Bullying And Bloody Letters

Lupakan Fanya



Lupakan Fanya

0"Cinta, aku benar-benar tak menyangka kalau aku bisa bertemu dengan mu lagi." Ujar Vero.     
0

Cinta mengembangkan senyuman dari wajahnya, saat melihat Vero yang juga tampak bahagia melihatnya. Lalu mereka berdua pun saling berpelukan.     

"Cinta, kalau aku bisa bertemu dengan mu saat ini, apa itu artinya aku sudah mati?" tanya Vero.     

Dan Cinta pun menggelengkan kepalanya, dia mengatakan dengan bahasa isyaratnya bahwa Vero belum mati.     

"Lalu, di mana aku sekarang?" tanya Vero.     

Dan perlahan Cinta melepaskan pelukannya  lalu menunjuk ke sebuah pintu keluar, dan setelah itu Cinta pergi begitu saja dari hadapan Vero.     

"Cinta! Jangan pergi, Cinta!" teriak Vero memanggil Cinta, namun sayangnya Cinta pun malah menghilang.     

Tapi teriakan itu sungguh tak berguna, meski sekencang apa pun dia berteriak tapi Cinta tetap tak kembali.     

Akhirnya, karna sudah merasa lelah memanggil Cinta yang tak mungkin kemabli, dia memutuskan untuk keluar dari ruangan itu.     

Dia melewati sebuah pintu yang tadi di tunjuk oleh Cinta.     

Dan setelah melewati pintu itu Vero melihat tepat di hadapannya, ada tubuhnya yang sedang terkapar dan tampak beberapa petugas medis yang tengah sibuk menolong dirinya yang sekarat.     

Dokter sedang menempelkan alat pacu jantung, karna baru saja detak     

Jantungnya melemah.     

      

Vero segera berlari menghampiri tubuhnya yang tengah  berbaring itu, lalu dia melompat dan masuk.     

Dan beberapa menit kemudian Vero terbangun.     

"Wah, pasien sudah siuman, Dok," tukas salah seorang perawat.     

Dan mereka pun begitu terkejut, karna tiba-tiba Vero terbangun.     

Namun anehnya Vero langsung sadar dan tampak sangat bugar.     

      

"Vero, apa yang kamu rasakan saat ini?" tanya seorang dokter yang menanganinya.     

"Tidak ada, Dok, saya baik-baik saja," jawab Vero.     

"Apa tidak ada sama sekali yang di keluhkan, misalkan pusing, mungkin?" tanya Dokter sekali lagi.     

Dan Vero menggelengkan kepalanya.     

"Tidak, Dok,"     

Ini benar-benar kejadian yang sangat langka dan bisa di bilang ajaib, karna Vero benar-benar sudah sadar dan tak ada sedikit pun yang dia keluhkan, suhu tubuh, detak jantung dan tensi darah semuanya normal.     

Padahal menurut perkiraan dokter, dilihat kejadian yang sudah menimpa Vero itu, bisa di pastikan Vero akan mengalami amnesia atau bahkan kelumpuhan.     

Tapi nyatanya tidak, justru saat ini, Vero tampak seperti orang yang segar bugar.     

      

Dan tak lama, sang ibu pun datang menemuinya.     

"Vero! Apa kamu baik-baik saja, Nak?" tanya Sarah yang nampak panik.     

"Iya, Vero baik-baik saja kok, Ma," jawab Vero.     

"Syukurlah, Vero. Jantung Mama hampir copot saat pihak rumah sakit mengabari kamu sedang sekarat," ujar Sarah.     

"Maaf ya, Ma. Karna Vero Mama jadi panik, tapi Vero baik-baik saja kok, Ma. Jadi sekarang Mama jangan khawatir lagi ya,"     

"Iya, Sayang, syukurlah. Mama senang mendengarnya, kamu benar-benar baik-baik saja,"     

      

Dan tak lama Avin dam Laras pun datang, karna tadi sempat  di telepon oleh Sarah. Sedangkan Mentari, lagi-lagi dia tak berani datang, lagi pula, Alvin memang sengaja melarang Laras untuk memberitahu Mentari     

Karna Alvin tidak mau Mentari menjadi sedih dan syok karna mendengar hal ini.     

      

"Vero, kamu beneran gak apa-apa?" tanya Alvin memastikan.     

"Iya, aku baik-baik saja. Bisa kalian lihat, kan? kalau aku baik-baik saja," jawab Vero.     

"Syukurlah, kami sangat khawatir saat mendengar, Kak Vero, sedang kritis, aku takut terjadi sesuatu yang buruk dengan, Kak Vero," ujar Laras.     

"Terima kasih ya, buat kalian yang sudah turut khawatir dengan kondisiku, aku senang sekali bisa memiliki teman seperti kalian." Ujar Vero.     

      

Dan setelah kejadian ini, di ke esokkan harinya Vero sudah di perbolehkan pulang.     

Sarah, sengaja membawa Vero pulang ke rumah, karna Sarah tak tega jika Vero tinggal sendirian di apartemen, karna kalau ada di rumah, masih ada asisten rumah tangga tangga akan merawatnya.     

Walau pada kenyataannya, Vero sudah baik-baik saja.     

      

Tapi tetap saja sebagai seorang ibu, tentu saja Sarah sangat menghawatirkan keadaan putranya.     

Dan setelah sampai di rumah Vero mulai bertanya tentang keberadaan Fanya kepada Sarah.     

"Ma, Fanya di mana? Kenapa rumah terlihat sepi sekali?" tanya Vero.     

"Fanya ... dia...." Sarah tampak sangat kesulitan untuk menjawabnya.     

"Fanya kenapa? Apa dia membuat masalah lagi, Ma?" tanya Vero.     

Dan Sarah pun mengangguk, "Iya, Vero. Dia baru saja membuat masalah besar," jawab Vero.     

"Masalah besar? Dia bikin ulah apa lagi, Ma?"     

"Dia... hik," Seketika air mata Sarah mengalir deras.     

"Ini memang salah, Mama, Ver. Mama sudah memanjakan Fanya, dan sekarang dia bisa tumbuh menjadi anak yang egois dan kejam," pungkas Sarah.     

"Loh, kok nangis sih, Ma, ayo cerita kepada Vero, Ma,"     

Vero memaksa sang ibu agar mau bercerita.     

"Ayo cerita, Ma, tidak apa-apa," ujar Vero.     

Dan akhirnya, dengan terpaksa sambil menyeka air matanya sendiri, Sarah menceritakan semuanya kepada Vero.     

"Fanya, pergi entah kemana, Vero. Dia mencuri uang tunai dari lemari brankas Mama, dan membawa beberapa perhiasan Mama," tutur Sarah.     

"Apa?!" Vero tampak syok mendengar penjelasan dari sang ibu.     

"Aku tahu dia sangat nakal, tapi aku tidak percaya kalau sampai dia mencuri uang. Karna selama ini Mama selalu memberi uang jajan yang cukup, 'kan untuk Fanya?"     

"Iya, Mama tahu soal itu. Tapi bukan itu permasalahannya, dia mencuri uang karna dia sedang berlari dari kejaran polisi." Jelas Sarah.     

Kemabli Vero pun di buat kaget karna mendengar hal ini.     

"Tapi bagaimana bisa, Ma?!"     

"Vero, adik kamu itu sudah benar-benar keterlaluan. Dia sudah tega membunuh temannya sendiri,"     

"Apa?! dia membunuh temannya sendiri?!"     

'Jangan-jangan yang di maksud teman yang di bunuh adalah Mentari' batin Vero.     

"Apa, teman yang Mama maksud adalah Mentari?"     

"Bukan, Ver. Tapi Keysia,"     

"Hah, Keysia?!"     

Seketika Vero bertambah kaget saat mendengar Fanya membunuh Keysia.     

Karna yang Vero tahu selama ini mereka berteman dekat.     

Entah apa yang sudah merasuki Fanya. Dia bisa menjadi manusia sekejam itu.     

"Astaga! Fanya itu benar-benar sudah gila! Aku tidak akan sudi menganggap dia sebagai seorang adik!" ujar Vero yang benar-benar sudah naik pitam.     

"Mama, bingung, bagaimana jika ayahmu tahu soal ini, karna ini bukan sekedar kenakalan remaja lagi, tapi ini tentang pembunuhan!"     

"Sabar, Ma, sabar," Vero segera memeluk tubuh ibunya dengan erat, berharap hati sang ibu sedikit tenang dalam hangat pelukannya.     

"Mama, sabar ya. Kita hadapi masalah ini sama-sama. Dan mulai sekarang, kita lupakan Fanya. Karna Fanya bukan lagi anggota keluarga kita," ujar Vero.     

"Ya, ampun, Ver. Dia itu putri Mama satu-satunya, masa ia Mama akan melupakannya begitu saja,"     

"Sudahlah, Ma. Dia itu sudah sering menyusahkan kita, dia juga sering membuat Mama menangis, papa sakit, dan bahkan dia juga sudah membunuh Cinta." Pungkas Alvin.     

"Apa?!"     

"Iya, Ma. Tadinya Vero ingin merahasiakannya, tapi Vero pikir, Mama ini sudah terluka, jadi sekalian saja, dari pada suatu saat Mama akan tahu dan terluka lagi."  Jelas Vero.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.