Bullying And Bloody Letters

Semua Karna Fanya



Semua Karna Fanya

0Jeduer!     
0

      

Jeduer!     

      

Jeduer!     

      

Brak!     

      

Akhirnya pintu berhasil di buka oleh Dimas.     

      

"Astaga! Tari! Apa yang kamu lakukan Tari!" teriak Dimas, Dimas langsung menghampiri Mentari, dan tampak, Yuni yang mendengar kegaduhan itu, juga turut masuk ke dalam kamar Mentari.     

      

"Non Tari! Ada apa?! Ayo sadar Non!" Tukas Yuni yang sangat panik.     

Yuni dan Dimas sibuk menyadarkan Mentari sementara Fanya, langsung berlari keluar kamar.     

      

"Eh, itu kan—"  ujar Yuni, karna sebelumnya dia memang pernah bertemu dengan Fanya.     

"Udah, biarin, yang penting kita sadarkan Mentari saja!" tukas Dimas.     

Mereka berdua menggotong Mentari dan menaruhnya di atas kasur, Mentari yang awalnya sedang marah-marah, dan tubuhnya kaku, kini perlahan melemas, sudah tidak sekuat pada awalnya. Dan sekarang dia pingsan.     

"Gadis yang tadi itu sebelumnya pernah kemari lo, Pak," ujar Yuni.     

"Benarkah?"     

"Benar, Pak, saya tidak bohong, dan sepertinya bukan gadis baik-baik,"     

"Loh, memangnya kedatangannya kemari waktu itu untuk apa?"     

"Hanya bertanya-tanya seputar Non Sandra dan Non Mentari,"     

"Itu saja?"     

"Iya, Pak, sepertinya dia ingin bertanya banyak, tapi saya menghentikannya. Dia sepertinya gadis yang sedang mengorek-ngorek informasi," turut Yuni.     

"Owww, jadi begitu ya, kalau begitu, kita harus berhati-hati ya,"     

"Benar, Pak,"     

      

Dan tak lama Mentari pun mulai tersadar.     

"Aduh, kepalaku ...." Mentari mencoba bangkit.     

"Eh, Non Tari! Sini biar saya bantu," Yuni segera menyangga tubuh Mentari.     

"Kepalanya masih pusing ya, Non?"     

"Iya, Mbak,"     

"Yasudah, minum air putih dulu, Non,"     

Yuni mengambilkan segelas air putih untuk Mentari.     

Mentari segera meneguknya, dan setelah itu Mentari kembali berbaring.     

Dan perlahan dia mulai sadar dengan apa yang baru saja terjadi kepadanya.     

"Tadi kan Fanya datang dan mencekikku, dia juga bilang akan membunuhku, tapi—"     

Mentari pun kembali duduk. "Tapi kenapa aku masih baik-baik saja jangan-jangan Fanya sudah—"     

"Non Tari, mencari gadis itu ya?" tanya Yuni yang menyela ucapan Mentari.     

"Iya, Mbak, dimana dia? Apa dia sudah—" (Maksudnya sudah mati)     

"Iya, Non, dia sudah kabur! Dengan cepat-cepat dia meninggalkan rumah ini," jelas Yuni yang salah tangkap.     

Tapi meski begitu, Mentari merasa lega, karna kini dia tahu bahwa Fanya baik-baik saja.     

      

"Ah, syukurlah," ujarnya.     

"Loh, apanya yang bersyukur, dia kan kabur begitu saja? Memangnya apa yang sudah terjadi kepadamu?" tanya Dimas.     

"Dia tadi menyerangku, Om,"     

"Terus?"     

"Dia mencekik leherku, tapi sepertinya setelah itu aku tak sadarkan diri," jelas Mentari.     

"Tapi, bagaimana bisa begitu? Aku lihat kamu tadi seperti orang yang sedang tidak sadarkan diri, sebelum kamu pingsan, kamu terlihat bukan seperti dirimu," pungkas Dimas.     

Mentari pun terdiam sesaat, dia bingung, apa sudah saatnya dia menceritakan ini semua kepada Dimas.     

Bahwa dirinya itu sering di rasuki oleh arwah seorang gadis.     

"Tari, kenapa kamu diam saja?"     

"Ah, enggak kok, Om."     

"Apa, ada yang ingin kamu katakan? Kalau ada katakan saja,"     

"Tapi, Tari—"     

"Dan siapa gadis itu?"     

"Dia bernama Fanya, dan dia adalah gadis yang sangat membenciku, kedatangannya kemari adalah untuk mencelakaiku," tutur Mentari.     

"Lalu, apa yang terjadi dengan perubahan tingkah lakumu tadi?"     

"Baik, karna Om dan Mbak Yuni, ingin tahu maka Tari akan ceritakan sekarang."     

Mentari membenahi duduknya agar merasa nyaman     

"Sebenarnya, selama ini Tari selalu diikuti oleh seorang gadis yang bernama Cinta. Dan gadis itu sudah meninggal. Dia adalah gadis yang menghilang di sekolahku, 3 tahun yang lalu."     

"Lalu, di mana Cinta sekarang?"     

"Dia selalu menghilang Om, dia datang ketika aku di dalam bahaya. Meski akun selalu menolaknya, tapi dia tetap akan datang dan membantuku, tanpa seizinku."     

"Tapi, ini terdengar tidak mungkin, Tari. Bukan kah begitu Yuni?" tukas Dimas sambil melirik ke arah Yuni.     

"Benar, Pak Dimas."     

"Benar, ini memang terdengar tidak masuk akal, maka dari itu aku selalu menyimpannya dari kalian selama ini. Bahkan yang membuat leher Kak Sandra cedera adalah Cinta,"     

"Maksudnya?!" Dimas terlihat sangat syok.     

"Seperti yang Tari bilang tadi Om, bahwa Cinta akan melukai siapa pun bahkan dia akan membunuh siapa pun yang sudah menyakiti ku,"     

"Benarkah?"     

"Dan itu kenyataan Om," Cinta masih mencoba meyakinkan Dimas.     

Dimas dan Yuni, merasa antara percaya dan tidak percaya dengan ucapan Tari, karna ucapan Mentari memang terdengar sedikit tak masuk di akal. Tapi melihat Fanya yang berlari terbirit-birit dan di tambah ekspresi wajah Mentari pun membuat mereka sedikit yakin.     

      

"Yasudah lah, lebih baik kamu istirahat dulu saja, Mentari. Pasti kamu lelah, 'kan?"     

"Iya, Om."     

"Oiya, kamu di rumah sama, Mbak Yuni, dan Om Dimas pergi ke kantor polisi dulu untuk melaporkan kejadian ini," ujar Dimas.     

"Eh, Om. Ja-jangan!"     

"Loh, kenapa, Tari?"     

"Biarin aja, Om,"     

"Tari, enggak bisa gitu dong, anak itu sudah menyelinap masuk di rumah kita, dan sudah hampir saja membubuhmu!"     

"Iya, tapi Tari gak mau pusing dengan ini semua,"     

"Pusing bagaimana, kamu tinggal diam, dan biarkan Om yang mengurusnya. Orang seperti itu yang tidak pantas untuk di biarkan bebas!"     

"Benar kata, Pak Dimas itu Non Tari," imbuh Yuni.     

"Dan kita bisa menggunakan kamera CCTV sebagai bukti!" tegas Dimas.     

"Tapi, Om, kalau menurut Tari jangan, karna bagaimana pun juga dia adalah teman sekolah Tari. Tari juga kenal baik dengan Kakaknya,"     

"Tari, mana ada teman yang akan mencelakai temannya sendiri, kamu itu terlalu baik. Dan kamu selalu membela orang yang jahat kepadamu, hanya karna kasihan,"     

"Tapi, Om. Please jangan laporkan Fanya ke polisi, lagian Tari, gak apa-apa kok, gak ada yang luka. Kasihan  kalau sampai Fanya mendapat masalah lagi, ayahnya sedang sakit keras, Om,"     

"Maksudnya?"     

"Iya, Fanya saat ini, sedang mendapatkan hukuman Skorsing dari  sekolah. Karna mendengar hal itu sakit ayahnya bertambah parah, lalu bagaimana kalau Om melaporkan kejadian ini ke polisi, pasti ayahnya Fanya bisa—"     

"Ah, yasudah lah kalau begitu, Om akan menuruti ucapanmu kali ini, tapi ingat, kalau sampai dia berbuat macam-macam lagi denganmu, maka Om tidak akan mengampuninya lagi!" tegas Dimas.     

"Iya, Om." Jawab Mentari.     

      

      

***     

Sepulangnya dari rumah Mentari, Fanya pun hendak memasuki kamarnya secara mengendap-endap, dan berharap tak ada yang melihatnya.     

Terutama orang yang paling ia takuti yaitu Vero. Dia masih belum tahu Vero sudah pulang atau belum  terakhir dia dengar Vero sedang pergi mengantarkan sang ibu ke Villa menemui ayahnya.     

Tapi di luar sudah ada mobil milik Vero yang artinya Vero sudah pulang.     

'Semoga saja kak Vero tidak melihat kedatanganku,' batin Fanya.     

      

Ceklek....     

Perlahan dia memutar handle pintu kamarnya.     

Dan dia melihat kamarnya sangat gelap. Padahal seingatnya tadi, dia tidak mematikan lampu kamarnya.     

"Siapa yang matiin lampunya?" tukas Fanya.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.