Bullying And Bloody Letters

Trauma



Trauma

0"Kak Vero, maafkan aku ya?" tukas Fanya.     
0

      

"Kamu pikir dengan meminta maaf dengan ku semua masalahmu akan selesai?!" cantas Vero.     

      

Dan Fanya pun seketika terdiam tak bergeming.     

      

"Kamu itu seperti bukan manusia, Fanya! Aku malu memiliki adik seperti mu! Aku sangat kecewa!"     

      

"Kak, aku sudah menuruti permintaan Kakak, jadi apa lagi yang harus aku lakukan, dan semua sudah terjadi. Aku tidak bisa menghidupkan Cinta lagi. Jadi tolong maafkan aku, dan jaga rahasia ini, seperti janji Kak Vero tadi," tukas Fanya, mencoba menenangkan Vero.     

      

Vero benar-benar tak habis fikir, bagaimana bisa Fanya masih setenang ini setelah melakukan perbuatan kejam itu, sementara dia saja yang tidak melakukannya merasa tak tenang. Bahkan Fanya sampai detik ini tampak tak menyesal sedikit pun.     

Bagaimana bisa dia memiliki seorang adik seperti ini.     

Dia ingin menjebloskan Fanya ke penjara, tapi dia takut nanti kondisi sang ayah akan bertambah parah, dan dia tak tega jika harus melihat ibunya bersedih.     

Lagi pula dia sudah berjanji bahwa tidak akan mengatakan ini kepada siapa pun.     

      

Tapi tentu saja hal ini semakin menambah beban dalam hatinya.     

Dia sudah mengetahui siapa pembunuh Cinta, tapi dia tidak bisa mengatakan kepada siapa pun.     

Dia harus memilih sebuah keadilan untuk orang yang dia Cintai atau harus memilih keluarganya.     

Andai saja Fanya itu bukan adiknya, dan ayahnya sedang tidak sakit, mungkin semua tidak akan terjadi seperti ini.     

      

"AKHHHH!"     

Jeduag!     

Lagi-lagi Vero memukulkan tangannya kearah tembok, dan kali ini semakin kencang. Fanya yang ada di sampingnya sampai kaget.     

Tampak tetesan darah mengalir dari tangan Vero.     

Dan setelah itu Vero pergi begitu saja meninggalkan Fanya.     

Fanya terdiam tak bergeming melihat sang kaka yang pergi.     

Hanya sedikit rasa kasihan di hatinya saat melihat kakaknya  yang tampak sangat terpukul.     

Tapi untuk perbuatannya kepada Cinta, dia tak pernah merasa menyesal.     

Baginya Cinta bukan siapa-siapa, bukanlah keluarganya, lain halnya dengan Vero.     

Maka dari itu Fanya tak pernah menyesal atau pun merasa kasihan terhadap Cinta.     

"Kak Vero, memang sangat bodoh, harusnya sejak dulu dia mau dengan Kak Melisa, jadi aku tidak perlu bersusah payah membunuh orang!" tukasnya.     

Dan perlahan Fanya merapikan kamarnya yang sedang berantakan, agar tidak ketahuan oleh siapa pun bahwa dia baru saja bertengkar dengan Vero. Mumpung asisten rumah tangga mereka sedang pergi ke pasar dan ibunya sedang di vila bersama sang ayah.     

      

      

***     

Sementara itu di jalanan Vero yang hatinya sedang kalut tampak sedang mengendarai motornya dengan kecepatan maksimal.     

Dia benar-benar sudah sulit mengontrol pikirannya.     

Hingga tak sadar di depannya ada sebuah mobil yang berlawanan arah dengannya juga melaju kencang di hadapannya.     

      

Motor Vero pun akhirnya bertabrakan  dengan mobil itu.     

Bruakkkk!     

Tubuh Vero terpental dan motornya sampai terseret beberapa meter oleh mobil itu.     

Seketika keadaan menjadi sangat gaduh melihat kecelakaan itu.     

Seluruh orang sekitar pun berlarian menghampiri Vero. Mereka segera melarikan Vero ke rumah sakit terdekat.     

      

      

***     

      

      

Meski Vero berusaha untuk tidak membuat kedua orang tuanya cemas, dan sampai merahasiakan bahwa dia dan Fanya baru saja bertengkar, tapi pada akhirnya, tetap saja dia malah membuat sang ibu kawatir, karna kejadian ini.     

Sang ibu yang baru saja mendapatkan kabar terpaksa harus pergi ke rumah sakit menyusul Vero. Dia juga terpaksa meninggalkan sang suami di vila sendirian dan merahasiakan hal ini darinya.     

Agar suaminya tidak khawatir kepada Vero sehingga sakitnya tidak bertambah parah.     

      

***     

Sesampainya di rumah sakit, Vero sudah tergeletak tak berdaya dalam ruangan UGD.     

Dan kini sang ibu tampak kebingungan harus bagaimana, sementara keadaan Vero belum sadar.     

Dia mencoba mengabari Fanya, dan juga beberapa teman dekatnya Vero lewat ponsel Vero.     

Sang ibu menghubungi nomor Alvin, karna di dalam riwayat panggilan telepon, Vero tampak baru saja menghubungi Alvin.     

      

      

Dan tak lama Alvin pun datang bersama Mentari dan juga Laras, sementara Fanya malah belum datang karna saat ini Fanya malah sedang asyik tidur dan tak mendengar bunyi telepon dari sang ibu.     

"Tante, apa yang sudah terjadi dengan Vero?" tanya Alvin yang terlihat panik.     

"Vero kecelakaan, Nak. Kamu teman dekatnya Vero ya?" tanya Ibunya Vero.     

"Iya, Tante,"     

"Maaf ya, Tante udah ngerepotin kalian, habis gimana lagi, suami Tante lagi sakit dan anak gadis Tante, di hubungi tidak bisa," ujar ibunya Vero.     

      

'Pasti yang di maksud adalah Fanya' batin Alvin.     

"Tante, takut banget, gimana kalau terjadi sesuatu dengan Vero, Tante khawatir," tampak wajah ibu dari Vero itu sangat bersedih.     

"Sabar, Tante, Vero pasti baik-baik saja kik," ujar  Laras yang mencoba menenangkan ibunya Vero.     

Sementara Mentari malah menangis sesenggukan karna melihat Vero yang sedang berada di ruang UGD.     

Dia teringat dengan peristiwa yang telah menimpanya dulu, disaat dia dan keluarganya mengalami kecelakaan.     

"Maaf, semuanya aku harus pergi!" ujar Mentari.     

"Loh, Tari kamu mau kemana?!" teriak Laras.     

Mentari pun berlari sambil mengusap air matanya dengan tangan.     

"Tari!" teriak Alvin sambil mengejarnya.     

Mentari pun berlari dan berhenti di sebuah parkiran mobil.     

"Mentari, kamu kenapa?" tanya Alvin.     

Mentari pun berhenti sesaat lalu kembali menghapus air matanya yang semakin deras saja.     

"Kamu kenapa, Tari?" tanya Alvin sekali lagi.     

Dan Mentari masih belum bisa menjawabnya, deru nafasnya semakin kencang, tubuhnya dingin dan terlihat gemetaran.     

"Kamu sakit?" tanya Alvin.     

Mentari menggelengkan kepalanya.     

"Terus kenapa?" Alvin memegang dagu Mentari dan mendongakkan ke atas agar dia dapat melihat wajahnya.     

"Kenapa? Ayo cerita?" pinta Alvin.     

"Aku, teringat dengan peristiwa kecelakaan yang pernah menimpaku dan orang tuaku dulu, Vin," tukas Mentari masih dengan derai air matanya.     

"Ya ampun," ujar Alvin lalu dia segera memeluk Mentari.     

"Kamu, jangan takut lagi ya, kamu harus bisa melupakan peristiwa tragis itu, kamu juga berhak bahagia, jadi ingatlah orang tuamu dengan hal-hal yang indah saja, jangan ingat peristiwa buruk itu,"     

"Tapi, tidak bisa, Vin. Aku langsung gemetar saat melihat kak Vero penuh darah seperti itu. Rasanya aku kembali kemasa lalu."     

"Ya sudah kamu pulang saja ya, biar aku antar, sementara Mamanya Vero biar Laras yang menemainya," ujar Alvin.     

"Tapi—"     

"Udah ayo aku antarkan. Kamu sebaiknya pulang saja,"     

Alvin menggandeng tangan Mentari dan mengantarkannya pulang dengan taksi.     

Karna kebetulan dia sedang tidak membawa motor saat ke rumah sakit. Mereka bertiga tadi berangkat di antarkan oleh ayahnya Laras.     

      

      

Setelah beberapa menit berlalu  mereka pun sampai di rumah Mentari.     

"Kamu istirahat aja ya, jangan ikut memukimkan Vero, nanti kamu malah bertambah stres," ujar Alvin menasehati Mentari.     

"Tapi, Kak Vero—"     

"Tenang aja, Vero pasti baik-baik aja, kamu istirahat dan nonton kartun aja biar gak stres," ujar Alvin lagi.     

      

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.