Bullying And Bloody Letters

Waktu Yang Berharga



Waktu Yang Berharga

0"Dia baru saja mendapat hukuman dari sekolah, karna sudah menghajar Ane,"     
0

      

"Apa?! Fanya menghajar Ane? Bukannya mereka itu berteman dekat?!"     

      

"Iya, Ver! Maka dari itu Mama juga heran kenapa ini bisa terjadi,"     

      

"Astaga! Fanya itu sepertinya memang sudah gila Ma!"     

      

"Ssst ... jangan begitu dong, dia itu kan adik kamu juga," ujar sang ibu.     

      

"Mah, mungkin sudah bukan saatnya lagi, Mama memanjakan Fanya, lihat sekarang Fanya menjadi bertingkah semaunya, 'kan?"     

"Ya habis mau bagaimana lagi, Ver, Fanya itu anak Mama satu-satunya,"     

"Tapi, meski pun begitu Mama tidak boleh memperlakukannya secara berlebihan, ada kalanya Mama harus memberi pelajaran kepadanya. Jadi supaya tidak seenaknya begini."     

"Iya, Mama, Ver, Mama tahu,"     

"Kalau Mama sudah tahu, jadi stop memanjakan Fanya ya, karna ada saatnya Fanya juga harus memulai belajar bertanggung jawab."     

"Iya, Vero,"     

"Yasudah, sekarang Vero mau makan. Mama masak apa?" tanya Vero.     

"Wah, kebetulan Mama, sedang masak makanan kesukaan kamu nih,"     

"Wah, asyik!"     

Dan mereka berdua pun langsung menuju meja makan.     

"Sini, biar Mama ambilin nasinya,"     

"Makasi, Ma."     

"Iya, kamu mau pakek lauk apa?"     

"Biasa, ayam goreng, sambalnya banyakin ya,"     

"Iya, siap," jawab sang ibu.     

      

Di saat mereka tengah asyik makan berdua tiba-tiba Fanya keluar dari kamar dan menuruni tangga.     

Dia tampak kaget saat melihat kakaknya sudah ada di meja makan.     

'Sialnya rupanya ada Kak Vero,' batin Fanya.     

Dan tepat saat itu Vero melihat ke atas dan tampak Fanya langsung mematung karna melihatnya.     

Seketika Fanya pun kembali bergegas menaiki tangganya lagi. Tampak jelas bahwa Fanya belum siap melihat Vero.     

Vero sendiri rasanya sangat ingin berteriak memanggil Fanya dan mengajaknya bicara sekarang juga.     

Tapi dia tidak mau merusak momen kebersamaannya dengan sang ibu.     

Karna kalau sampai dia berbicara sekarang sudah pasti akan kembali terjadi pertengkaran antara Fanya dan dirinya.     

"Coba saja Fanya ikut kita makan bersama, pasti bakalan seru. Mama tuh pengen gitu kita semua kumpul bersama. Tapi sayangnya kamu malah memilih tinggal di apartemen." Ujar sang ibu dan wajahnya terlihat sangat kecewa.     

'Ya ampun Mama, sampai segitunya ingin kami bisa akur, tapi sayangnya, keadaannya jauh lebih buruk dari kenyataannya' batin Vero.     

"Ya, mau bagaimana lagi, Ma. Vero kan juga ingin hidup mandiri, lagi pula Vero ini kan laki-laki Ma, jadi gak boleh bergantung kepada orang tua," tutur Vero, yang mencoba menenangkan sang ibu.     

"Tapi, Papa dan Mama, sama sekali tidak merasa terbebani, kamu sejak kecil selalu mandiri, ada kalanya Mama ingin melihat kamu yang manja, Ver,"     

Lalu Vero pun mengecup kening sang ibu dengan lembut.     

"Hari ini, Vero, juga sedang manja sama Mama, makan di masakin sama Mama, sampai nasi dan lauk juga di ambilin sama Mama," ujar Vero sambil tersenyum.     

"Kamu itu paling bisa kalau romantis sama, Mama," Dan sang ibu pun tersenyum.     

"Nah, gitu dong Ma, kalau tersenyum kan jadi cantik,"     

"Ah, bisa aja,"     

"Yaudah, Mama makanya yang banyak dong, apa mau Vero suapi?"     

"Ah, enggak dong, emang Mama anak kecil,"     

"Ya, gak apa-apa dong, biar kelihatan romantis, waktu Vero masih kecil Vero juga sering di suapi sama Mama,"     

"Ya, itu kan dulu, Ver,"     

"Ahaha, sekarang juga gak apa-apa kok, kalau Mama mau suapi Vero, aa'k" Vero pun membuka mulutnya.     

"Iya, deh," Dan sang ibu pun menyuapi Vero sungguhan, wanita paruh bayah itu tampak sangat bahagia.     

Hanya hal sederhana seperti ini saja, sudah membuatnya sang ibu bahagia.     

Vero memang sangat menyayangi sang ibu, meski dulu beliau sangat menentang hubungannya dengan Cinta. Tapi meski begitu, tak membuat rasa sayang Vero kepada sanga ibu luntur.     

Karna selama ini ibunya sudah banyak melewati hal-hal yang sulit.     

Harus mengurus dua anak dan di tambah lagi penyakit sang ayah sering kambuh.     

Dan sekarang saat anak-anaknya sudah mulai dewasa malah Vero memilih tinggal sendiri, sedangkan sang adik, tumbuh menjadi anak yang kasar dan tidak berbakti.     

Maka dari itu, sebisa mungkin Vero pun ingin membuat bahagia sang ibu, meski dia jarang ada untuknya, tapi setidaknya dia selalu menyempatkan di sela kesibukannya untuk menghabiskan waktu bersama sang ibu, walau sekedar makan bersama.     

"Habis ini, Mama akan pergi menengok Papa ya?"     

"Iya, Mama akan pergi ke villa,"     

"Ya sudah nanti biar Mama, Vero yang anterin,"     

"Iya, Vero."     

Dan makan bersama pun selesai, tampak  sang ibu juga mengambilkan minuman untuk Vero.     

"Ini minumnya," ujar sang ibu.     

"Makasi, Ma."     

"Sebenarnya kalau gak kasihan sama Fanya, Mama juga lebih nyaman tinggal di Villa bareng Papa,"     

"Ya, kalau tidak Papa saja yang diajak pulang, Ma,"     

"Papa, tidak mau, Ver. Papa lebih nyaman di sana, karna dia tidak melihat tingkah Fanya. Dan Mama pun terpaksa menurutinya,"     

"Fanya, itu benar-benar keterlaluan ya,"     

"Sudahlah, jangan di bahas,"     

"Tapi, kasihan Mama jadi bolak-balik dari rumah ke Villa, kan capek Ma, belum di tambah dengan pekerjaan Mama di kantor,"     

"Gak, apa-apa kok, Ver, Mama kuat,"     

"Kalau begitu Mama, jaga kesehatan ya, jangan lupa minum vitamin ya,"     

"Iya, sayang."     

Sang ibu memegang tangan Vero sambil tersenyum, betapa bahagianya hari ini, karna kedatangan Vero.     

Meski dia memiliki anak perempuan yang kasar kepadanya, tapi setidaknya dia memiliki anak lelaki yang baik dan lembut seperti Vero.     

      

***     

      

Setelah kejadian percobaan bunuh diri waktu itu, kini Rossa tinggal bersama orang tua Alvin dan rutin pergi ke Psikiater.     

Dan tepat hari ini dia baru saja pulang dari Psikiater.     

"Bagaimana keadaan, Tante Rossa sekarang?" tanya Alvin.     

"Sudah agai, Mendingan kok, Vin. Tante merasa sedikit lebih tenang," jawab Rossa.     

"Tapi ingat, harus rajin minum obat dan jangan terlalu memikirkan hal-hal yang membuat Tante stres ya," pesan Alvin.     

"Iya, Alvin. Terima kasih ya, Alvin, kamu sudah memperhatikan dan mau  di repotkan, kalau bukan karna kamu, mungkin Tante sudah mati membusuk di rumah Tante sendiri," ujar Rossa.     

"Iya, Tante, tidak apa-apa kok, lagian itu kan sudah kewajiban Alvin dan Papa,"     

"Iya, tapi, sejujurnya Tante sangat malu, Vin. Harusnya sejak dulu Tante mendengarkan ucapan Papa kamu, dan kalau Tante mau mendengarkannya mungkin hidup Tante tidak akan seperti ini," Dan tak sadar mata Rossa mulai berkaca.     

"Tuh, kan, baru juga di bilangin, jangan banyak pikiran Tante , tapi malah sudah hampir menangis," ujar Alvin mengomeli Tantenya.     

Rossa pun seketika tersenyum, "Iya, Alvin terima kasih ya? Tante sudah di ingatkan,"     

"Nah gitu dong, tersenyum, jangan sedih mulu, biar gak cepet tua Tante," kelakar Alvin.     

"Kan Tante, emang sudah tua,"     

"Tapi, masih tuaan Mama 3 tahu, 'kan. Harusnya mukanya Tante lebih muda dari pada mama,"     

"Terus maksud kamu, Tante, mukanya boros gitu?!"     

"Hehehe, ya gitu deh!"     

"ALVIN!"  Rossa mulai naik pitam.     

"Eit, gak boleh marah-mara" ledek Alvin.     

Dan Rossa pun kembali menarik nafasnya dalam-dalam.     

Huuuut....     

"Sabar-sabar, tarik nafas,"     

      

      

      

To be continued     

      

      

      

      

      

      

      

      

      

      

      

      

      

      

      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.