Bullying And Bloody Letters

Fanya Yang Terobsesi



Fanya Yang Terobsesi

0Mentari hanya memandang ke arah Alvin sesaat tanpa kata, lalu dia kembali menunduk lagi.     
0

"Itu Apa-apaan!?" teriak Fanya yang melihat tangan Alvin menggenggam tangan Mentari.     

"LEPAS!" Fanya pun melepaskan paksa tangan Alvin dari tangan Mentari.     

"Diam kamu! Dasar sakit jiwa!" sergah Alvin.     

Lalu Alvin langsung menarik tangan Mentari dan mengajaknya pergi.     

Sementara Fanya masih berteriak-teriak tidak jelas, tak peduli jika semua orang tengah melihat ke arahnya.     

"HEY KALIAN MAU KEMANA?!" teriak Fanya.     

      

      

Alvin tak peduli dan dia terus melangkah cepat meninggalkan Fanya. Sementara Mentari masih melirik Fanya walau sesaat, dia tampak kasihan melihat Fanya.     

Hanya karna rasa suka kepada seorang laki-laki, sampai dia berubah menjadi seperti orang yang tidak waras.     

      

"Alvin, kasihan, Fanya,"  Mentari kepada Alvin.     

"Biarkan saja, dia itu tidak bisa di kasihani, kalau di kasihani nanti dia bakalan ngelunjak!" ketus Alvin.     

"Tapi dia masih berteriak-teriak tuh,"     

"Biarkan saja, nanti juga security yang akan mengusirnya!" jawab Alvin.     

      

Dan benar saja, tak berselang lama, Fanya yang masih mengoceh tak karuan itu pun di seret oleh security, karna mengganggu pelanggan yang lainnya.     

"Ayo, cepat keluar!" paksa security itu.     

"Eh, apa-apaan sih!?" teriak Fanya.     

      

      

***     

      

Esok harinya, suasana sekolah sedikit terasa berbeda, mereka mulai menggunjingkan seseorang.     

Dan bahan gosip mereka siapa lagi kalau bukan Fanya.     

Yah, Fanya menjadi topik utama hari ini karna ada salah satu dari temannya sempat melihat tingkah bertualnya kemarin. Bahkan ada yang diam-diam merekamnya.     

Mereka tertawa-tawa sambil melihat aneh ke arah Fanya.     

Fanya mulai merasa aneh dan tak nyaman akan hal itu.     

Dia pun mulai mencari tahunya  dia merebut ponsel teman sekelasnya yang sedang asyik menonton vidio dirinya.     

Dan setelah dia menyaksikan sendiri, bahwa dia lah yang menjadi sumber perbincangan hari ini, tentu saja membuat Fanya menjadi murka.     

Seketika dia membanting ponsel itu hingga hancur berantakan.     

"Fanya!" teriak si pemilik ponsel.     

"Kenapa kamu melempar ponselku?!" tukasnya lagi yang merasa tak terima.     

"Kenapa, kamu bilang?!" Fanya langsung mendekat dan langsung meraih kerah baju anak itu lalu mencengkeramnya.     

"Kamu sudah berani melawanku ya?!" ancam Fanya.     

Gadis itu pun menjadi takut, dia hanya terdiam tanpa perlawanan dan hanyq meminta maaf saja.     

"Maafkan aku, Fanya ...!" tukas Gadis itu dengan penuh keyakinan.     

Lalu dia melepaskan kembali kerah baju temanya, dan selanjutnya Fanya mengedarkan pandangannya kearah teman-teman yang lainnya.     

"Dengar ya! Kalau sampai aku lihat masih  ada yang menyimpan vidio ku di ponselnya, maka harus siap-siap untuk mendapatkan masalah dariku!"     

Tak ada satu pun yang berani menjawab ucapan dari Fanya.     

Mereka hanya bisa terdiam saja. Mereka tahu Fanya pasti akan berbuat nekat kepada siapa pun yang mengganggunya.     

Apa lagi dia memiliku banyak uang untuk melakukan segalanya termasuk untuk berniat jahat.     

Maka dari itu mereka pun tidak mau mencari masalah dengan Fanya.     

Dan tak lama Alvin pun mulai memasuki kelas.     

Dia tampak merasa bingung karna suasana kelas mendadak senyap.     

Tak biasanya yang selalu ribut dan penuh gelak tawa.     

Dia melirik sesaat ke arah Fanya, dan Fanya juga melirik ke arah Alvin.     

Setelah itu Alvin pun langsung duduk dan pura-pura tak melihat Fanya. Karna sebenarnya, mamang dia sangat malas melihat wajah Fanya.     

Alvin tahu bahwa Fanya adalah tipe orang yang tak bisa di beri hati, dia akan cenderung menuntut jika terlalu baik kepadanya.     

Alvin pun sebenarnya merasa kasihan kepada Fanya, tapi karena alasan yang tadi membuatnya menjadi berbuat tega.     

      

      

Alvin kembali duduk tenang dan seolah-olah tak peduli dengan peristiwa kemarin atau pun peristiwa sekarang yang sedang menimpa Fanya.     

Sementara Fanya masih mengedarkan pandangannya ke arah Alvin dan seolah ingin sekali Alvin memerhatikannya, atau paling tidak dia bertanya tentang bagaimana perasaannya saat ini yang sedang kacau ini.     

Tapi sayangnya semua itu tak mungkin terjadi, karna Alvin tak pernah berubah, perasaannya cintanya kepada Fanya tidak akan pernah tumbuh, dan sekarang dia hanya menyimpan satu nama dalam hatinya, yaitu Mentari.     

      

Alvin memang menyukai Mentari, bahkan sejak dulu, ketika dia masih duduk di bangku sekolah dasar.     

Tapi hingga saat ini Alvin belum berani mengungkapkannya, dia tidak mau terlalu gegabah.     

Dia tidak ingin persahabatannya akan renggang karna perasaan cintanya.     

Sudah bertahun-tahun dia merindukan cinta, ingin bertemu dengan cinta, hingga akhirnya pun sampai pindah sekolah ke Jakarta.     

Padahal, dia bisa saja meneruskan sekolahnya di Surabaya hingga lulus, meski orang tuanya ada di Jakarta. Tapi Alvin tidak mau, dia memilih pindah ke Jakarta meski sekolahnya tinggal satu tahun lagi.     

Dia berharap keputusannya pindah ke Jakarta benar-benar bisa membuahkan hasil dan ternyata benar, dia benar-benar dipertemukan dengan Mentari.     

      

Dan kini dia bisa bersama Mentari dan bahkan bisa menggandeng tangannya, ini adalah suatu hal yang mirip mimpi.     

Begini saja Alvin sudah bahagia, apa lagi kalau bisa berpacaran dengan Mentari.     

      

      

***     

      

      

      

Tak berselang lama, Mentari pun sampai di rumahnya.     

"Aku langsung pulang ya, dan salam buat Om Dimas," ujar Alvin.     

"Iya, Vin. Hati-hati ya?" sahut Mentari.     

"Iya!" jawab Alvin sambil memutar gas motornya.     

      

      

Tok tok tok!     

Ceklek!     

"Tari, kamu baru pulang?" sapa Dimas.     

"Iya, Om, maaf, tadi ada sedikit urusan penting," jawab Mentari.     

"Oh, iya, gak apa-apa kok,"     

"Eh, Non Tari, mari masuk Non, Mbak Yuni sudah siapin makan malamnya lo," timbrung Yuni.     

"Yah, Tari, udah makan  Mbak,"     

"Yah, Non Tari, padahal Mbak Yuni udah siapkan lo." Yuni tampak kecewa     

"Yaudah, biar Tari makan, tapi Mbak Yuni juga ikutan makan ya,"     

"Ok, kebetulan saya juga belum makan, Non,"     

"Ok, Om Dimas mau makan sekalian?" tanya Mentari kepada Dimas.     

"Ah, enggak, saya gak lapar, baru saja habis makan di kedai depan sama teman, Om,"     

"Oh, gitu, yasudah Tari makan dulu ya,"     

"Iya, Tari, yang banyak ya,"     

"Haha, siap!" jawab Mentari sambil formasi hormat.     

      

      

Esok harinya.     

Fanya tampak sedang berjalan sendirian sambil mencari-cari alamat.     

"Yah, gak salah lagi, ini rumah si Pincang!" tukas Fanya.     

"Wah, rumahnya lumayan besar juga," Fanya mengangguk-anggukkan sendiri kepalanya.     

"Tapi kenapa dulu, penampilannya seperti gembel?"     

Lalu dia pun mulai teringat dengan suatu hal.     

Dulu saat Sandra belum pindah sekolah, pernah berkata kepadanya bahwa Mentari adalah pembantunya.     

"Jadi dia cuman pembantu di rumah ini, 'kan?" Fanya pun tertawa tipis mengingat hal itu.     

Ekspresi melecehkan mulai terpancar. "Bagus, kalau hanya sekedar babu, pasti akan lebih mudah bagiku untuk menghancurkannya!" tukas Fanya.     

      

Dan Fanya berjalan lebih mendekat lagi untuk melihatnya lebih jelas.     

Lalu muncilah seseorang membuka pintu dan seseorang itu adalah Mentari.     

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.