anak dari Kakakku?" tanya balik Dimas, "apa ada yang salah?"     

"Tentu saja salah! kamu itu hanya memberi uang bulanan untukku 500 ribu, sampai aku tidak bisa senang-senang, dan sekarang  kamu malah asyik bersenang-senang dengan anak iblis itu?!" Kembali Karina menunjuk ke arah Mentari.     

"Diam kamu, Karina! yang iblis itu kamu bukan, Tari!" teriak balik Dimas kepada istrinya.     

"Ok, sekarang aku mau minta, jatahku! tolong kembalikan uang bulananku seperti semula!"     

"Apa?! uang bulanan mu?!"     

"Iya, memangnya kenapa?!"     

"Uang segitu sudah cukup, Karina!"     

"Cukup, Mas?! cukup kamu bilang?!"     

"Iya, dan kalau kurang kamu kan bisa jual, tas-tas dan sepatu kamu yang harganya sampai ratusan juta itu, biar kamu tidak lagi kekurangan uang!" usuk Dimas.     

"Apa kamu pikir aku tidak sayang dengan benda-benda itu, sampai aku tega menjualnya?!"     

"Ya itu urusan kamu, lagi pula kamu membeli itu semua dari uang keluarga Mentari, jadi kamu tidak perlu menyimpannya terlalu banyak!"     

"Mas! gila ya kamu!?"     

"Kamu itu yang gila, Karina! Kamu itu tidak hanya jahat, tapi juga serakah dan gila harta!"     

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.