Bullying And Bloody Letters

Masih Peduli



Masih Peduli

0Dia melepaskan Fanya kali ini, karna dia tidak mau orang tuanya turut bingung mencari Fanya.     
0

      

Mereka semua benar-benar tidak tahu jika Fanya dan Vero itu baru saja bertengkar hebat.     

      

Hanya sang asisten rumah tangganya yang tahu, tapi dia tak berani bilang kepada orang tuannya Vero dan Fanya.     

      

Vero sudah mewanti-wanti ART itu agar tidak memberitahu orang tuanya.     

      

Dia tidak mau mereka akan turut kawatir dengan semua ini apa lagi kondisi sang ayah sedang tidak baik, beliau menderita sakit jantung dan sering sekali kambuh.     

Oleh karna itu Vero tidak mau ambil risiko.     

Selang beberapa hari Vero menenangkan diri di apartemennya.     

Dia hanya keluar ketika sedang asa jadwal manggung saja. Setelah itu sia kembali ke apartemennya untuk menyendiri.     

Berkali-kali kawan-kawannya mengajaknya keluar untuk nongkrong bareng.     

Tapi Vero selalu menolaknya, dia kembali murung seperti dulu.     

Ingatan Cinta kembali terulang, dan sekarang di tambah lagi dengan beban bahwa sang adik juga turut ikut campur atas semua ini.     

      

      

***     

Setelah beberapa hari menghilang, Fanya pun kembali pulang, selama ini kedua orang tuanya tidak mencarinya, karna dia berbohong sedang menginap di rumah Ane. Ane dan Keysia juga turut bersekongkol dengannya. Orang tua Fanya percaya saja, karna memang sang ibu jarang pulang ke rumah sedangkan sang ayah, lebih sering menghabiskan waktu di Vila, sembari melakukan pengobatan jalan untuk penyakitnya.     

Dia mempercayakan urusan kantor kepada sang istri dan beberapa orang kepercayaannya.     

      

Tok tok tok!     

Terdengar seseorang yang sedang mengetuk pintu. Dengan langkah gontai dan wajah yang malas Vero membukanya.     

      

Ceklek!     

Dan ternyata yang datang adalah Alvin, padahal dia pikir yang datang adalah teman-teman satu bannya.     

"Hay, Ver," sapa Alvin.     

"Hay, Vin, ayo masuk," ajak Vero.     

"Iya,"     

"Silakan duduk,"     

"Terima kasi, Ver,"     

"Mau, minum apa?"     

"Gak, usah Ver, aku gak haus, dan kedatanganku hari ini, karna aku ingin melihat keadaanmu," tukas Alvin.     

Vero pun terdiam sesaat, sambil menunduk.     

"Maafkan kami ya?" tukas Alvin lagi.     

"Untuk ...?"     

"Untuk semuanya, karna kami kamu menjadi begini, harusnya kami tidak membahas Cinta lagi di hadapanmu,"     

"Ini bukan salahmu, Vin, justru aku akan marah kepadamu, jika kamu merahasiakan semuanya kepadaku."     

"Iya, tapi ... karna semua itu kamu jadi begini, kamu jadi teringat dengan Cinta, dan hubungan kamu dengan Fanya juga semakin kacau. Padahal aku tahu, selama ini kamu sedang berusaha memperbaiki hubungan kalian,"     

"Huuuf, Vin. Aku rasa hubunganku dengan Fanya itu memang selamanya tidak akan bisa baik. Sejujurnya aku sangat malu memiliki adik sepertinya, dan aku dengar dia suka kepadamu ya?"     

"Hah?! Dari mana kamu bisa tahu soal itu?"     

"Laras, yang bercerita semuanya. Dan saranku, kamu jaga baik-baik Mentari, Laras bilang dulu Mentari sering di bully, dan kamu sebagai pacarnya harus menjaganya baik-baik, jangan sampai menyesal. Seperti ku!"     

"Eh, ta-tapi, aku dan Mentari itu tidak berpacaran lo," tukas Alvin dengan wajah yang sedikit gugup.     

"Benarkah?! Aku pikir kalian ini berpacaran?" cecar Vero.     

"Bu-bukan, aku dan Tari, itu hanya berteman saja," Lagi-lagi Alvin tampak gugup lagi.     

Vero pun tersenyum melihat kelakuan temannya yang satu ini.     

Alvin benar-benar tidak berubah,  dia selalu malu-malu untuk jujur tentang perasaannya.     

"Vin, kalau kamu suka sama, Tari, langsung nyatakan saja!" tegas Vero yang langsung terang-terangan.     

"Hah?! Ma-maksudnya apa?!     

Vero kembali tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.     

"Vin, Vin, ayo jujur, jangan malu-malu, kalau kamu itu suka dengan Mentari, 'kan?"     

Alvin pun terdiam, "Eng—"     

"Yakin?!"     

"Yakin!"     

"Kalau kamu gak buru-buru nembak, bisa keduluan orang lo!" ledek Vero.     

"Memang apa hubungannya apa?!"     

"Ya, karna Mentari itu cantik, pasti di luar sana ada banyak pria yang juga tertarik dengannya, hati-hati lo kalau sampai keduluan."     

"Ih, ngomong apaan sih?"     

Alvin masih juga tak mau mengakuinya.     

Tingkah kekanakan-kanak Alvin justru membuat Vero menjadi terhibur.     

Sejenak dia dapat melupakan masalahnya.     

Melihat Mentari mengingatkannya kepada Cinta.     

Mentari di bully karna dia yang pincang sedangkan Cinta di bully karna dia yang bisu.     

Maka dari itu, Vero sangat mendukung hubungan Alvin dengan Mentari.     

Dia ingin Alvin menjaga Mentari, agar Mentari tidak bernasib sama seperti Cinta.     

"Vin, percaya lah, kalau kamu memang mencintai Mentari, maka nyatakan saja perasaan mu itu," ujar Vero.     

"Vero, aku kemari untuk melihat keadaanmu, tapi kenapa kamu malah meramalku?"     

"Haha Aku tidak sedang meramalmu, aku  mengingatkanmu, Vin. Akui saja perasaan mu,"     

"Tapi—"     

"Ayo jujur saja, tidak usah malu,"     

Dan Alvin pun senyum tersipu malu, apa yang ditebukan oleh Vero itu memang benar.     

"Memang segitu kelihatannya, ya?" tanya Alvin.     

"Menurutmu?"     

"Haha, baiklah aku mengaku, kalau aku memang menyukai Tari, bahkan sejak aku masih SD,"     

"Wah, bukan main, jadi Tari itu teman SD yang kamu bilang dulu ya?"     

Alvin mengangguk.     

"Wah, lumayan lama juga ya kamu menahannya,"     

"Iya, begitulah,"     

"Harusnya, kamu menembaknya sejak dulu dong,"     

"Maksudnya sejak SD, gitu?"     

"Ya, gak pas SD juga lah,"     

"Terus kapan, kami berkenalan waktu saat SD dan setelah itu aku pindah, ke Surabaya lagi, ikut nenekku. Setelah itu kami tidak bertemu lagi, kupirik aku tidak akan bertemu dengannya lagi tapi ternyata, Tuhan mempertemukan kami kembali di sini," tutur Alvin.     

"Nah, itu tandanya jodoh!" tegas Vero yang sok tahu.     

"Ah sok tahu kamu!"     

"Percaya deh,"     

"Ah, bisa aja kamu ini, yasudah berhubung kamu sudah baik-baik saja, aku pamit pulang dulu ya?"     

"Loh kenapa, Vin? Kok buru-buru amat?"     

"Memangnya kamu masih kangen sama aku ya?" tanya Alvin meledek.     

"Ih, najis, bilang aja kamu gak mau di cengin,"     

"Ye enggak lah ya!"     

"Ok, yasudah hati-hati Vin,"     

"Ok,"     

      

Dan Alvin pun keluar dari apartemen Vero, dan di luar apartemennya, ternyata ada Fanya yang sejak tadi sedang mengawasi gerak-gerik Vero. Fanya ingin tahu keadaan Vero, dia takut terjadi sesuatu dengan sang kaka karna ulahnya.     

Sebenarnya, meski pun membenci Vero, Fanya juga masih ada sedikit rasa peduli kepada kakanya, yang namanya darah persaudaraan memang tidak dapat di pungkiri, dia masih ada ikatan rasa kepada kakanya. Melihat Vero nampak baik-baik saja, Fanya pun merasa lega. Tapi dia merasa sangat terkejut, ketika melihat Alvin yang keluar dari rumah Vero, dan itu artinya Alvin kenal dengan sang kaka.     

"Bagaimana bisa kak, Vero mengenal Alvin?" Fanya tampak sangatlah penasaran.     

"Bagaimana bisa? Harusnya kalau aku sedang tidak bertengkar dengan Kak Vero, aku bisa bertanya-tanya tentang, Alvin. Atau paling tidak aku bisa meminta tolong kepadanya agar mau membantu ku dekat dengan Alvin."     

"Huuuft, menyebalkan!"     

Sejujurnya Fanya juga tak ingin seperti ini, dia juga ingin berhubungan baik dengan sang kaka, layaknya orang lainnya yang berhubungan baik dengan saudaranya.     

Tapi ....     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.