Bullying And Bloody Letters

Ini Salahnya



Ini Salahnya

0Di sebuah ruang perawatan rumah sakit, tampak Dimas tengah berbaring tak sadarkan diri, dengan selang infusan yang melekat di tangannya, kepala Dimas juga di perban.     
0

"Om Dimas, ayo cepat sadar dong, Tari, khawatir Om, ayo bangun Om, Tari mohon ...."     

 "Sabar, Non Tari, Mbak Yuni  yakin kalau Pak Dimas baik-baik aja, jadi Non Tari jangan khawatir ya," tukas Yuni menenangkan Mentari.     

Tapi nampaknya hati Mentari masih tidak tenang.     

      

Ceklek!     

"Tari!" teriak Laras yang baru saja datang menghampiri Mentari.     

"Laras," Mentari pun langsung berpelukan dengan Laras, dan di belakang Laras sudah ada Alvin yang juga turut datang untuk menengok keadaan Dimas.     

"Gimana keadaan, Om Dimas?" tanya Alvin.     

"Ya, begitulah, Vin, Om Dimas masih belum sadar juga," tutur Mentari sambil menangis.     

"Kamu yang sabar ya, Tari," tukas Alvin.     

Alvin juga turut memeluk Mentari.     

"Iya, makasi ya, Alvin."     

Mereka berempat pun terpaksa harus bermalam di rumah sakit. Sementara Sandra berada di rumah neneknya, sedangkan Karina masih berada di kantor polisi, dia pun sudah pasti akan bermalam di kantor polisi.     

      

      

Tak terasa malam pun kini sudah berganti pagi, Dimas juga sudah mulai siuman.     

"Saya ada di mana ini?" tukas Dimas yang kebingungan.     

"Om Dimas!" Mentari pun langsung terbangun dari kursinya dan menghampiri Dimas.     

"Om, syukurlah, Om sudah bangun, Tari seneng banget, Om ...."     

"Tari, apa yang sudah terjadi?" tanya Dimas.     

"Om, kemarin Om pingsan, kepala Om Dimas, terluka parah, karna di pukul oleh Tante Karina."     

"Oh, iya,  Om baru ingat," Dimas berusaha untuk bangun.     

"Eh, tunggu Om, tiduran aja, jangan bangun!" pinta Mentari.     

Dan Dimas pun mulai merasakn sakit di kepalanya, akhirnya dia menuruti ucapan Mentari untuk kembali tidur.     

"Om jangan banyak gerak dulu, kepala Om masih sakit," tukas Mentari.     

"Di mana Yuni?"     

"Mbak, Yuni sedang ke toilet, sedangkan Laras dan Alvin baru saja pulang." Jelas Mentari.     

"Oww, terus Karina?"     

"Tante ...."     

"Tante kamu dimana, Tari?"     

"Tante di kantor polisi, Mbak Yuni sudah melaporkannya."     

"Huuuftt ... wanita itu sudah gila!" umpat Dimas.     

"Tari, sebaiknya kamu benar-benar harus menjauh, sekarang tidak ada alasan lagi  bagimu untuk melarang Om Dimas, menceraikannya," tutur Dimas.     

Mentari hanya bisa menunduk terdiam.     

"Aku tahu kamu itu orang yang sangat peduli dan hati kamu juga sangat baik, tapi tidak untuk mereka, karna mereka terlalu jahat untukmu," ucap Dimas memberi wejangan kepada Mentari.     

"Tapi, Om. Tari sangat merasa bersalah, karna ini semua juga karna Tari,"     

"Bukan Tari! Ini bukan salahmu, tapi karna mereka memang sangat serakah!"     

"Om, jangan cerai dengan Tante ya," mohon Mentari.     

"Loh, memangnya kenapa?"     

"Tari, gak mau kalau gara-gara, Tari  Om jadi cerai sama Tante, Tari jadi merasa bersalah, Om."     

"Kan, sudah Om bilang kalau kamu itu tidak salah, mereka semua yang salah,"     

"Tapi, tetap saja Om, Tari merasa sangatlah bersalah, ini salah Tari, hik .... "     

"Tari, sudah," Dimas mengelus rambut Mentari.     

"Kamu tidak salah, Tari, jangan takut, dan kamu juga tidak perlu merasa bersalah,"     

      

      

Dan tak lama, Yuni pun datang menghampiri mereka.     

"Eh, Pak Dimas sudah bangun rupanya." Yuni pun menghampiri Dimas.     

Dia meraih tangan Dimas sembari menanyakan keadaannya.     

"Pak Dimas, sudah merasa mendingan?" tanya Yuni.     

"Ah, sudah lumayan, hanya sedikit pusing saja," jawab Dimas.     

"Maafkan saya, Pak Dimas, karna saya Pak Dimas jadi terluka," tukas Yuni yang merasa tidak enak.     

"Ini semua bukan salah kamu, Yuni, entah mengapa hari ini semua orang terus-terusan meminta maaf kepadaku, padahal ini bukan salah kalian," pungkas Dimas.     

Yuni dan Mentari pun hanya terdiam. Menunduk tak bergeming.     

"Justru aku merasa sangat bersyukur kepada kalian, karna adanya kalian sekarang aku sedikit merasa tenang dan mendapat keyakinan, bahwa aku memang benar-benar harus menceraikan Karina." Ungkap Dimas.     

"Lalu kalau, Bapak, menceraikan bu Karina, bagaimana dengan Non Sandra?" tanya Yuni.     

Mentari melirik kearah Yuni dan mengisyaratkan bahwa dia sependapat dengan Yuni.     

"Sandra itu anakku, ya sudah pasti aku akan merawatnya dan mencukupi kebutuhannya," tutur Dimas.     

"Iya, memang sebaiknya begitu, Pak Dimas, tapi saya rasa Non Sandra, pasti tidak mau tinggal bersama Pak Dimas lagi," ucap Yuni.     

"Iya, aku tahu, tapi mau bagaimana lagi, aku dan ibunya sudah pasti tidak akan bisa bersama lagi,"     

"Lalu, apa Pak Dimas akan memaksa Non Sandra agar mau tinggal di rumah Non Tari lagi?"     

"Tidak! Aku akan membiarkan dia pergi di mana pun dia mau, asal dia merasa nyaman, yang penting aku akan memenuhi kebutuhannya."     

"Iya, Pak,"     

      

      

***     

Sementara itu di rumah sang nenek, Sandra tampak sedang melamun sambil menangis.     

Duduk sendiri di halaman rumah dan menatap secangkir teh manis yang sejak tadi belum dia sentuh. Aneka camilan sebagai teman minum teh, kini suhunya sudah berubah menjadi dingin.     

"Sandra, sudah, Sayang, jangan terlalu pikirkan sekarang makan saja ya," tukas nenek Sandra.     

Sandra tak menjawabnya, dan dia masih terus menangis, suaranya memang tak terdengar, bahkan isak tangisnya juga tak ada, hanya saja air mata Sandra terus berderai tak terhenti.     

"Sandra, sabar, Sayang," ucap sang nenek lagi.     

Dan wanita tua itu terus mencoba menenangkan sang cucu.     

Perlahan tubuhnya yang ringkih memeluk Sandra.     

"Kamu tenang saja ya, Papa kamu pasti  akan melepaskan Mama kamu," lirih sang nenek.     

      

Dan mendengar ucapan sang nenek itu pun membuat Sandra langsung membuka mulutnya untuk menanggapi ucapan sang nenek.     

"Tapi, Nek! Meskipun Papa akan membebaskan Mama, tapi tetap saja mereka tidak akan bisa bersatu lagi, Nek."     

Neneknya seketika terdiam, wanita tua itu seolah mati kutu dan tak bisa menjawabnya lagi, tidak ada lagi cara untuk membuat cucunya bisa terhibur, atau setidaknya merasa tenang.     

Dia tahu jika apa yang di ucapkan Sandra itu hampir 100 ℅ akan terjadi.     

"Kenapa, Nenek, diam?" tanya Sandra. "Nenek, tidak. Bisa menjawabnya ya? Karna memang kenyataannya aku akan menjadi anak broken home?"     

"Sandra  jangan bicara seperti itu dong, Sayang, Nenek jadi sedih,"     

"Apa lagi Sandra, Nek, Sandra bukan hanya sedih tapi hancur, dan semua ini gara-gara ulah si Pincang itu!"     

"Sudah Sandra, kamu jangan menyalahkan orang terus, Mama kamu begini karna memang ulahnya sendiri!"     

"Nenek, kenapa malah membela, Tari?!" Seketika Sandra langsung berdiri dari duduknya, dan memandang wajah neneknya dengan kesal.     

"Harusnya, Nenek itu bela saya! Bukan bela gadis pincang itu!" teriak Sandra.     

"Nenek gak bela, Tari, Sandra!"     

"Terus kalau gak bela itu namanya apa?!"     

"Nenek, hanya mengatakan apa yang sudah Nenek lihat selama ini,"     

"Nenek, buta ya?!"     

"Astaga! Tega sekali kamu bicara begitu, Sandra!"     

"Ya, habisnya, Nenek juga tega sama Sandra!"     

"Nenek gak tega, Sayang, Nenek hanya ingin kamu itu mengerti mana yang salah dan mana yang benar!"     

"Ah, persetan dengan ucapan Nenek! Akun tidak mau dengar!" bentak Sandra.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.