Bullying And Bloody Letters

Pura-pura Menyesal



Pura-pura Menyesal

0"Dan aku rasa  kemarin, Alvin juga memiliki dugaan yang sama seperti ku saat ini, makanya dia mengajakmu buru-buru pulang!" imbuh Fanya dengan suara yang menggebu-gebu.     
0

      

"Iya, juga ya,"     

      

"Eh, by the way, hubungan kalian itu  masih berteman saja ya?" lirih Laras dengan nada sedikit meledek.     

      

"Tentu saja, memangnya apa lagi, sejak dulu kami itu memang berteman, Kan?"     

      

"Oww, ya?" Fanya menatap lekat wajah Mentari.     

      

"Kamu gak naksir sedikit pun sama  Alvin?" sindir Laras.     

      

"Hah? Eng-gak sih,"     

      

"Loh, kok jawabnya ragu-ragu gitu sih?"     

      

Dan tak lama Alvin pun datang menghampiri mereka.     

"Hey, boleh gabing?" tanya Alvin yang berbasa-basi.     

"Iya, Alvin, segla pakek nanya deh," ujar Laras.     

"Hai, Tari," sapa Alvin kepada Mentari.     

"Hai juga, Alvin," sapa balik Mentari.     

"Ehem! jadi gimana?" tanya Laras yang tiba-tiba menyela pembicaraan mereka.     

"Gimana apanya?" tanya Alvin.     

"Hubungan kalian, eh, uppss!" Laras langsung menutup mulutnya sambil tertawa.     

Mentari dan Alvin pun menjadi canggung.     

"Laras, apaan sih ...," bisik Mentari.     

"Hehe, keceplosan, Tari," lirih Laras.     

Lalu Alvin pun langsung mengalihkan ke perhatian lainnya.     

"Eh, minggu besok kita  pergi nonton konser yuk!" ajak Alvin.     

"Konser apaan?" tanya Laras.     

"Konser musiklah, kebetulan band teman aku main di situ, aku punya tiga tiket, kalian ikutan ya," ajak Alvin.     

"Wah, serius!?" Laras tampak antusias.     

"Iya, dong!" jawab Alvin.     

Tapi entah mengapa Mentari tampak tak bersemangat.     

"Loh, Tari, kok malah murung begitu sih?" tanya Alvin.     

"Emmm, aku gak usah ikut aja ya?" ucap Mentari.     

"Loh, kenapa?" tanya Laras.     

"Kamu lagi ada acara lain ya?" timbrung Alvin.     

"Eh, enggak sih,"     

"La terus kenapa?"     

"Aku, gak pernah datang di acara seperti itu," jawab Mentari ragu-ragu.     

"Ya ampun, Tari, jadi itu masalahnya," Laras pun menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Udah, ikut aja gak usah takut, kita kan cuman nonton musik, sekalian buat pengalaman, karna kamu belum pernah datang di acara seperti itu, 'kan," ujar Laras.     

"Tapi, aku takut, kalau nanti om Dimas, gak ngizinin aku," tukas Mentari.     

"Udah, soal itu biar aku yang bilang!" ujar Alvin.     

"Iya, nanti kalau masih gak di izinin juga, biar aku bantu bicara juga bareng Alvin," imbuh Laras.     

"Tapi—"     

"Tenang, om Dimas, pasti ngizinin kok," tukas Alvin penuh percaya diri.     

Akhirnya Mentari pun menyetujui ajakan Alvin dan Laras.     

      

Tring ...!     

Terdengar suara bel masuk, dan seketika mereka bertiga pun mulai berpencar untuk masuk ke kelas masing-masing.     

Alvin yang berjalan tergesa-gesa menuju kelas tiba-tiba bertabrakan dengan Fanya.     

"Sory!" ucap Alvin datar.     

Fanya tersenyum manis sambil mengedarkan pandangan melihat Alvin yang sudah berjalan selangkah di depannya.     

"Alvin!" teriaknya memanggil Alvin.     

Tapi sayangnya Alvin tak menghiraukannya.     

Fanya berlari mengejar Alvin, padahal dia tadi hendak pergi ke toilet untuk merapikan pakaiannya.     

Tapi melihat Alvin, membuat Fanya mengurungkan niatnya.     

"Alvin," Fanya tiba-tiba menggandeng tangan Alvin, padahal Alvin tampak tak merespon dirinya.     

Tapi Fanya tak peduli, yang terpenting dia bisa menggandeng tangan Alvin dan berjalan bersama.     

"Vin, minggu besok kamu ada acara enggak?"  tanya Fanya.     

Dan Alvin lagi-lagi tak merespon pertanyaannya.     

Dia tampak menghela nafas  berat sambil berjalan lebih cepat lagi.     

"Vin, kita nonton kon—"     

Alvin melepas tangan Fanya dan langsung meninggalkannya.     

      

Hufft ... Fanya menghela nafas berat sambil meremas dua tiket konser miliknya.     

"Dasar, sok jual mahal!" umpatnya?     

Dia pun kembali berjalan di  belakang Alvin dengan wajah cemberutnya.     

Kemudian saat memasuki kelas dia bertemu dengan Keysia dan juga Ane.     

Dua temannya itu tampak sedang asyik mengobrol berdua.     

Fanya melihatnya dengan tatapan yang sedikit kesal bercampur iri.     

Dia tak berani menghampiri mereka berdua, karna beberapa hari lalu, dia baru saja bertengkar dengan Keysia,     

Dan itu semua karna membahas Ane. Mungkin saja kalau waktu itu Fanya tidak menghina Ane, pasti Keysia tidak akan marah kepadanya dan sekarang dia bisa mengobrol bertiga seperti biasanya.     

      

'Ah sialan' batin Fanya.     

Yah, penyesalan selalu datang belakangan, tapi sayangnya meskipun begitu, Fanya tak pernah merasa bersalah atau pun menyesal sudah menghina Ane, di depan Keysia waktu itu. Dan dia menganggap kalau Fanya sudah berbicara yang benar, Ane pantas di katai seperti itu, karna memang baginya itu kenyataannya.     

Tapi sayangnya Keysia tidak terima akan hal itu,  dia tidak suka Fanya yang menghina Ane.     

Akhirnya sejak saat itu Fanya dan Keysia tidak saling bicara hingga kini.     

      

Suasana antara mereka bertiga benar-benar tidak enak sekali.     

Fanya merasa tidak nyaman sendirian begini dan pura-pura kuat tanpa dukungan dari kedua sahabatnya itu. 'Apa aku harus minta maaf dengan Keysia saja ya, biar aku tidak di marahi begini' batin Fanya.     

      

Tapi sayangnya  Fanya tampak ragu-ragu untuk melakukan hal itu, dia merasa gengsi, karna seorang Fanya yang berkuasa harus meminta duluan kepada Keysia, yang tidak ada apa-apanya di bandingkan dirinya.     

Tapi mau bagaimana lagi, ini satu-satunya cara agar hubungan mereka kembali akur, karna Fanya merasa jika selama ini hanya Keysia dan Ane yang bisa satu pemikiran dengan dirinya, bahkan mereka selalu mendukung keputusannya selama ini.     

Kalau harus memilih teman yang lainya, Fanya merasa tak nyaman, mereka terlalu penakut dan tak mau bila diajak melakukan hal-hal gila seperti dirinya.     

      

'Apa boleh buat' batin Fanya.     

Dan Fanya pun berjalan menghampiri mereka berdua, dan mempersiapkan dirinya yang seolah-olah mengaku kalah dengan mereka.     

"Hay, boleh aku duduk di sini lagi?" tanya Fanya.     

Sementara, Ane dan Keysia menatap Fanya dengan wajah datar.     

"Kenapa?" tanya Fanya, "kenapa menatapku seperti itu?" tanya Fanya sekali lagi.     

'Cek cek cek' Keysia berdecak heran sambil menggelengkan kepalanya. "Kamu itu masih belum sadar ya?" tanya balik Keysia. Sementara Ane hanya memandang kedua sahabatnya itu yang sedang bersitegang.     

Sebenarnya yang terlihat marah hanya Keysia, dan Fanya terlihat biasa saja dan seolah tak terjadi apa pun.     

"Setelah menghina sahabatmu sendiri, sekarang kamu berani mendekati kami?" sindir Keysia.     

"Huhh, ok, aku minta maaf soal itu, aku minta maaf kepada mu, Keysia," tukas Fanya.     

"Yang kamu hina itu, Ane, bukan aku?"     

"Ok, aku juga sangat meminta maaf kepadamu, Ane, aku tahu aku memang tidak seharusnya berbicara begitu kepadamu," tutur Fanya. Kali ini dia memaksakan wajahnya agar bisa berekspresi menyesal. Padahal dalam hatinya yang terdalam ini seperti sebuah hinaan.     

Tapi mau bagaimana lagi dia tidak mau terus-terusan di abaikan oleh kedua temannya.     

Dan setelah keadaan menjadi tenang Fanya mengeluarkan tiga buah tiket konser musik untuk teman-temannya dan dirinya.     

      

To be continued     

      

      

      

      

      

      

      

      

      

      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.