Bullying And Bloody Letters

Gadis Gila



Gadis Gila

0Lalu Mentari pun menceritakan segalanya kepada Alvin.     
0

      

Termasuk tentang buku diary pemberian Cinta kepadanya.     

      

Bahkan Mentari juga memperlihatkan catatan dalam buku itu yang kebetulan belum terhapus dalam buku itu.     

      

"Entah mengapa, catatan ini masih ada sampai sekarang, biasanya setelah ku baca, tulisan dalam buku diary ini akan hilang secara sendirinya." Tutur Mentari.     

      

Dan Alvin pun membaca tulisan tangan Cinta dengan seksama.     

      

      

      

      

      

      

 'Dear diary     

      

      

      

Cinta gak tahu, kenapa semua orang membenci Cinta? Mama, Papa dan teman-teman membenci Cinta, padahal Cinta gak salah apa-apa, apa karna Cinta bisu?'     

      

Tulisan dalam buku diary Cinta.     

      

Alvin sangat bersedih membaca tulisan itu. Dia tak menyangka jika selama ini Cinta mengalami peristiwa yang teramat sulit.     

Ayah dan ibunya Cinta yang selama ini bertingkah baik dan terlihat sangat menyayangi Cinta bila di depannya, ternyata semua hanya sekedar topeng.     

Selama ini mereka sudah berbuat jahat kepada Cinta.     

      

Alvin sempat melihat Cinta yang  dulu mengalami luka memar di bagian tangannya. Dan hal itu membuatnya menduga jika mungkin saja ulah dari ayah dan ibunya Cinta. Bahkan luka memar itu tidak hanya satu atau dua kali saja dia lihat, tapi berkali-kali.     

Sempat Alvin menanyakan hal itu, tapi Cinta selalu mencari alasan untuk menjawabnya.     

Dia tidak pernah berkata jujur kepadanya, dia selalu berkata dengan alasan jatuhlah, terbenturlah atau apa pun.     

Memang terasa aneh dan Alvin juga sempat merasa curiga. Tapi kecurigaannya selalu berhasil di cegah oleh Cinta.     

Cinta selalu mengalihkan perhatian lain kepada Alvin sehingga Alvin lupa akan kecurigakannya.     

      

"Aku benar-benar menyesal, Tari, selama ini aku tidak tahu tentang penderitaan Cinta, padahal kami ini selalu dekat." Tutur Alvin.     

"Sabar ya, Alvin,"     

"Iya, memang hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini, hanya saja aku masih merasa penasaran, tentang siapa pembunuh Cinta, dan di mana jasad Cinta berada?"     

"Aku tahu akan hal itu, Alvin, aku pun juga merasa bingung di mana keberadaan jasad Cinta saat ini. Dan siapa yang sudah tega membunuhnya," tukas Mentari.     

"Cinta bukan hanya di sakiti oleh teman-temannya, tapi dia juga di sakiti oleh kedua orang tua kandungnya sendiri," ujar Alvin.     

"Iya, aku yakin dulu kehidupannya tak jauh berbeda denganku, sama-sama tertindas, hanya saja aku lebih beruntung di bandingnya, aku bisa mengenal, Laras, kamu, Cinta dan juga aku punya Om Dimas yang selalu menyayangiku," ucap Mentari.     

"Iya, Tari, kamu benar, kalau pun tidak ada aku dan Laras, tapi kamu masih punya Om Dimas, yang dengan tulus menyayangimu, berbeda dengan Cinta, dan dia hanya punya aku saja, sedangkan aku tidak tahu banyak tentang dirinya. Aku sangat menyesalinya, Tari," Mata Alvin mulai berkaca-kaca.     

Seketika Mentari meraih tangan Alvin dan mencoba menenangkannya.     

"Vin, sabar ya, tapi setidaknya sekarang kamu sudah mengetahuinya, di bandingkan tidak mengetahuinya sama sekali," ujar Mentari.     

"Iya, tapi sudah terlambat ,Tari, aku tidak bisa menolong Cinta, bahkan aku juga sudah tidak tahu di mana keberadaan Cinta sekarang!"     

"Tidak, Vin, kamu belum terlambat, kamu masih bisa membantu Cinta,"     

"Membantu apa, Tari? Sudah tidak ada lagi!" Alvin sudah tampak putus asa.     

"Tentu saja masih, Vin. Kita belum menemukan jasad Cinta, dan siapa pembunuhnya! Itu artinya sekarang kita harus mencari tahu soal itu," pungkas Mentari.     

"Iya, iya! Kamu benar, Tari! Aku masih ada kesempatan untuk membantu Cinta, kita memang tidak bisa menghidupkannya lagi, tapi kita masih bisa menemukan jasadnya, dan mencari tahu siapa pembunuhnya lalu mengungkap semunya!" tegas Alvin penuh yakin.     

Kini ada sedikit harapan dan semangat bagi Alvin, yang artinya, kehadirannya masih di perlukan bagi Cinta.     

      

Dan saat mereka masih asyik mengobrol, tiba-tiba Fanya mulai memasuki pintu kafe itu.      

Dia terkejut saat mengedarkan pandangannya dan seketika mendapati Alvin dan Mentari berada di tempat itu.     

Tentu saja sebuah hal yang menyebalkan bagi Fanya.     

Padahal kedatangannya di tempat ini, adalah untuk mencari hiburan, Karna hatinya sedang galau disebabkan bertengkar dengan Keysia sahabatnya.     

Dan sekarang dia malah bertemu dengan Alvin dan Mentari.     

      

Fanya tampak sinis melihat Mentari dan Alvin yang sedang mengobrol dan tampak sangat akrab.     

'Kenapa dari kemarin aku selalu sial sih!' batin Fanya.     

Sementara Mentari dan Alvin masih asyik mengobrol, mereka tak melihat akan kedatangan Fanya.     

      

Tanpa berpikir panjang Fanya pun langsung menghampiri meja mereka dan menggebrak meja dengan kencang.     

      

Brak!     

Seketika Mentari dan Alvin pun menjadi  kaget.     

"Fanya! Kamu itu apa-apaan?!" teriak Alvin.     

"Kalian yang apa-apaan?!" bentak balik Fanya.     

"Kita?!" Alvin tampak heran.     

"Iya, kalian!" teriak Fanya, "kalian kenapa bermesra-mesraan di sini!" teriaknya lagi.     

"Mesra-mesraan? Di sini?!" Alvin langsung berduri, "hey! Ini tempat umum!" teriak balik Alvin.     

"Aku gak peduli! Pokoknya aku benci kalian, dan itu terasa sangat menyebalkan!" ungkap Fanya.     

"Fanya! Kamu itu sudah gila ya! Benar-benar tidak waras! Bahkan kamu menyalahkan kami yang sama sekali tidak ada salah!" oceh Alvin yang tak terima.     

"Tentu saja kalian salah, terutama kamu, Vin! Jelas-jelas ada aku tapi kenapa kamu malah memilih gadis pincang itu! Aku jauh lebih baik di banding dia, Vin! Kenapa?!"     

"Kamu itu benar-benar sudah gila, Fanya. Kamu sudah marah-marah tidak jelas di depan umum. Kamu itu sudah tidak bisa berpikir normal rupanya,"     

"Vin, aku begini karna kamu, Vin!"     

"Lalu, haruskah aku menerima, seorang wanita gila menjadi pacariku?!"     

"Wanita gila? Apa maksudmu?!"     

"Tentu saja kamu!"     

"Kamu jahat ya, Vin. Padahal jelas-jelas aku begini karna kamu! Dan sekali lagi, aku tegaskan aku tidak gila, hanya saja aku tak terima kamu dan dia bahagia di atas penderitaanku!"     

"Oh, begitu ya? Tapi bukanya orang yang terlalu memaksakan orang untuk jatuh cinta, dan menyalahkan orang lain yang tak bersalah, lalu mengamuk di depan umum itu adalah gejala orang gila ya?" sindir Alvin.     

"TIDAK!" teriak Fanya dan seketika semua orang langsung melihat ke arahnya.     

"Lihat kan? Kamu beneran sudah gila. Sampai orang-orang saja melihatmu" tukas Alvin.     

Dan Alvin pun perlahan menggenggam tangan Mentari, dia tahu Mentari sedang ketakutan melihat Fanya yang marah.     

"Udah jangan takut," lirih Alvin kepada Mentari.     

Mentari hanya memandang ke arah Alvin sesaat tanpa kata, lalu dia kembali menunduk lagi.     

"Itu Apa-apaan!?" teriak Fanya yang melihat tangan Alvin menggenggam tangan Mentari.     

"LEPAS!" Fanya pun melepaskan paksa tangan Alvin dari tangan Mentari.     

"Diam kamu! Dasar sakit jiwa!" sergah Alvin.     

Lalu Alvin langsung menarik tangan Mentari dan mengajaknya pergi.     

Sementara Fanya masih berteriak-teriak tidak jelas, tak peduli jika semua orang tengah melihat ke arahnya.     

"HEY KALIAN MAU KEMANA?!" teriak Fanya.     

      

      

      

      

To be continued     

      

      

      

      

      

      

      

      

      

      

      

      

      

      

      

      

      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.