Bullying And Bloody Letters

Takut Kehilangan Ayah



Takut Kehilangan Ayah

0"Sudahlah, Ma. Dia itu sudah sering menyusahkan kita, dia juga sering membuat Mama menangis, papa sakit, dan bahkan dia juga sudah membunuh Cinta." Pungkas Alvin.     
0

"Apa?!"     

"Iya, Ma. Tadinya Vero ingin merahasiakannya, tapi Vero pikir, Mama ini sudah terluka, jadi sekalian saja, dari pada suatu saat Mama akan tahu dan terluka lagi."  Jelas Vero.     

"Astaga! Rahasia buruk apalagi ini?! Bukankah Cinta adalah gadis bi—"     

"Iya, Ma. Cinta adalah pacar Vero saat SMA. Dan waktu itu Mama, Papa dan juga Fanya menentang bubungan kami," pungkas Vero.     

"Vero, ma-maaf ya soal itu," tukas Sarah dengan wajah yang penuh sesal.     

"Iya, Ma. Walau Mama dan Papa pernah menentang hubungan kami, Vero tetap tidak membenci kalian. Tapi hati Vero akan terus membenci Fanya, karna Fanya sudah tega membunuh Cinta," ujar Vero.     

"Ya, Tuhan. Kenapa ini semua bisa terjadi?" Sarah tampak memijat lembut keningnya sendiri.     

"Dan Vero juga ingin mengatakan kepada Mama, bahwa sebelum Vero kecelakaan, Vero dan Fanya sempat bertengkar hebat."     

"Bertengkar?"     

"Iya, Ma. Bahkan kami memang tidak pernah akur selama ini. Dan itu yang menjadi alasan mengapa Vero memilih tinggal terpisah dari kalian, itu semua karna Vero tidak mau terus bertengkar setiap hari dengan Fanya,"     

"Lalu, sejak kapan kamu mengetahui jika Fanya sudah membunuh Cinta?"     

"Sejak, Vero kembali bertemu Alvin dan kedua temannya,"     

"Kenapa mereka bisa tahu? Dan apa kamu yakin jika dugaanmu ini benar?"     

"Ma. Ini bukan dugaan lagi, tapi ini memang fakta yang sebenarnya. Bahwa Fanya benar-benar sudah membunuh Cinta. Bahkan Fanya mengatakannya sendiri."     

"Huftt, hik, Mama, harus bagaimana, Vero?" Sarah menjatuhkan kepalanya di pundak Vero.     

Dia menangis sejadi-jadinya, meluapkan segala kegalauan hatinya saat ini.     

"Mama harus kuat ya, Papa masih butuh Mama, dan Vero juga akan selalu ada untuk Mama. Jadi Vero harap Mama tetap tegar," tukas Vero menyemangati sang ibu.     

      

      

Hari itu juga, Vero langsung mengantarkan ibunya untuk menemui ayahnya di vila. Seolah tak terjadi apa pun kepadanya, padahal dia baru saja mengalami kecelakaan.     

Vero sendiri tak tahu apa yang sudah terjadi kepadanya, yang jelas seperti sebuah keajaiban baru saja menghampirinya. Dia bisa hidup normal tanpa cacat, walau baru saja mengalami kecelakaan tragis.     

Dan hal yang masih terngiang-ngiang dalam pikirannya adalah ketika dia bertemu dengan Cinta.     

Saat itu benar-benar sebuah momen yang tak pernah bisa dia lupakan. Karna dia kembali dapat melihat wajah dan senyuman manis Cinta lagi.     

Walau hanya sekejap, dan wajah Cinta sampai detik ini masih terbayang-bayang di benaknya.     

      

***     

"Papa, gimana keadaan, Papa?" tanya Vero.     

"Sudah lumayan agak membaik, Vero." Jawab sang ayah.     

"Aku baik-baik saja kok, kemana saja kamu, Ver. Kenapa baru jemput ayah sekarang?" tanya Ayahnya Vero.     

"Vero sedang ada jadwal manggung, Pa. Dan jadwalnya lumayan padat," ujar Vero yang sedang berbohong.     

"Ow, begitu ya, hufttt...." Pria paruh baya itu pun tampak sangat bersedih dan kecewa melihatnya.     

"Kenapa, Papa, kelihatan bersedih begitu?" tanya Vero.     

"Karna, sejujurnya, Papa, ingin kamu lebih fokus ke urusan kantor ketimbang main band, Ver. Karna satu-satunya penerus Papa hanya kamu, kalau kamu main band terus, siapa yang akan meneruskan perusahaan Papa. Sementara Papa sudah sakit-sakitan begini," tukas sang ayah.     

Vero seketika terdiam, dia sedang memikirkan dalam-dalam ucapan sang ayah.     

Apa yang di ucapkan sang ayah memang benar. Kalau bukan dirinya yang  akan menjadi penerus sang ayah siapa lagi. Fanya sudah pasti tidak akan mungkin.     

"Vero, Papa minta tolong, Nak. Kamu pikirkan hal ini, Papa tidak yakin bisa sembuh dan memiliki umur panjang. Karna Papa merasa sudah sangat lelah."     

"Kenapa, Papa, bicara begitu? Papa itu harus yakin kalau Papa bisa sembuh, karna Mama dan perusahaan masih membutuhkan Papa,"     

"Papa, tidak yakin bisa sembuh, entah mengapa, Papa sudah merasa lega, dan tenang jika Tuhan menjemput Papa saat ini juga, karna Papa yakin kamu bisa menjaga Mama dan adikmu. Dan Papa juga yakin kalau  perusahaan akan semakin berkembang jika kamu yang memegang," tukas sang ayah.     

      

"Pa, jangan ngomong begitu dong, Mama sedih dengarnya. Mama masih butuh Papa, jadi Papa jangan pergi," ujar Sarah.     

"Iya, Ma." Jawab sang suami,     

      

Dan di malam itu Vero menginap di vila bersama sang ayah dan ibunya.     

Dan sepanjang malam itu ayahnya tidak mau di tinggal barang sedetik pun oleh Vero dan ibunya.     

Vero dan ibunya bergantian berjaga kalau-kalau ayahnya Vero meminta tolong.     

Dan ketika sang ibu pergi ke toilet, tiba-tiba sang ayah memanggil Vero.     

"Vero,"     

"Iya, Pa, Papa butuh apa?"     

"Enggak, kok, Papa hanya ingin mengobrol saja dengan mu."     

"Oh, begitu ya, yasudah cerita saja, kalau Papa ingin menceritakan sesuatu. Vero akan mendengarnya kok,"     

"Ah, baiklah. Jadi begini, Ver. Sebenarnya Papa sudah tahu semuanya."     

"Maksud, Papa?"     

"Papa sudah tahu jika, Fanya sekarang adalah seorang buron. Dan sekarang tengah pergi entah ke mana. Papa sudah tahu semuanya, Ver."     

"Apa?! Papa, tahu semuanya?!"     

Dan sang ayah pun mengangguk.     

"Ta-tapi, dari mana , Papa bisa tahu?" Vero tampak sangat panik, karna dia takut penyakit jantung ayahnya akan kambuh lagi. Tapi nampaknya sang ayah malah sangat santai.     

Dia tidak terlihat marah atau pun gugup seperti biasanya.     

Sungguh terasa aneh bagi Vero.     

Dan sang ayah mengeluarkan sebuah ponsel dari sakunya. Dia menyimpan ponselnya dari sang istri.     

Sarah tidak tahu, jika sang suami masih memilik satu ponsel lagi. Padahal dia sudah mewanti-wanti kepada sang suami agar tidak bermain internet maupun menonton berita televisi.     

Tapi ternyata Dody, ayah dari Vero sangatlah cerdik.     

Dia bisa bermain ponsel tanpa sepengetahuan sang istri.     

      

"Kenapa, Papa bisa memegang ponsel itu? Bukankah Mamq sudah bicara kepada Papa agar tidak memegang ponsel?" tanya Vero yang syok.     

"Iya, Papa, tahu. Tapi Papa juga ingin tahu hal-hal apa yang sudah terjadi di luaran sana. Termasuk apa yang sudah terjadi kepada putri Papa,"     

Lalau Vero pun lebih mendekat lagi ke arah ayahnya.     

"Lalu apa yang ayah rasakan saat ini?" tanya Vero.     

"Papa ... yah, Papa sangat syok karna hal itu. Tapi mau bagaimana lagi, ini sudah terjadi. Dan jujur hati Papa sangat sakit mendengarnya. Tapi Papa hanya bisa pasrah, Ver."     

      

Wajah pria paruh baya itu tampak sangat lelah, namun berusaha untuk tegar, terlihat jelas bahwa dia sedang menutupi kesedihannya.     

Hal itu dia lakukan agar anak dan istrinya tidak terlalu menghawatirkan keadaannya.     

"Yasudah, kamu tidur, Ver, Papa juga mau tidur." Tukas sang ayah.     

Dan Vero pun menuruti ajakan sanga ayah Vero tidut di samping sang ayah.     

Cukup lama Vero enggan memejamkan matanya, karna pandangannya masih terarah kepada sang ayah.     

Dia melihat wajah sang ayah yang tampak tenang.     

Dia mulai berpikir, bagaimana jika sang ayah benar-benar pergi, dia bingung dengan nasib sang ibu.     

Dan tentunya dia sebagai anak laki-laki satu-satunya harus memikul beban yang cukup berat.     

      

      

      

To be continued     

      

      

      

      

      

      

      

      

      

      

      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.